Alan memarkirkan mobilnya di tempat parkir mahasiswa, lalu ia turun sambil membawa satu kantong kresek berisi makanan ringan yang rencananya akan ia berikan kepada Bhara. Dirinya sudah membayangkan tawa menggemaskan anak itu saat melihatnya nanti.
Senyumnya semakin mengembang saat melihat Natasya yang baru saja memasuki gerbang kampus dengan berjalan kaki. Namun, ia mengernyitkan dahinya bingung saat melihat gadis itu berjalan sendirian, tanpa ada Bhara bersamanya. Hmm... Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pikir laki-laki itu. Alan juga bisa melihat mata Natasya yang sembab seperti habis menangis.
"Natasya," panggil Alan.
Natasya yang merasa ada yang memanggil langsung menoleh dan mendapati Alan yang sedang berlari kecil ke arahnya.
"Alan? Kamu baru sampai juga?" tanya Natasya.
Alan menganggukkan kepalanya, "mana Bhara? Aku udah beliin dia jajan banyak banget, lho."
Natasya yang mendengar hal itu hanya bisa menundukkan kepalanya sedih. Alan yang merasa ada sesuatu yang tidak beres langsung memegang bahu Natasya.
"Natasya, ada apa?" tanya Alan.
Natasya terdiam sebentar, lalu menjawab, "Bhara udah pergi."
"Hah?! Pergi kemana?!" teriak Alan terkejut.
Ucapan Natasya membuatnya overthinking.
Natasya menghela napas sambil berusaha mencegah air matanya keluar, "kemarin, polisi jemput dia buat diserahin ke panti asuhan."
"Hah? Kenapa Bhara harus diserahin ke panti asuhan?" heran Alan.
"Polisi gak berhasil nemuin orang tuanya Bhara, sedangkan aku juga gak bisa terus terusan ngajak Bhara tinggal di rumahku, jadi mereka mutusin supaya Bhara dirawat di panti asuhan," jelas Natasya.
"Astaga, kasihan banget anak itu," kata Alan, "kamu gak ada niat buat ngadopsi dia?"
Natasya menghela napas lelah, "Al, adopsi anak tuh gak semudah yang kamu katakan. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, sedangkan aku sama sekali gak memenuhi syarat untuk menjadi ibu angkat. Kamu pasti paham tentang hal ini, kan?"
Ya, tentu saja Alan paham. Proses pengadopsian itu sangat rumit, apalagi seperti pada kasus Natasya. Kondisi ekonominya tidak memenuhi syarat untuk mengadopsi seorang anak.
Alan mendengus kesal, "lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan?"
Natasya menggeleng pelan, "aku gak bisa melakukan apa-apa. Yahh... Setidaknya aku masih bisa mengunjungi Bhara di panti asuhan tiap akhir pekan."
Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa muda seperti Natasya? Ia hanya seorang gadis yang berusia 19 tahun, ia sama sekali tidak memiliki power untuk menjaga Bhara tetap di sisinya.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menerima apa yang telah menjadi keputusan pihak kepolisian untuk Bhara, anak kecil yang sangat ia sayangi seperti anaknya sendiri. Lagipula, ia sudah terbiasa hidup sendiri. Seiring berjalannya waktu, ia pasti bisa merelakan kepergian Bhara.
...----------------...
Tidak seperti biasanya yang selalu aktif di kelas, Natasya menjadi lebih banyak diam dan terlihat murung. Teman-teman dan dosen yang mengajar pun merasa heran. Karena biasanya, gadis itu akan aktif mengajukan pertanyaan serta menjawab pertanyaan dari dosen.
Natasya berusaha keras untuk konsentrasi pada materi, tetapi bayang-bayang Bhara selalu hinggap di pikirannya. Suasana hatinya yang buruk membuat fisiknya juga lemah dan terlihat tidak berdaya. Sesekali ia akan mengusap air mata yang tidak sengaja meluncur di pipinya.
Setelah kelas terakhir, ia bergegas untuk menemui Hendry di ruang kelas lain untuk menjalankan perannya sebagai asisten dosen tersebut. Gadis itu memasuki kelas sambil melempar senyum kepada dosennya yang baru saja selesai mengajar itu. Walaupun Natasya tersenyum lebar, tetapi dalam sekali lihat, Hendry langsung tahu bahwa senyum yang diperlihatkan oleh Natasya adalah senyum palsu.
"Ada masalah apa?" tanya Hendry.
"Huh?"
Natasya yang sedang membantu membawakan makalah dari para mahasiswa pun mendongak untuk menatap Hendry. Namun, tak lama kemudian, ia kembali menunduk dan fokus berjalan.
"Eum... Tidak ada apa-apa," lirih Natasya.
