Aku akan menunggu hingga hari itu berteriak bahwa, ‘Inilah yang dinamakan, akan indah pada waktunya.’
.
Mario POV
Malam berlalu tanpa remedia. Bisa-bisanya Salsa mengaitkan pelajaran matematika dengan pelajaran menyenangkan kami.
“Pak Mario! Pak Mario melewati jalanan yang harus aku turun,” teriak Salsa. Aku tersentak. Tidak sadar jika mobilku telah masuk ke dalam parkiran sekolah.
“Bagaimana, dong. Aku turunnya bagaimana? Banyak siswa-siswi lagi,” ujar Salsa panik.
“Kamu bisa turun sekarang. Tidak apa-apa,” titahku. Salsa menatapku ragu. Kemudian, mengangguk dan pamit.
Semua siswa-siswi menatap kami berdua. Namun, aku acuhkan dan Salsa berlari ke kelasnya. Biarlah, mereka berasumsi sendiri. Tidak apa-apa bersama Salsa.
Namun, setelah mengajar di beberapa kelas. Tepat jam istirahat, aku ke kantin bersama guru-guru lain. Indra pendengarku menangkap obrolan siswa lainnya.
“Pantas saja Bu Eva terlihat murung. Kasihan sekali. Pasti Salsa menggoda Pak Mario,” ujarnya.
“Aku berpikiran sama. Salsa wanita penggoda. Ck, padahal aku berharap hubungan Pak Mario dan Bu Eva sampai ke pelaminan.”
“Pantas saja Bu Eva dan Pak Mario jarang bersama. Aku jadi jijik melihat Salsa.”
Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan mereka. Nafsu makanku hilang. Bagaimana kondisi Salsa? Apakah dia baik-baik saja?
***
Salsa POV
Akibat turun di mobil Pak Mario di parkiran sekolah, aku mendadak menjadi buah bibir di sekolah. Mereka menjadikanmu kambing hitam atas hubungan Pak Mario dan Bu Eva.
Pak Mario mengaku tidak memiliki hubungan apa-apa karena dia memutuskan untuk memilihku meski dia sempat mengangumi Bu Eva. Apakah aku benar menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka?
Semua orang di kantin mengatakannya. Memandangku dengan rendah. Tatapan jijik dan ujaran kebencian. Aku dianggap kandasnya couple terfavorit di sekolah.
“Jangan pikirkan ucapan mereka. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu istrinya dan wajar kalian bersama,” ujar Salsa. Dia memberiku susu kotak dan roti.
Aku menerimanya dan dia duduk di sampingku bersama Afiah. “Aku sebenarnya maunya tidak mendengarkan ucapan mereka. Namun, entah kenapa aku kepikiran terus,” terangku.
“Mereka akan malu sendiri jika tahu kebenarannya. Bukan kamu yang meminta Pak Mario menikahimu, tetapi ini perjodohan. Bu Eva bukan takdir Pak Mario. Andaikan mereka jodoh, seberusaha apa pun kedua orang tuamu dan Pak Mario menjodohkan kalian, kalian akan pisah. Namun, kamu bilang Hot Daddy malah memilihmu,” ujar Sakina.
***
Hari demi hari aku bersekolah di sini. Semakin banyak yang menghujatku. Memandangku penuh kebencian. Bahkan saat Bu Eva memanfaatkan keadaan.
“Bu Eva, kami turut perhihatin. Bu Eva jangan menyerah. Pak Mario akan sadar jika Salsa wanita licik,” ujar salah satu teman kelasku.
“Iya, Bu. Kami mendukung Ibu. Ibu harus tetap semangat karena yang akan menjadi milik Ibu akan tetap kembali kepada yang memiliki,” timpal teman kelasku.
Di dalam kelas, hanya Sakina, Afiah dan Gio yang menghargaiku. Meski Gio tidak tahu kebenarannya. Dia tidak menghujatku.
Bu Eva menatapku dengan tatapan penuh kemanangan. Seolah tatapannya mengatakan—inilah permainan yang akan kamu rasakan—aku mengepalkan tangan kuat.
“Rubah licik itu,” desis Sakina tertahan.
Aku menahannya. Berusaha ingat jika ini lingkungan sekolah. Kami akan di drop out jika memukul. Apalagi seorang guru.
“Kita jadikan urusan kita di luar bersama dia. Antara seorang istri dan seorang pelakor.” Sakina kembali duduk.
“Aku tidak tahan melihat wajah pura-pura tersakitinya,” imbuh Afiah.
Bu Eva keluar dari kelas bersama teman-temanku menatapku sinis. Aku dikucilkan dan aku tidak mengatakan pada Pak Mario.
***
Jam istirahat.
Aku meminta Sakina, Afiah dan Gio ke kantin. Tidak akan meninggalkan kelas karena aku pun lelah dengan tatapan kebencian semua orang. Kata-kata mereka terlalu menyakitkan untukku.
Air mataku meleleh. Aku menyembunyikan wajahku di atas meja. Sakit sekali rasanya. Ingin rasanya mengadu kepada Pak Mario, tetapi aku melihat dia sibuk akhir-akhir ini. Apalagi kemarin dia berangkat keluar kota selama tiga hari.
Derttt ....
From Hot Daddy
[Sa, ke ruanganku sekarang.]
Aku segera mengusap air mataku dan ke ruangan Pak Mario. Menulikan telinga saat bisik-bisikan mulai terdengar. Di koridor aku berpapasan dengan Bu Eva.
Aku mengabaikannya dan membuka pintu ruangan Pak Mario. Dia memintaku mengunci pintu ruangannya.
Pak Mario mendekatiku. Mengusap wajahku. Ia memperbaiki hijabku. Rongga dadaku terasa sesak.
“Apakah kamu sudah makan siang?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala. Ia menarikku duduk di sofa. Membuka pembungkus makanan.
“Pak Mario baru sampai?” tanyaku.
“Iya. Kamu baik-baik saja ‘kan selama aku pergi?” tanyanya. Lidahku keluh untuk menjawabnya. Apakah aku harus mengatakan bahwa aku sedang marah, sedih, kecewa dan ingin mengamuk? Semua bercampur menjadi satu.
“Aku baik-baik saja.”
Pada akhirnya aku memilih kata itu untuk menyangkal perasaan yang tengah terluka. Tidak mau membuat Pak Mario banyak pikiran. Biarlah, kuyakin suatu hari, api yang membakar segala perasaanku, akan meredup.
Biarlah, kemenangan semu di genggam Bu Eva. Suatu hari kemenangan mutlak akan jatuh di tanganku. Ya. Aku akan menunggu satu tahun untuk mengakhiri semua ini.
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments