Komunikasi dan kepercayaan, aku butuh itu untuk mempertahkan rumah tanggamu.
.
Salsa POV
Kedua sahabatku menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Aku menghela napas. Tidak ada yang aku tutupi dari mereka.
“Aku dan Kak Zerka saling membantu,” ujarku.
“Bantuan apa?” tanya Afiah.
“Sakina.” Sontak Sakina menatapku dengana tatapan sulit aku artikan dan Afiah mengerjap tidak mengerti. Ia memandangku dan Sakina bergantian.
“Aku ketinggalan informasi,” lirih Afiah.
“Apa yang dia katakan padamu?” tanya Sakina.
Flashback.
“Apa?” tanyaku.
Kak Zerka menyeringai. Membuatku meneguk ludah sendiri.
“Kamu harus mencari tahu di mana rokokku. Ada barang penting di sana, menyangkut hubunganku dan Sakina,” ujarnya membuatku kaget.
Hubungannya dengan Sakina? Hufhh, sudah aku duga melihat gelagat aneh dari Sakina saat ada Kak Zerka. Rupanya ada bau-bau gosong antara mereka berdua.
Aku menggigit bibir bawahku cemas. Salah tidak, ya, mempercayai Kak Zerka. Namun, dia cowok yang dingin dan cuek, pasti dia tidak akan mengurus hal tidak penting untuknya.
“Kak Zerka, aku bukan hanya mencintai Pak Mario tanpa alasan. Dia ... suamiku,” lirihku di akhir. Dia tersentak mendengar jawabanku.
“Kamu menikah karena in—“
“Kami dijodohkan.” Aku segera memotong ucapannya. Jangan sampai dia mikir yang tidak-tidak karena sampai sekarang pun, kami tidak melakukannya.
“Baiklah. Lalu, bagaimana cara kamu menemukan rokokku?” tanyanya, “kamu bohong ‘kan soal membuangnya?” Matanya memicing menatapku.
“Ya, rokok Kak Zerka ada sama Pak Mario,” ujarku dan tersenyum tidak enak.
“Sangat mudah. Dia suamimu, kamu bisa memintanya.”
Pletak!
Dia kira mudah apa berurusan dengan Hot Daddy. Bahkan kami hanya komunikasi seadanya saja.
“Susah. Hubungan kami tidak baik-baik saja. Dia mencintai wanita di dekatnya,” ujarku.
Kak Zerka tersenyum kecil, “Jangan menyimpulkan sesuatu dengan sendirinya apalagi kalian suami-istri. Kamu tidak akan pernah tahu hatinya jika tidak bertanya kepadanya.”
Aku mendengkus. “Semua orang juga mengatakan hal yang sama,” kesalku.
“Apa orang tahu Pak Mario? Laki-laki dingin cenderung tertutup, punya ego yang tinggi dan lebih mudah menyangkal.” Matanya menerawang jauh seolah dia mengungkap jati dirinya sendiri.
“Lalu, Kak Zerka dan Sakina ada hubungan apa?” tanyaku.
“Dia pacarku yang ngambeknya satu tahun enggak kelar-kelar,” ujarnya. Kali ini ia tertawa pelan membuatku ikut tertawa.
Sakina ternyata punya pacar, dan aku tidak akan menghakiminya kenapa dia menyembunyikan hubungannya dengan Kak Zerka.
“Aku butuh rokok itu, di sana ada memori. Hari di mana aku mau memberikan kepada Sakina, aku malah menitipkannya padamu.” Ia mengangkat alisnya, “Ada dua memori di sana. Memori 8 GB ambillah, di sana ada pelajaran untukmu.”
Aku mengerutkan kening. Pelajaran untukku? Sudahlah. “Kak Zerka bantu aku panasi Pak Mario. Itu juga kalau dia cemburu, kalau enggak siap-siap saja aku diusir dari rumah,” pintaku lesu.
“Serahkan padaku.”
