Jatuh cinta itu mudah, bagian tersulitnya adalah bertahan.
.
Aku kembali ke dalam kelas bersama kedua sahabatku. Perasaanku berantakan. Aku mulai penasaran tentang hubungan mereka.
Perasaanku bertambah runyam saat Bu Eva masuk. Ia tersenyum kepada kami. Iriku berkali lipat kepada dia.
Di dalam kelas aku tidak konsentrasi selama beliau menjelaskan. Semakin buyar saat aku Bu Leni datang. Mereka berbincang-bincang.
“Bu Eva ikut nanti malam ke acara kumpul-kumpul, dong. Sudah lama kita enggak kumpul bareng teman-teman lain. Mumpung malam minggu,” ajak Bu Leni kepada Bu Eva.
“Hehehe, nanti dilihat, Bu. Soalnya mobil saya mau bawa ke bengkel,” ujar Bu Eva.
“Bareng sama Pak Mario saja. Dia akan datang nanti malam. Pak Mario pasti tidak keberatan menjemput Bu Eva. Kalian ‘kan juga sering keluar bersama.”
Perkataan Bu Leni membuat lututku lemas. Aku menekuk wajah semakin ke dalam. Mereka sering keluar bersama? Sejauh apa hubungan Hot Daddy dengannya?
Kringggg!
Bunyi bel terdengar nyaring. Kami membenahi buku kami masing-masing dan pamit kepada Bu Eva dan Bu Leni.
***
Aku melihat mobil Pak Mario tidak ada di tempat parkiran guru. Sepertinya dia sudah pulang. Aku tersenyum miris.
Terpaksa aku jalan kaki. Alisku tersentak saat melihat mobil Range Over miliknya berada di jalan yang tadi pagi saat menurunkanku.
Aku menghampirinya dan membuka pintu mobilnya. Dia menjalankan mobilnya tanpa kata. Jangan harap dia membuka suara.
Setiba di rumah, aku dan Pak Mario ke kamar. Aku segera mandi dan turun ke bawah. Membantu mamaku memasak.
“Sa, kamu hari ini pindah ke Apartemen suamimu?” tanya Mama.
“Enggak tahu, Ma. Pa—Kak Mario tidak mengatakan apa pun,” ujarku. Hampir saja aku menyebutnya bapak di depan mamaku.
“Kata Papa kamu, Nak Mario mau pindah ke Apartemennya hari ini.”
Apa Pak Mario terburu-buru mau pergi dari sini karena dia ingin bebas keluar tanpa sungkan ada mama dan papa?
***
Aku diminta memanggil Pak Mario, tetapi dia sudah turun lebih dulu. Ia tampak rapi. Aku hanya memerhatikannya saja. Lalu, kami duduk makan bersama.
Ternyata benar, Pak Mario mengajakku pindah hari ini. Orang tuaku mengizinkan kami pindah. Padahal aku berharap mama melarangku pindah.
Bisa apa aku dengan Pak Mario di Apartemennya? Hanya berdua. In lebih seram dari film horor. Setannya lebih nyata.
***
Apartemen Pak Mario luas. Kamarnya sangat nyaman. Banyak buku-buku berjejer di rak. Aku menyusun bukuku di sana juga.
Beberapa tasku aku gantung dan bajuku kususun rapi di lemari Pak Mario. Di tengah menyusun Pak Mario menghampiriku.
“Saya mau keluar dulu,” ujarnya. Apa dia sedang pamit kepadaku?
“I—iya, Pak,” jawabku.
Aku meraih tangannya. Dia meninggalkanku sendiri di Apartemennya. Aku termenung. Dia meninggalkanku demi Bu Eva.
Aku memutuskan berbaring. Malam minggu yang membosankan. Banyak notif masuk dari temanku. Aku membukanya satu per satu.
Room Chat.
[Malam minggunya enak sama Hot Daddy.] Pesan dari Afiah.
[Uwwu, bayangin saja aku ngiri.] Balasan dari Sakina. Lengkap dengan emot ngiler miliknya.
[Aku sendiri. Dengar sendiri di kelas tadi. Dia pasti menjemput Bu Eva. Kalah sama Janda.] Aku membalasnya dengan wajah lesu.
Aku berbaring dengan kaki yang aku gantung di kepala ranjang. Toh, aku sendiri di sini.
Ceklek.
Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Aku menoleh dan melihat Pak Mario di sana. Sontak aku langsung menurunkan kaki. Malunya.
“Pa—Pak Mario kenapa pulang?” tanyaku gugup.
