“Tentu saja! Ini sudah sore dan aku kira mungkin kamu tersesat. Makanya aku mau mencarimu.” jawab Varen dengan tenang. Padahal dia juga baru sampai dirumah sebelum istrinya.
Reina berjalan melewati Varen, bibirnya tersenyum mendengar jawaban suaminya. “Jarak dari depan kerumah kan lumayan jauh. Makanya aku baru sampai.”
Reina menyimpan barang bawaannya diatas meja lalu duduk di sofa.
“Kamu berjalan kaki? Kenapa tidak naik taksi?” tanya Varen dengan rahang mengeras. ‘Jarak dari persimpangan ke rumah ini lumayan jauh. Apa dia tidak lelah jalan kaki? Ah, aku harus melakukan sesuatu untuk membantunya.’ bisik hatinya Varen.
Reina tersenyum tipis dan berkata, “Uangku tinggal segini lagi. Tadi aku harus mencetak surat lamaran kerja dan pergi ke beberapa tempat. Jadi uangnya habis buat ongkos dan cetak surat.” jelas Reina menunjukkan selembar uang berwarna hijau pada Varen.
Tatapan mata Varen meredup, wajahnya langsung berubah sedih. Reina menarik tangan suaminya untuk duduk disebelahnya. “Mau tenang saja. Aku sudah mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang bagus. Aku akan bekerja sebagai sekretaris di Kenz Corp. aku akan mendapatkan banyak uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kita.” tutur Reina dengan nada riang.
Bukannya merasa senang. Varen malah menundukkan kepalanya dan menatap kaki istrinya. Pikirannya melayang jauh memikirkan sesuatu. Reina mengeryit heran menatap sikap suaminya yang terlihat sedih. “Kenapa? Kamu tidak senang ya aku dapat pekerjaan?”
Varen menggeser meja lalu duduk sejajar dengan kaki Reina. Dia meraih kaki istrinya. “Aku senang kamu mendapatkan pekerjaan tapi besok-besok kamu pulang pakai taksi saja. Jarak dari depan kesini kan lumayan jauh. Lihatlah! Kakimu sampai lecet begitu. Mana bisa kamu berjalan kaki setiap hari dengan kaki seperti ini?”
Reina tertegun karena tidak menyangka jika Varen akan menyadari luka dikakinya. Reina segera menarik kakinya karena merasa malu pada Varen yang menyentuh kakinya yang mungkin berbau atau tidak.
“Jangan khawatir, ini hanya luka kecil kok. Nanti diolesi obat juga sembuh sendiri.”
Varen menghela napas lalu bangkit berdiri mengambil salep dari kotak obat. Kemudian dia duduk kembali di lantai, “Sekecil apapun luka tetap saja perih dan harus diobati. Kalau tidak nanti lukanya bisa infeksi dan melepuh.”
Varen mengoleskan salep ke permukaan luka istrinya. Dia bahkan meniupnya sehingga membuat Reina merasa tersentuh dengan perhatian kecil yang diberikan Varen padanya.
Rasa malunya pun langsung hilang dan dia tidak peduli jika Varen akan mencium bau kakinya. Reina hanya fokus memperhatikan wajah tampan suaminya.’Kenapa dia mirip sekali dengan Pak Verdi ya?’ bisik hatinya.
“Kamu melamar satu perusahaan saja hari ini?” tanya Varen menyadarkan Reina dari lamunannya.
“Tidak! Aku tadi pergi ke beberapa perusahaan tapi mereka tidak ada satupun yang menerimaku. Aku bahkan diusir karena dikira mau minta sumbangan, mungkin karena penampilanku. Pakaianku juga kusam makanya mereka berpikir begitu.” jawab Reina sambil tertawa geli.
“Memangnya ada ya pengemis atau minta sumbangan secantik aku? Masa mereka tidak bisa membedakan orang mau melamar pekerjaan sama meminta sumbangan! Tapi memang begitulah…..biasanya orang-orang hanya menilai dari penampilan saja! Padahal aku tadi sudah tersenyum manis.” ujar Reina menambahkan sambil kembali tertawa.
Varen tidak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya masih terlihat datar. “Lalu bagaimana ceritanya kamu bisa sampai ke Kenz Corp? Itu perusahaan besar dan lokasinya jauh di pusat kota.”
Reina menautkan alisnya mengingat kembali kejadian yang dialaminya hari ini.
“Sebenarnya tadi aku ragu mau melamar disana. Perusahaan kecil saja menolakku apalagi perusahaan besar seperti itu. Tapi ada orang baik yang membantuku, namanya Felix!”