Flashback off.
Afiah mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menatap Sakina yang meneguk air mineralnya. Terlihat dia salah tingkah.
“Jangan bilang kamu beneran ngambek satu tahun dengan Kak Zerka?” tanya Afiah memicing menatap Sakina.
Bibir Sakina mengerucut, “Dia pantas mendapatkannya.”
Astaga, Sakina terlihat dewasa saat memberiku masukan dan ternyata dia ngambek begitu lama. Pertama kalinya melihat dan mendengar wanita bisa mengambek satu tahun.
“Itu tidak bisa dikatakan satu tahun. Kami juga ketemu di luar tanpa sengaja, walau terus berujung cekcok,” ujar Sakina, “aku pikir dia berbohong. Dia bilang membawa memori untuk membuktikan kejadian yang membuat hubunganku renggang dengannya, tetapi dia beralasan, ‘Memori itu aku titip dengan seorang gadis di sekolah ini. Terpaksa, tetapi nanti aku memintanya.’ Aku kira dia berbohong.” Sakina tersenyum tipis.
“Kenapa memendam selama itu? Kamu bisa bercerita kepada kita,” ujarku mengusap lengan Sakina.
“Kenapa kalian punya hubungan yang rumit. Cobalah sepertiku, penganut jomblo. Aku semakin tidak mau pacaran, aku lebih baik memikirkan makanan daripada pacar,” ujar Afiah membuat kami tertawa.
***
Gelap langit membuat suasana sekitar hutan terlihat gelap gulita. Kami duduk melingkar dengan api unggung di depan kami. Setelah sambutan-sambutan dari Ketua Osis, kami bisa bersantai sejenak.
Malam ini kami dijelaskan tentang bendera yang akan kami cari. Beberapa kegiatan lain juga dibacakan. Kami diminta meniliti sesuatu apa saja di sini.
Aku merasa udara semakin sejuk. Meluruskan tangan agar terkena hangatnya api unggung. Di depanku yang terhalang api unggung Pak Mario di sana.
Benarkan dia menatapku atau aku sedang berhalusinasi. Malam ini tidak terlalu sakit karena dia duduk bersama Pak Reno.
“Menurutmu kita perlu meneliti tentang apa?” tanya Gio di dekatku. Dia satu kelompok denganku.
“Gio, kamu pikir aku bisa berpikir sekarang?” Gio mendengkus. Beralih bertanya kepada Sakina dan Afiah.
“Sekarang kita boleh berangkat. Ingat dengan kelompok kalian masing-masing,” teriak Kak Nian lantang.
“Jangan jauh-jauh. Dua cowok di belakang dan cewek di belakangku.” Gio memberikan instruksi kepada kami.
“Kelompok tulip!”
“Cepetan!”
Kami segera mengekori Gio. Berjalan menyusuri jalan yang diberitahu. Selanjutnya kami diminta mengikuti arah petunjuk yang diberikan berupa tanda warna hijau.
Cuaca semakin dingin dan kami sudah jauh mengikuti petunjuk. Kakiku sudah pegal-pegal.
“Tidak bisakah kita istirahat sebentar? Nyaris putus kakiku.”
“Baiklah. Ayo istirahat semua,” panggil Gio.
Aku membuka penutup botolku. Menenguknya dan pikiranku tidak bisa kucegah. Sedang apa Pak Mario sekarang? Apakah dia bersama Bu Eva?
“Wajah kamu pucat banget, Sa.” Afiah memegang pundakku.
“Aku baik-baik saja,” ujarku.
“Yuk, lanjutkan keburu tengah malam,” ajak Gio.
Aku memaksakan diri untuk berjalan sampai tubuhku terasa mau ambruk. Memegang pohon-pohon. Pandanganku terasa buram dan gelap.
“Salsa,” panggil Gio.
“Balik ke tenda saja. Adit lo antar Salsa balik ke tenda,” titah Gio.
