#Suamiku_Guru_Dingin
#SGD_14
“Kamu.” Jawaban sesingkat itulah yang membuatku tak pernah lelah tersenyum ketika aku menjadi pilihan.
.
Berapa kali aku mendengar akan ada pelangi setelah hujan. Menikmati setelah semua yang terjadi dalam hidupku. Tidak apa-apa kemarin itu sedih, tetapi hari ini aku bahagia. Kita bisa memperbaiki segalanya.
Bahkan ketika kita telah terlalu berjauhan langkah. Aku akan berlari untuk menyamai langkahmu. Jangan pernah berbalik untuk meraihku, karena langkah yang pernah kamu lalui tak akan pernah sama.
Biarkan aku berjalan, mengerti arti roda kehidupan. Mencari jati diri yang tengah bersembunyi di balik hati yang batu.
Rumah tangga yang baru saja membaik, kuharap selamanya membaik. Walau aku tahu harapan yang mustahil terjadi. Hidup itu penuh dengan masalah. Tugasku adalah menyelesaikan setiap masalah yang ada.
Sekenario kita telah ditentukan oleh Tuhan. Maka aku akan memainkan peranku dengan baik sampai Tuhan mengatakan aku hebat dalam berperan.
“Turunlah. Kita sudah sampai.” Mario membuyarkan segala khyalanku. Selama dia menggendongku, kami hany diam membisu. Membiarkan hewan-hewan yang berkomentar dan bersenda gurau melihat kami.
“Apakah aku berat?” tanyaku dan melepas pelukanmu di lehernya.
“Lebih berat melihatmu bersama Zerka,” gumamnya.
“Ha?” Aku tidak salah dengar, ‘kan? Pria sedingin Mario bisa romantis? Ah, rasanya sudah melambung tinggi. Coba saja dia selalu romantis begini.
“Tidak.” Dia memilih duduk di sampingku sambil merenggengkan otot tangannya.
“Apakah di sini tidak ada yang tinggal?” tanyaku pada Mario. Suasana di tenda sepi. Api unggung hampir habis.
“Ada beberapa guru di sini. Mereka pasti di tenda. Kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan dan menggosok tanganku. Namun, pengacau telah datang. Entah di mana datangnya Bu Eva. Dia langsung menyapa Pak Mario dan menganggapku tak kasat mata.
“Pak Mario, sudah pulang? Aku kira Pak Mario akan ke bukit-bukit,” ujar Bu Eva.
“Awalnya saya mau sampai di sana. Akan tetapi, Salsa tidak enak badan,” jelasnya membuat Bu Eva menatapku. Aku menaikkan alis dan tersenyum lebar.
“Kalau begitu aku akan memanggil Bu Leni untuk menemani Salsa di sini. Bukannya dia perlu istirahat?” tanya Bu Eva membuat wajahku bagai benang kusut.
“Tidak perlu, Bu. Aku tidak enak merepotkan Bu Leni. Kalau tidak enak badan begini manjaku kambuh. Ibu tahu sendiri, apalagi kalau mau manja dengan orang lain rasanya tidak enak. Saya lebih suka manja dengan orang terdekat saya,” ujarku mempertahankan senyum palsuku.
Mario menoleh kepadaku. Dia belum tahu aku mendatangi Bu Eva dan mengatakan status kami. “Tentu, saja. Akan tetapi, saya dan Pak Mario harus ke bukit,” ujar Bu Eva.
“Bagaimana dengan Bu Leni saja?” Ck, begitu ingin dia dengan Mario.
“Sayangnya, aku membutuhkan Pak Mario.” Wajah Bu Eva mulai merah padam.
“Aku lebih membutuhkannya!” Aku mulai tersulut emosi. “Bu Eva seolah tidak pernah menikah saja. Aku butuh suamiku di sini. Apalagi saat aku sedang sakit. Aku ingin ditemani, dan ingin bermanja dengannya. Rasanya aku juga kedinginan sampai membutuhkan suamiku untuk memelukku sepanjang malam,” lanjutku.
“Salsa,” tegur Mario. Dia pasti tidak percaya aku bisa sekasar ini. Bu Eva menatapku sinis.
“Pak Mario tenang saja. Bu Eva tahu kita suami-istri. Yang aku tidak tahu di sini, kenapa saat dia tahu kita suami-istri, dia terus mendekati Pak Mario,” ujarku sakras.
“Kamu anggap saya murahan?!” tanya Bu Eva marah. Matanya menatapku tajam. Aku berdiri menatapnya menantang. Pak Mario memegang lenganku.
“Saya tidak pernah menggap Ibu murahan. Jika, Ibu merasa demikian artinya, ya! Sebutan apa yang cocok kepada wanita yang mendekati pria beristri?”
“Sudah. Bu Eva sebaiknya tunggu di sini. Salsa, sebaiknya kamu di tenda dulu. Istirahat.” Aku menatap tidak percaya pada Mario. Apa dia ingin menemani Bu Eva.
Kecewaku teramat dalam. Sudah aku turunkan egoku mengatakan hal seperti itu di depannya, tetapi dia malah mengacuhkanku. Dengan kesal, aku mengempaskan tangannya.
Berjalan ke tendaku. Menarik reslitingnya dari dalam. Tubuhku langsung ambruk.
“Hiks ... aku benci kamu Mario hiks! Aku kesal! Hikssss ... huwaaaaa!”
***
Mario POV
Aku menatap kepergian Salsa dengan sendu. Dia pasti marah dan salah paham lagi. Biar aku menyelesaikan masalahku dan Bu Eva.
Aku terkejut mendengar Bu Eva telah tahu hubunganku dengan Salsa. Benar kata Salsa, kenapa Bu Eva saat tahu dia berpura-pura tidak tahu dan menutup mata. Dia bahkan menyatakan perasaannya kepadaku tadi sore.
“Bu Eva, saya akan meminta Pak Reno menemani Ibu ke bukit,” ujarku membuat dia menatapku tak percaya.
“Kamu ... Mario, jangan membodohi perasaanmu sendiri. Kamu mencintai aku. Aku tahu itu dan gara-gara Salsa kamu sekarang mengabaikan aku!” sembur Bu Eva. Dia bahkan menyebut namamu tanpa embel-embel Pak.
“Bukan karena Salsa. Memang kita salah, tidak seharusnya kita dekat. Saya punya istri, dan saya tidak akan menyakiti istri saya. Kita cukup menjadi rekan kerja saja,” ujarku sambil mengusap lengannya. Aku berbalik badan, berjalan menuju tenda Salsa.
"Sesuatu yang harusnya menjadi milikku tidak akan pernah aku lepaskan.”
Aku hanya mengepalkan tangan. Melanjutkan langkahku. Di depan tenda, Salsa, aku merogoh ponselku. Mengirim pesan kepada Pak Reno.
[Pak Reno, tolong temani Bu Eva ke bukit. Saya akan tinggal di tenda.]
[Baiklah.]
Aku menyimpan ponselku. Melihat tenda yang tertutup rapat. Menghadapi wanita di bawah umurku dengan menyangkut perasaan membuatku kaku.
“Salsa,” panggilku.
“Sa!” Belum ada tanda-tanda dia membuka tendanya. Perlahan mendengar suara isak tangis. Dia tidak mungkin tidur.
“Salsa ... kita perlu bicara,” ujarku.
“Hiks aku tidak mau. Pergi saja dengan Bu Eva! Temani dia ke bukit!” Bibirku tersenyum tipis mendengar suaranya yang berteriak kesal.
Apa dia cemburu?
“Dengar-dengar, di hutan ini, ada banyak hantunya. Hantunya akan keluar—“
Zretttt!
Pintu tendanya terbuka. Dia menatapku kesal dengan bibir melengkung ke bawah. Wajahnya sangat sembap. Aku mendorongnya pelan dan ikut masuk ke dalam.
Zrett. Kembali menari resleting tenda. Dia duduk memalingkan wajah.
“Kenapa, sih, sekesal itu? Sampai tidak mau buka tenda?” tanyaku menahan tawa.
“Tanyakan saja pada kekasih hati Pak Mario,” geramnya.
“Aku sedang bertanya kepada kekasihku. Dia hanya menjawab ketus dengan wajah jetuknya,” godaku.
“Siapa?” tanyanya tanpa menoleh.
Degan gemas melihat tingkahnya, aku menepit kepalanya dalam rangkulanku. Membuat wajahnya menghadapku.
“Kamu.” Wajah Salsa merah padam. Hahaha.
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
RiSsa ChanYeol_61
mariooooo
2020-10-19
1
RiSsa ChanYeol_61
salsa.
cayooooo
2020-10-19
0
Zami Azizah
hahhahahahahah,,,,, puas rasaxxxx,,,
2020-08-29
1