Johnathan memasuki ruangan pribadinya setelah selesai mengoperasi seorang pasien. Beberapa hari terakhir, ia memang sangat sibuk. Siang ini, ia memutuskan untuk istirahat sebentar di ruangannya.
"Huuh~" dokter tampan itu menghela napas lelah sambil duduk di kursi kerjanya.
Drrrt... Drrrt...
Johnathan merogoh kantung celananya saat merasakan ponselnya bergetar menandakan ada yang menelepon dirinya.
[Elvi is calling...]
Ternyata itu adalah temannya yang seorang kepala petugas laboratorium. Melihat nama Elvi membuatnya langsung teringat dengan tes DNA yang ia lakukan hampir dua minggu yang lalu. Ia benar-benar lupa dengan tes itu. Ia melakukan tes itu hanya karena penasaran, bukan karena alasan yang terlalu penting. Maka dari itu, ia bisa lupa.
"Halo, Elvi," sapa Johnathan setelah mengangkat panggilan tersebut.
"John?! Kenapa kamu gak telepon aku sama sekali sih?!" seru Elvi dengan suara kencang membuat Johnathan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Emangnya ada apa? Ngapain aku harus telepon kamu?" tanya Johnathan bingung.
"Loh, kok kamu kedengerannya santai banget sih?! Kamu udah lihat hasil tes DNA yang aku kirim apa belum?"
Johnathan semakin bingung dengan perkataan Elvi, "hasil tes DNA yang mana? Kamu belum kasih hasil tes DNA yang waktu itu ke aku?"
"Apa maksud kamu? Aku udah minta juniorku buat kasih ke kamu beberapa hari yang lalu pas aku lagi ada urusan di luar kota," kata Elvi.
"Aku belum terima apa pun, Elvi," balas Johnathan dengan yakin.
"Gak mungkin! Dia sendiri yang bilang ke aku kalau udah taruh di meja kerjamu."
Johnathan memeriksa mejanya dengan saksama, "gak ad-- oh, ketemu!"
Johnathan mengambil sebuah amplop putih yang terselip di bawah almari yang ada di belakang kursinya.
"Suratnya ternyata jatuh di bawah almari," ucap Johnathan.
"Kok bisa? Apa ruanganmu itu gak pernah disapu sampai ada surat penting jatuh di situ gak ketahuan sampai sekarang?" celetuk Elvi.
Johnathan hanya terkekeh, "mungkin gak sengaja kelewatan."
"Ya udah, cepetan kamu buka, dan... Jangan terlalu terkejut," desak Elvi.
Johnathan yang masih berusaha membuka amplop itu sontak berhenti. Tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang mendengar ucapan Elvi yang ambigu.
"Jangan bilang kalau hasilnya...," gumam Johnathan.
Terdengar Elvi menghela napas panjang, "buka aja, John."
Tangan Johnathan segera membuka amplop itu dengan gerakan cepat. Ia membaca isi surat hasil tes DNA tersebut. Beberapa detik kemudian, matanya membelalak karena melihat hasil tes DNA-nya dan anak bernama Bhara menunjukkan kecocokan sebesar 99,99%.
"El? Hasil ini... Beneran akurat?" ucap Johnathan masih tidak percaya.
"Sayangnya... Itu sangat akurat, John," kata Elvi dengan suara lirih, "aku tutup dulu ya teleponnya, aku harus kembali bekerja."
Johnathan terduduk di kursinya dengan lemas. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Padahal sebelumnya ia hanya iseng melakukan pemeriksaan tes DNA itu, tapi siapa sangka kalau anak yang bernama Bhara itu ternyata benar-benar anak kandungnya.
Sebagai seorang pria, ia tidak mungkin mengabaikan fakta ini dan menganggap seolah Bhara bukan anaknya. Namun, ia khawatir dengan tanggapan orang tuanya jika mereka tahu kalau anak kebanggaan mereka telah melakukan hal yang memalukan, yaitu memiliki anak di luar hubungan pernikahan.
Drrrt... Drrrt....
Panjang umur orang tua Johnathan. Ia melihat layar ponselnya dan melihat tulisan 'Ayah' terpampang di sana. Ia tahu mengapa ayahnya menelepon. Hari ini, keluarganya berencana untuk makan siang bersama di ruangan ibunya, termasuk Hendry dan Alan.
Johnathan menggeser ikon merah untuk menolak panggilan dari ayahnya tersebut. Ia akan segera pergi ke ruangan ibunya. Pria itu menghela napas panjang, ia sudah memutuskan untuk mengatakan ini semua kepada keluarganya. Ia juga sudah siap untuk menghadapi amukan ayahnya nanti.
...----------------...
Hendry dan Alan sudah berkumpul di ruangan Anjani. Sebelum tiba di rumah sakit, mereka terlebih dahulu membeli makan siang di restoran untuk dimakan bersama di rumah sakit. Alan dan Anjani sibuk menata makanan serta piring di meja, sedangkan Hendry berusaha untuk menelepon anak sulungnya agar segera datang.
"Tidak diangkat," gumam Hendry, "Sayang, apa Johnathan masih ada jadwal operasi?"
Anjani menoleh, "huh? Sepertinya tidak, dia baru aja selesai tadi. Sekarang masih waktunya istirahat."
"Tapi kenapa dia tidak segera ke sini? Bahkan, dia juga tidak menjawab teleponku," ucap Hendry bertanya-tanya.
"Biar aku yang jemput Kak John di ruangannya," ucap Alan.