“Ah gak usah. Aku bisa balik sendiri. Maaf gak bisa melanjutkan,” ujarku merasa bersalah.
“Gak apa-apa. Kamu di antar sama Adit, ya. Takut kamu kenapa-napa di jalan,” bujuk Sakina.
“Biar saya yang antar kembali ke tenda.”
Aku sontak menoleh ke belakang. Badanku tiba-tiba terdorong ke depan, nyaris menubruk dada bidang pria di depanku.
“Baiklah. Hati-hati di jalan. Kami titip Salsa, Pak.”
Mereka terburu-buru pergi. Sakina dan Afia menoleh dan mengedipkan mata. Dia pasti sengaja meninggalkanku bersama Hot Daddy.
“Bisa jalan?” tanya Pak Mario.
“Bisa,” ujarku.
Rasanya masih pusing dan pandanganku semakin berkunang-kunang. Tidak sengaja memegang bajunya.
“Kita duduk dulu di sini.” Pak Mario menarikku duduk.
“Bagaimana jika kita di sini keburu tengah malam?” tanyaku khawatir.
“Kamu pikir mereka tidak sampai tengah malam di perjalanan? Mereka bisa sampai di bukit-bukit dini hari,” ujarnya.
Mimpi apa aku semalam bisa berduaan dengan Pak Mario. Dia menyodorkan air kepadaku.
“Aku sudah minum, Pak,” ujarku.
“Kamu harus minum banyak karena cuaca tidak bagus. Nanti kamu dehidrasi.”
Aku meraihnya padahal aku punya air sendiri. Jantungku berdebar-debar. Letupan kembang api mulai terasa di hatiku. Perhatian sekecil ini saja membuatku senang.
“Sa, menurut kamu pernikahan kita bagaimana?” tanyanya.
Apa dia berniat menceraikanku?
“Apa Pak Mario mau menceraikanku?” tanyaku membuat dia menatapku tidak suka.
“Kenapa bertanya seperti itu? Apa kamu begitu ingin? Ya, katakan dengan bebas kamu bisa ke mana saja dengan Zerka,” ujarnya.
Aku tidak bisa menahan kedua sudut bibirku terangkat. Dia menatapku tajam. “Kenapa Pak Mario tahu aku mau dengan Zerka? Kenapa harus nama Zerka? Apa Pak Mario melihatku bersama Zerka?” tanyaku bertuntun. Dia memalingkan wajah.
“Siapa sekarang bersikap kekanakan, huh?” Dia menoleh kembali dengan tatapan kesal. Dia berdiri, tetapi aku menahan tangannya.
“Aku belum baik-baik saja,” ujarku membuat dia kembali duduk. Pak Mario menghela napas gusar.
“Apa kamu belajar dengan Zerka?” tanyanya. Aku langsung konek dengan pertanyaannya.
“Tentu saja tidak. Maaf karena terlalu kesal kemarin. Aku tidak mungkin melakukannya dengan orang lain.”
“Belajarlah denganku,” ujarnya membuatku panas-dingin. Apa ini artinya?! Huwaaaa, aku ingin menjerit keras.
“Aku tidak mau.” Jual mahal sedikit.
“Ya, sudah.” Dasar cuek. Bujuk istrinya saja tidak tahu. Aku mengerucutkan bibir kesal.
“Dasar tidak peka,” gumamku.
“Aku mendengarmu. Ayo kita pergi di sini. Mendengarmu mengoceh, sepertinya kamu sudah baikan.” Dia jongkok di depanku.
Aku segera naik dan melingkarkan tangan di lehernya. “Aku mau belajar dengan Pak Mario,” bisikku dengan wajah memerah malu. Dari samping aku melihat sudut bibirnya terangkat.
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
RiSsa ChanYeol_61
good..semangat salsa..udah ya yang bikin aq nangis2 bacanya...pgn salsa bahagia
2020-10-19
2