Hendry tersenyum kecil, lalu memfokuskan pandangan ke depan,
"kebohongan terbesar seorang perempuan adalah berkata 'tidak apa-apa' saat ada orang yang bertanya 'kenapa'."
"Saya sudah lama mengenal kamu, Natasya. Kamu tidak bisa menyembunyikan kesedihanmu. Jadi, katakan kepada saya, apa yang membuatmu bersedih?" imbuh Hendry.
Natasya menghela napas panjang, lalu berucap dengan lirih, "Bhara..."
Hendry menoleh sambil mengernyitkan dahi, "Bhara? Ada apa dengan anakmu itu?"
Natasya menggigit bibir bawahnya pelan, lalu berkata dengan suara bergetar menahan tangis, "Bhara dijemput oleh pihak kepolisian dan diserahkan ke panti asuhan."
Hendry menatap nanar kepada mahasiswinya itu. Selama ini, ia mengenal Natasya sebagai seorang gadis yang ceria dan penuh semangat. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Natasya bersikap lemah, dan penyebabnya adalah seorang anak kecil yang gadis itu temukan secara tidak sengaja di bandara.
"Polisi sudah melakukan hal yang benar, Natasya. Secara hukum, kamu memang tidak diperbolehkan untuk tinggal bersama Bhara. Justru akan menjadi masalah kalau dia tetap tinggal bersama kamu," ucap Hendry.
"Saya paham akan hal itu, Pak Hendry," lirih Natasya.
Mereka berdua telah sampai di ruangan Hendry. Lalu, Natasya meletakkan makalah-makalah yang ia bawa di meja dosen itu.
"Tapi kamu masih bisa mengunjungi Bhara di panti asuhan, kan? Seharusnya sih bisa. Tenang saja, Natasya, kamu masih bisa bermain dengannya," kata Hendry mencoba menghibur Natasya.
Natasya hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil membalas perkataan Hendry.
Drrrt... Drrrt...
Ponsel Natasya berdering, di layar ponselnya tertera nama pemilik panti asuhan. Hal itu membuat Natasya buru-buru mengangkat telepon yang masuk tersebut. Ngomong-ngomong, ia meminta kepada pihak panti asuhan untuk memberikan kabar kepadanya mengenai Bhara.
"Halo?" ucap Natasya.
"..."
"Iya, benar, saya Natasya. Ada apa? Bhara baik-baik saja, kan?"
Hendry duduk di kursi kerjanya sambil memperhatikan Natasya yang sedang mengangkat telepon. Ia bisa melihat dahi Natasya mengernyit ketika fokus mendengarkan penelepon itu berbicara.
Tetapi beberapa detik kemudian, gadis itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berteriak panik.
"Apa maksud anda?! Bhara kecelakaan?!"
Hendry ikut terkejut mendengar teriakan dari gadis muda itu. Ia juga terkejut dengan pernyataan Natasya tentang anak kecil itu mengalami kecelakaan.
"Baik, saya akan segera ke sana," ujar Natasya.
Setelah menutup teleponnya, Natasya bergegas untuk keluar dari ruangan itu. Namun, dengan cepat Hendry menarik tangannya membuat Natasya menoleh.
"Apa yang terjadi dengan Bhara?" tanya Hendry dengan raut muka bingung.
"Hiks... Bhara kecelakaan, Pak," ucap Natasya panik, "saya harus pergi ke rumah sakit sekarang."
"Dia dibawa ke rumah sakit mana?" tanya Hendry.
"Rumah Sakit Medika Anjani," jawab Natasya masih dengan tangisannya.
"Kalau begitu, biar saya antar kamu ke sana. Akan lebih cepat sampai kalau pakai mobil," seru Hendry.
Natasya hanya menganggukkan kepalanya setuju. Ia tidak memiliki alasan untuk menolak perkataan dosennya itu karena memang benar, jika mengendarai mobil akan lebih cepat sampai daripada menaiki bus.
Kemudian, mereka berdua pun segera pergi menuju ke rumah sakit tempat Bhara dirawat. Hendry mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sepanjang perjalanan, Natasya terus menangis tanpa suara sambil merapalkan doa supaya kondisi Bhara baik-baik saja.
Gadis itu sangat kecewa. Padahal baru kemarin ia menyerahkan Bhara kepada pihak kepolisian dan panti asuhan, tapi mereka sudah ceroboh karena telah membiarkan anak kecil itu celaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Itha Fitra
apa mungkin bara tuh korban penculikan dr musuh ssama pengusaha? tp kok,ortu ny gk lapor
2023-12-26
0
sherly
sampai bab ini kenapa TDK ada yg mencari bhara ya, apa ortunya ngk sadar anaknya ilang? atau emang sengaja dibuang? sampai polisi aja ngk bisa temukan titik terang keluarga bhara...
2023-12-10
0
Reza Indra
Miriiisss... 😥😥😥
2023-07-21
3