SGD-15

#Suamiku_Guru_Dingin

#SGD_15

Jangan pernah salah menilaiku.

.

Salsa POV

Keheningan malam dipecahkan suara hewan malam. Bintang berkelap-kelip berhambur di atas langit. Dalam kesunyian dan kesepian, semua perlahan terawan tentang masa depan masuk atau masa lalu yang meminta izin untuk memasuki cela.

Dalam kegelapan malam di sampingku, pertama kalinya dalam semasa pernikahan kami. Dia memelukmu. Ya, suami dinginku memelukmu erat untuk mengusir segenap rasa sepi dan kecewa yang sempat hinggap.

Walau aku masih bertanya-tanya dalam batinku. Apa gerangan yang terjadi dengan suamiku? Kenapa dia bisa secepat ini berubah? Apakah ini nyata atau semu? Aku takut, sangat takut, saat harapanku mulai kugantung setinggi mungkin, suatu hari ia jatuhkan.

Terlalu sering kecewa, terlalu sering disakit, hingga takut untuk kembali dilukai. Rasanya merawat luka untuk kering itu seperti memberikan sebagaian jiwa.

“Aku berharap kamu ‘kan selalu bersamaku. Tak pernah memikirkan yang lain. Seperti selama ini, aku takut sekali, dalam sujudmu bukan namaku yang kamu selipkan, melainkan nama wanita lain,” batinku.

Aku membenamkan wajahku. Saat bayangan dia menjepit kepalaku dengan godaannya, pipiku memanas. Jawaban yang masih terginang sampai kini.

***

“Enghhhhh.” Aku merenggangkan otot tanganku. Mataku mengerjap dan melihat ke samping. Kosong, tidak ada Pak Mario.

Entah ke mana dia, aku segera mengumpul nyawaku dan keluar dari tenda. Hawa sejuk menusuk kulitku. Suasana camping mulai ramai.

“Dia pasti pergi karena ini,” gumamku. Akan bahaya jika ada yang melihat dia menginap di tendaku. Namun, walau sebentar rasanya dia mampu membuat tulang pipiku mengembang setiap saat.

“Senyum-senyum gak jelas. Kesambet, ya?” Aku kaget dan menoleh ke samping. Ternyata Sakina.

“Ih, Aku kaget tahu! Siapa juga senyum-senyum gak jelas. Pagi ini, senyumku punya alasan,” ujarku mengangkat kedua aliasku.

“Alasan kamu senyum kenapa? Padahal semalam sakit,” timpal Afiah.

“Tadi malam Hot Daddy romantis banget. Mana dia aaaaa! Bisa mati karena baperrrrr!” pekikku senang.

“Ha? Hot Daddy bisa romantis? Ceritain, dong!” Aku manrik Sakina dan Afiah duduk. Adegan semalam berputar bagai kaset drama Korea yang memabukkan.

“Mukanya dikontrol, dong, Sa,” ujar Sakina membuatku terkekeh. Ya, mau bagaimana lagi orang senang banget.

“Hot Daddy gendong aku, terus dia lebih memilih temani aku di sini daripada temani Bu eva ke bukit. Dia juga ... meluk aku,” lirihku di akhir. Betapa memerah setomat wajahku.

“Cieee hehehe, akhirnya Hot Daddy mencair juga,” ledek Sakina.

“Jomblo bisa apa?” Aku dan Sakina terbahak mendengar ucapan Afiah.

“Nah, itu Kak Bayu, free,” ujarku mendorong pelan pundak Afiah. Kami menatap sosok pemuda yang berjalan berdampingan dengan Kak Zerka.

Afiah mendelik, "Free ... free ... dikira free ongkir. Sudah ah, laper.” Dasar Afiah doyang makan, aku juga, sih, hehehe.

***

Ketika panas menggempur, kami malah berdiri dalam bentuk melingkar. Mengabaikan sinar matahari yang menghanguskan kulit. Untung gadis sepertiku sudah menyiapkan scinscare. Bisa beraktivitas tanpa takut kulit akan hitam.

“Dalam penelitian ini, kalian akan mengerjakan secara kelompok. Ingat kelompok kalian semalam dan usahakan semua penilitian kalian kerjakan bersama,” tegas Pak Reno.

“Siap, Pak!” jawab kami serempak.

“Kalian bisa mencari sekarang apa yang kalian akan jadikan bahan penelitian. Jangan jauh dari kelompok kalian dan siapkan apa yang kalian butuhkan dan perlukan selama dalam perjalanan. Jangan kelewatan bercandanya di sini.”

Bibirku langsung cemberut. Awalnya sudah semangat, tetapi mendengar ucapan terakhir Pak Reno membuatku memikirkan hal horor.

Aku kembali ke tenda setelah dibubarkan. Memeriksa apa saja yang akan aku bawa selama dalam perjalanan. Air paling perlu.

“Jangan lupa bawa jaket.”

Hampir saja aku berteriak karena terkejut. Pak Mario datang-datang tanpa ada suara. “Kagetin tahu enggak, Pak?” tanyaku kesal.

“Bawa jaket.” Dia mengulang ucapannya dan mengabaikan kekesalanku. Kutub utara mulai membeku kembali. Sepertinya akan mencari jika di malam hari. Apakah Pak Mario sejenis vampir?

“Pak Mario dampingi siapa?” tanyaku sambil memasukkan barang-barangku.