Hendry dan Anjani hanya mengangguk setuju. Alan pun segera beranjak pergi untuk menuju ruangan Johnathan. Namun, belum sempat ia melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan ibunya, pintu ruangan itu sudah dibuka dan menampakkan Johnathan yang baru saja tiba.
"Nah, ini dia orangnya," seru Alan.
"Astaga, John. Kemana aja sih kamu? Adik kamu udah kelaparan tuh nungguin kamu," gurau Anjani.
"Loh, kok jadi aku sih, Bu? Ibu aja kali yang udah kelaparan," balas Alan.
Semua orang tertawa mendengar candaan tersebut. Johnathan juga ikut tertawa, tapi jenis tawa hambar. Bagaimana mungkin ia bisa tertawa lepas di situasi seperti ini?
"John," panggil Hendry.
"Eh, iya, Ayah," jawab Johnathan yang tersentak dari lamunannya.
"Kenapa melamun? Ayo duduk sini," ucap Hendry.
Johnathan hanya menganggukkan kepalanya, lalu berjalan menghampiri keluarganya yang sudah siap untuk makan siang. Ia mendudukkan dirinya di samping Alan, sedangkan ayah dan ibunya berada di hadapannya.
'Duh, aku belum siap, jangan sekarang,' batin Johnathan.
Ia ragu untuk menyampaikan hasil tes DNA yang sejak tadi ia bawa di saku jas dokternya. Apalagi keluargany kini sedang menikmati waktu makan bersama dengan bahagia. Ia tidak ingin merusak quality time keluarganya yang jarang sekali terjadi karena semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Setelah itu, Johnathan pun ikut mengambil makanan dan mulai memakannya. Mereka menikmati waktu makan siang bersama sambil mengobrol ringan. Alan banyak bercerita tentang kesehariannya di kampus, sedangkan Johnathan lebih banyak diam. Meskipun Johnathan setiap hari memang dikenal sebagai sosok yang tidak banyak bicara, tapi hari ini ia lebih pendiam lagi karena pikirannya sedang berkecamuk.
Akhirnya, acara makan siang sederhana mereka pun selesai. Anjani segera membereskan piring-piring kotor itu dan membawanya ke dapur yang ada di ujung ruang pribadinya itu. Alan menyusul ibunya untuk membantu mencuci piring. Sekarang tinggal Hendry dan Johnathan yang masih duduk di sofa.
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" ucap Hendry tiba-tiba.
"Huh?"
Johnathan bingung dengan ucapan Hendry. Sejak tadi, ia hanya diam dan tidak mengatakan apa pun kepada ayahnya. Tapi tiba-tiba saja, ayahnya berkata seperti itu seolah-olah pria itu tahu akan kegundahan anak sulungnya.
Hendry terkekeh pelan, "John, ayah sangat mengenal kamu. Hari ini kamu lebih banyak diam dan terlihat cemas. Katakan saja, ada apa?"
Johnathan terdiam. Ternyata ayahnya itu sudah mengendus bau-bau kegelisahannya. Ia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"John?" panggil Hendry meminta jawaban dari Johnathan.
Johnathan memejamkan matanya dan menghela napas panjang. Kemudian, ia meraih amplop yang berada di sakunya dan menyerahkan amplop tersebut kepada ayahnya.
Hendry menerima amplop tersebut dengan bingung, "apa ini?"
"Buka aja, Ayah," lirih Johnathan.
Meskipun tidak tahu apa isi amplop tersebut, Hendry langsung membukanya tanpa ragu. Jantung Johnathan kembali berdegup kencang seiring dengan mata Hendry yang bergulir membaca tulisan demi tulisan dari lembaran kertas di dalam amplop tersebut.
Johnathan semakin cemas saat ayahnya itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Sekarang ia merasa bahwa lebih baik ayahnya langsung memarahinya saja daripada bersikap seperti ini. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh pria paruh baya itu.
"Apa maksud dari semua ini, Johnathan?" tanya Hendry dengan suara yang terlampau dingin.
Johnathan berusaha menjawab pertanyaan ayahnya dengan tenang, "seperti yang ayah lihat. Itu adalah hasil tes DNA milikku dan anak itu."
Hendry terdiam sebentar, "bukan itu yang ayah tanyakan, Johnathan Adikusuma."
Johnathan tahu ayahnya pasti sangat marah sekarang karena pria itu telah menyebut nama lengkapnya.
"Bagaimana bisa," Hendry menjeda ucapannya, lalu menatap tajam Johnathan, "Bhara adalah anak kandung kamu?"
Prang!!
Johnathan dan Hendry seketika menoleh setelah mendengar suara pecahan itu. Ternyata, Anjani sudah berdiri di dekat mereka dan terkejut mendengar fakta yang tidak sengaja ia dengar. Alan yang berdiri di belakang ibunya juga sama terkejutnya.
"A-apa? A-aku pasti salah dengar," gumam Anjani.
...----------------...
Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh keluarga Adikusuma setelah mengetahui hasil tes DNA?
Ikuti kisah mereka di chapter selanjutnya ya...
Thank you ♥♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Frando Wijaya
ternyata bch td adalah keluarga adikusuma
2024-08-01
0
LISA
wah berarti Natasya nikah dgn Jonathan nih spy Bhara punya keluarga yg lengkap
2023-11-28
1
Iqlima Al Jazira
next thor..
senang banget dengan celotehan bhara.
di tambahin donk part bhara☺🤭
2023-07-06
4