Varen mendongak seraya menaikkan salah satu alisnya dan bertanya, “Seroang pria membantumu begitu saja dan kamu menerimanya? Apa kamu tidak takut?”
Reina terhenyak. Ada benarnya juga perkataan suaminya, dia bahkan tidak terpikirkan sampai disana. Varen akan marah karena dirinya berkenalan dengan pria.
“Aku juga tidak tahu apa alasan pria itu menolongku. Tapi aku tidak akan dekat-dekat dengannya. Aku hanya mau bekerja disana dan menghasilkan uang untuk kita.” ujar Reuna berusaha menyakinkan suaminya.
“Jangan terlalu percaya pada orang yang baru kamu kenal. Kamu harus lebih berhati-hati. Jangan mudah berkenalan dengan orang asing dan berbicara dengan mereka. Ingat Reina, banyak sekali penipuan sekarang ini. Kamu harus berhati-hati lain kali.” tutur Varen.
Reina langsung mengangguk, “Oke aku mengerti. Eh! Tapi tadi ada orang yang mirip sekali denganmu. Hanya beda warna mata dan rambut saja. Wajah dan yang lainnya sangat mirip.” ujar
Reina seraya mengingat-ingat wajah pria yang ditemuinya tadi. Setelah memperhatikan wajah suaminya,dia pun mengakui kalau Varen sangat mirip dengan Verdi.
Varen hany diam saja mengoles salep ke luka di kaki Reina. “Apa kamu menyukainya?”
“Maksudmu?” Reina mengeryit.
“Pria yang katamu mirip denganku. Sepertinya kamu menyukainya?” ujar Varen tanpa mengalihkan perhatiaannya dari kaki istrinya.
“Sembarangan! Dilihat dari sisi manapun, kamu masih lebih tampan dari pria itu.” Reina mendelik.
“Aku tampan? Benarkah?” Varen kembali mendongak.
“Iya kamu tam---” Reina segera membekap mulutnya sendiri. Wajahnya terasa panas saat dia menyadari kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya. ‘Aduh! Memalukan sekali!’ batinnya.
“Tidak perlu malu! Tidak ada salahnya kalau kamu memuji suamimu. Kamu juga cantik apalagi kalau pipimu merona merah begitu!” ucap Varen seraya mengulum senyum.
Reina memang cantik, bahkan lebih cantik dibandingkan Elora. Reina selalu tampil polos tanpa riasan saja sudah terlihat sangat cantik, berbeda dengan Elora yang selalu memoles wajahnya dengan riasan.
Blush! Wajah Reina semakin panas, dia berdehem berusaha menetralkan perasaannya. Jantungnya berdebar tak karuan saat Varen memujinya.
“Bagaimana denganmu. Apa sudah mendapat pekerjaan?” tanya Reina mengalihkan pembicaraan.
Varen menggeleng lalu dia duduk disamping Reina. “Terlalu sulit bagiku untuk membagi waktuku.” jelasnya.
Reina mengeryitkan dahinya, karena tidak mengerti dengan maksud perkataan suaminya. Memangnya Varen harus membagi waktunya dengan apa? Dengan siapa? Bukankah dia penggangguran? Setiap hari tidak jelas apa yang dikerjakannya selain menunggui Reina? Lalu apa maksudnya berkata begitu?
“Kamu sudah makan?” tanya Varen.
“Belum. Kamu?” tanya Reina bali.
“Aku juga belum makan.” jawab Varen.
“Syukurlah! Tadi aku ada membeli nasi padang.” Reina langsung meraih bungkusan plastik dari atas mejad. “Ayo makan! Ini nasi padangnya enak sekali loh.” ajak Reina seraya menuntun tangan suaminya.
Menjelang malam tampak Reina membongkar kopernya. Dia ingin menyiapkan baju yang akan dipakainya untuk hari pertamanya bekerja, Reina menatap sedih semua bajunya yanga berwarna pudar.
“Besok aku harus memakai baju yang mana?” sesalnya karena tidak membawa baju-baju bekas milik Elora bersamanya saat dia meninggalkan rumah orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
meira
aku dulu juga gitu pas ngelamar kerja pontang panting diperusahaan satu keperusahaan lainnya dari pt kecil sampai besar,,yang diharapkan dapat diterima diperusahaan kecil karena menurutku apa lah aku ini eh malah ditolak mentah2 tpi malah dengan iseng ngelamar diperusahaan besar malah diterima tanpa mengeluarkan uang hanya saja gitu tesnya banyak banget menguras tenaga dan pikiran,,,gila sih menurur aku perusahaan kecil merekrut orang hanya dari penampilan bukan dari kemampuan
2024-03-07
4