Dia ikut mimilihkan barang yang harus aku bawa selama dalam perjalanan. “Enggak ada. Hanya sebagai bina damping yang mengecek semua siswa-siswinya,” ujarnya.

“Sudah.” Aku tersenyum lebar. Dia menatapku dengan tatapan yang begitu menusuk.

“Kalau lelah, katakan pada Gio. Gio itu ketua dalam TIM kamu. Tidak ada bina damping yang ikut serta, kami percayakan pada ketua kelompok.”

Pak Mario keluar dari tendaku. Dari jauh aku melihat Bu Eva menatapku sinis bersama Bu Leni. Sepertinya dia memberitahukan hubunganku dengan Pak Mario. Apakah aku terancam keluar dari sekolah?

“Salsa, cepetan keluar. Sebentar lagi kita berangkat.” Sakina mengajakku untuk kumpul. Aku mengabaikan Bu Eva dan Bu Leni.

Gio mengabsen kami satu per satu dan mulai mendiskusikan tentang yang akan kami jadikan bahan penilitian. Kami berjalan jauh memasuki hutan.

“Kita jadikan putri malu sebagai penilitian saja, bagaimana?” tanyaku pada mereka.

“Putri malu?” tanya Sakina dan mendekat ke arahku.

“Ya, bagaimana?” tanyaku.

“Putri malu, kok aku ngerasa lagi liat kamu, ya. Kalau mau disentuh langsung tidur,” sindirnya.

“Ihhhh, siapa juga. Aku berani tahu.” Aku memejamkan mata. Benar kata Sakina, aku pasti langsung mau tidur. Lompat ke kasur dan memakai selimut. Bahkan sampai kini, statusku masih perawan.

“Cari yang lain,” ajak Afiah.

Kami mulai mencari dengan susah payah. Hingga pilihan kami jatuh pada bunga dandilion.

“Gak apa-apa kita jadikan ini bahan penelitian?” tanyaku pada Gio.

“Iya. Kita bebas memilih tumbuhan yang dijadikan sebagaia bahan penelitian ... sekarang, keluarkan buku kalian.”

Kami segera mengambil tempat dan duduk. Mengamati bunga dandilion. Bunga kecil, putih dan ketika tertiup angin semua perlahan terbang memisah.

Sekelompok dengan orang cerdas seperti mereka membuatku tak perlu susah payah dalam berpikir. Cukup liat bukunya, dan tugas selesai. Walau di kertas HVS, aku menulis hasil penelitian kami juga, mengingat aku sekretaris dan tulisanku paling bagus di antara mereka. Minimal nilai tambahan untuk tulisan yang rapi.

***

Cuitan burung dalam senja mengantar langkah kami untuk kembali ke tenda. Tidak sabar untuk sampai di sana. Di dalam perjalanan beberapa kali kami berhenti untuk mengambil gambar. Selfi-selfi sebelum kembali berhadapan dengan tugas-tugas.

Senyumku masih mengembang sebelum pudar saat melihat Pak Mario dan Bu Eva dalam keadaan berpelukan. Raut wajahku seperti bunga dandilion. Kosong ketika semua harapan telah terbang. Tertiup dengan kenyataan di depanku.

“Salsa,” panggil Pak Mario. Dia melepas pelukannya bersama Bu Eva. Kenapa wajahnya setenang air? Apa dia tidak merasa bersalah?

Aku menyerahkan laporan yang kupegang kepada Sakina. Meninggalkan tempat itu dengan air mata yang mengalir di pipiku.

“Salsa,” panggil Pak Mario. Dia mengcekal tanganku. Berusaha meronta sekuat tenaga. Namun, tubuhku malah jatuh ke dalam pelukannya.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” ujarnya.

“Lalu, apa yang harus aku pikirkan hiks saat suami di depan mataku berpelukan di depan banyak orang hiks? Apa yang harus aku pikirkan selain memikirkan bahwa suamiku telah memaikan perasaanku hiks?”

“Kamu jangan pernah menyimpulkan segalanya dari sebuah penglihatanmu saja. Apakah kamu mengerti, bahwa melihat dan mengamati itu berbeda? Sekilas mungkin terlihat seperti sebuah pelukan, tetapi jika kamu diam mengamati, kamu mungkin tahu itu sebuah ketidaksengajaan.” Pak Mario melepas pelukannya.

"Aku tidak menyukai sikap kamu yang mudah menyimpulkan sesuatu dari apa yang kamu lihat, bukan dari apa yang kamu dengar dariku. Kamu boleh dengarkan apa saja kata orang tentangku, tetapi ... jangan pernah percaya tentangku dari ‘kata orang’,” ujar Pak Mario. Dadanya naik-turun. Setiap kata yang ia lontarkan penuh penekanan.

“Walau dia orang yang aku sukai, kagumi ....”

Deg. Sakit.

“Tapi, sejak beberapa hari, aku terus berperan batin. Dan, saat aku memilihmu. Kenapa justru kamu terus berpaling dan berpikir buruk tentangku?”

Pak Mario mengusap air mataku dan meninggalkanku. Tubuhku langsung tersentak sedemikian hebat karena tangis yang kutahan sejak da mengutarakan semua kekecewaannya. Maafkan aku, Mario. Masih terus takut untuk terluka.

“Hiks dia kecewa,” isakku. Kenapa malam yang begitu indah cepat sekali berganti dengan buruk?

Kenapa pelanginya mudah sekali terhapus?

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Aminah Aqhifa

Aminah Aqhifa

suka banget sama cerita nya gak🥰

2022-08-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!