“Kamu tidak suka saya pulang?” tanyanya dengan dingin. Tentu saja aku senang dia pulang. Tandanya dia tidak keluar bersama Bu Eva.
“Ti—tidak. Saya kira Bapak ada urusan,” liriku, dengan Janda itu, tambahku dalam hati.
***
Ternyata dia keluar membeli martabak telur. Kesukaanku sekali. Kami duduk di sofa dengan jarak lumayan jauh.
Seramnya mulai muncul. Hanya diam-diaman. Aku tidak tahu mengajaknya bicara. Topik apa yang bagus untukku mengajaknya mengobrol.
Selama mengenalnya, aku hanya berinteraksi di kelas. Itu juga karena pelajaran. Otakku buntu untuk menghadapi es kutub di sampingku.
“Kalau ada kebutuhan kamu yang kurang sampaikan kepada saya,” ujarnya. Aku mengangguk kikuk.
“Papa masih kirim uang buat aku, Pak,” ujarku.
“Tanggung jawab Papa kamu sudah lepas,” ujarnya. Wajahnya datar sekali.
“Jadi, aku makan apa, dong?” tanyaku panik, “kenapa Papa melepas tanggung jawabnya? Aku belum bisa cari uang.”
Tidak sadar aku sudah melepas martabakku. Menatapnya panik. “Kamu tanggung jawab saya. Saya yang akan membiayai kamu.”
“Kenapa?” tanyaku begitu saja.
“Karena kamu istri saya,” jawabnya membuat dadaku terasa meletup. Perutku terasa digelitik. Ada ribuan kupu-kupu yang terbang di perutku.
Istri?
Aku tidak bisa mengelak tentang rasa yang timbul untuk Pak Mario. Ia menyebut aku sebagai istrinya dengan suara dingin, tetapi terasa hangat.
“Lalu, kenapa kita belum melakukan malam pertama?” tanyaku memberanikan diri.
Matanya menyipit, “Kamu belum mengerti.”
“Aku mengerti, Pak. Bapak jangan lupa, generasi sekarang sudah dewasa sebelum usianya.” Apakah aku terlalu agresif?
“Melakukannya bukan hanya sekali atau dua kali. Ketika melakukannya, seterusnya akan dilakukan. Aku pria dewasa yang punya nafsu tinggi dan kamu—“ Dia mendekat ke arahku. Membuatku panik. “Belum bisa mengimbangiku.”
Shit! Dia benar-benar Hot Daddy! Napasnya menerpa wajahku. Bulu-bulu tanganku berdiri. Aku meremang. Seperti saat aku takut dengan hantu.
Aku masih menahan napas. Sebelum aku melepasnya dan mundur. Terlalu tidak baik untuk kesehatan jantungku.
“Hot Daddy,” gumamku.
“Apa?” tanyanya.
“Ap—apa? Aku mengatakan apa?” panikku.
“Hot Daddy,” jawabnya.
Aku segera berlari ke kasur dan menyembunyikan tubuhku di balik selimut. “Selamat malam, Pak.” Aku merutuki sikapku. Mulutku harus dilem. Bayangan wajahnya di depan wajahku mulai membuat pipiku terbakar.
Otakku sudah dipenuhi dengan plus-plus. Aku mengeratkan selimutku saat merasakan Pak Mario bergabung.
“Baru saja di depan wajahmu, kamu sudah ketakutan. Bagaimana jika—“ gumamnya.
“Jika ... jika apa?!” Kenapa dia tidak meneruskan kalimatnya?! Aku jadi berpikir yang liar. Di mana wajahnya selain di depan wajahku?!
Aku frustrasi. Bayangan punggungnya membuatku bergerak gelisah. Takut, tetapi ingin.
Mario, kamu sukses membuat setiap perasaan dalam diri ini memulai mekar. Ingin diri membakar perasaan agar berharap kepadamu tidak datang. Takutku, ketika aku dalam sayang-sayangnya, kamu pergi. Itu bagian dari patah hati yang tak berdarah, tetapi sakitnya mendarah daging.
“Jika, aku tidak takut pasti aku bisa melihat—“ Aku menggelengkan kepala dengan suara batinku. Baru begitu saja, aku sudah ketakutan. Sekarang, aku akan menganggap dia titisan Hantu.
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Pipit Sopiah
masih nyimak
2023-01-24
0
Yulia Orif
hahaha lucu
2021-10-24
0
Sulati Cus
🤣🤣🤣🤣🤣jd inget ak
2021-01-29
0