Ke esokan paginya, Archi bangun ketika mendengar adzan berkumandang. Tidak ingin berpapasan dengan Agust karena Pangeran Kodok, Archi membawa perlengkapan kerja dan shalatnya ke kamar Kenji.
Tidak berselang lama Agust pun bangun dari tidurnya. Tangan putihnya meraba sisi tempat tidur Archi yang sudah tidak ada penghuninya.
"Semalam sepertinya aku ketiduran," gumamnya sambil menggosok mata ngantuknya. "Kemana Archi? Apa dia nggak pulang semalam?" tanyanya duduk di tempat tidur dan melihat sekeliling kamar.
"Dia pulang, lilin-lilin itu mati." kata Agust lagi menyimpulkan. "Dan itu apa?" matanya tertuju kepada paperbag di atas meja belajar. Dia menghampiri meja dan melongok ke dalam paper bag.
"Ini kemeja pria," ujarnya mengeluarkan kemeja dari dalam paperbag. "Apa Archi membelikannya untukku? Bagus banget!" pujinya menaruh kemeja di depan tubuhnya.
"Ah...belum tentu ini untukku. Sebaiknya aku tunggu apa dia akan memberikan ini kepada aku atau untuk orang lain," gumam Agust.
Dengan perasaan riang dia pergi ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Setelah melaksanakan shalat shubuh dia turun ke lantai bawah dan mencari keberadaan Archi yang belum nampak di radarnya. Namun dia tidak bisa melihat Archi di ruang tamu dan ruang keluarga. Agust memutuskan menuju ke dapur.
Di sana Ibu sedang repot memasak sarapan. Di hari kerja semua keluarga akan berkumpul di meja makan pukul 6 pagi.
"Ibu Mertua, ada yang bisa aku bantu?" tanya Agust.
"Oh boleh, tolong siapkan bahan untuk sayur sop ya," titah Ibu.
"Tentu," Agust mengenakan celemek nya dan bersiap memasak.
Agust membantu Ibu memasak di dapur. Tepat pukul 6 makanan sudah siap tersaji di meja makan. Satu persatu anggota keluarga Archi datang ke meja makan.
"Wah..., ibu punya asisten pribadi sekarang!" seru Ayah seraya duduk di kursi meja makan. Berbarengan dengan Archi memasuki dapur menggunakan pakaian kerja rapih.
"Iya dong Yah! Asisten yang lebih handal dari kokinya," puji Ibu selangit.
Yang dipuji memberikan senyumnya kepada Archi.
"Idiih..., kucing mana bisa masak. Tahunya kan makan doang," sahut batin Archi sirik sambil menarik satu kursi ke belakang untuk ia duduki.
"Semalam kenapa pulang telat?" tanya Ibu menaruh sepiring kecil irisan daging tipis berwarna hitam dengan taburan wijen di atas meja, di hadapan Archi.
"Aku ada makan-makan dengan teman kantor," jawab Archi memandangi daging di hadapannya.
"Suamimu memasak itu, ibu sisakan untukmu semalam," jelas Ibu mengenai bagaimana daging itu bisa ada sekarang. "Ibu sudah menghangatkan itu, cobalah selagi masih hangat," suruhnya lagi.
"Apa ini? Hitam begini? Gosong? Pasti nggak enak," cela hati Archi. "Tetapi ini seperti masakan itu, apa ya lupa namanya aku...?" Pikirnya coba mengingat namun tetap tidak ingat.
"Heuh...aku nggak percaya Agust yang memasak ini," ejek Archi sambil mengambil garpu.
"Archi, masa kamu masih memanggil suami kamu nama begitu!" tegur Ayah. "Panggil Aa, Mas, atau Abang kan lebih pantas," sambung Ayah membuat Archi geli membayangkan harus memanggil Agust dengan sebutan itu.
"Iya Yah! Maaf," jawab Archi. Kemudian dia menusuk daging dengan garpu yang langsung dia lahap masuk ke dalam mulut.
"Enak loh itu!" ujar Ayah lalu menyeruput kopi di cangkirnya.
Matanya yang membesar bersinar, Archi tertegun dengan rasa yang tidak dia duga sebelumnya.
"Ya kan enak? Rasanya otentik," tanya Ayah memastikan sambil menyunggingkan sudut bibirnya.
"Iya, enak juga masakan Agust..., maksudnya Aa Agust," perut Archi terasa mual bukan karena makanannya tetapi saat dia mendengar suaranya menyebut nama Aa Agust.
"Hebat loh dia bisa masak bulgogi, masakan Korea. Ibu aja nggak bisa masaknya," puji Ibu yang sudah terpesona dengan keahlian menantu yang sempat dia tolak itu.
"Iya kah, ini bulgogi bulgogi itu? Masakan Korea yang terkenal itu?" tanya Archi tidak percaya.
"Iya. Norak ih kamu Archi!" ejek Ayahnya terselip rasa bangga di suaranya karena telah berada di atas satu tingkat dari anak muda soal kuliner makanan kekinian.
"Dari mana kucing ini punya keahlian masak?" pikir Archi mentautkan alisnya sambil memandang Agust. "Apa ini bisa menunjukkan kalau sebenarnya dia ini manusia bukan kucing?"
Setelah sarapan, Archi terpaksa naik ke lantai dua untuk mengambil sepatu kerjanya yang tertinggal di kamar. Archi membungkuk mengambil sepatu yang dia taruh di bawah meja belajarnya.
"Archi....," panggil Agust yang tiba-tiba muncul di pintu kamar.
"Wuaaa!" pekik Archi terkejut, berbalik menghadap ke arah Agust. "Ngagetin aja kamu!" ocehnya sambil memeluk sepatunya.
Waspada mode on dinyalakan olehnya. Takut-takut Agust melancarkan aksinya merebut ciuman pertamanya.
"Kamu ngehindarin aku ya?" tanyanya mendekati Archi.
"Ngehindarin kamu? Kenapa?" Archi balik bertanya pura-pura tidak mengerti. Hatinya kini berdegup tidak karuan karena Agust semakin mendekat kepadanya.
"Itu, salat dan siap-siap di kamar Kenji," sahut Agust yang hanya berjarak setengah jengkal di hadapan Archi. Membuat Archi terpojok di meja belajarnya.
"Ng...nggak kok...," jawab Archi gemetar. Dia tampak sangat gugup.
"Bohong," tukas Agust mendorong wajahnya ke wajah Archi. Archi memundurkan wajahnya, menolehkannya ke samping dengan memejamkan matanya.
"Ampuunnn...!" jerit hati Archi diantara rasa takut dan juga berdebarnya. "Aku belum siap," sambungnya.
"Karena ini kan?" tanya Agust. Archi membuka matanya perlahan dan melihat buku Pangeran Kodok terpampang di hadapannya. Archi melongo menatap Agust yang memegang buku dongeng itu.
Agust mundur memberikan jarak dengan Archi.
"Jadi kamu nggak bakal maksa aku?" tanya Archi sedikit lega.
"Kamu maunya aku paksa?" tanya balik Agust mengapit wajah Archi dengan telapak tangannya dan berlagak hendak mencium Archi. Archi menarik kepalanya kebelakang, sambil meronta.
"Ya enggaklah," jawab Archi.
"Ya udah," Agust melepaskan wajah Archi. "Aku juga nggak mau mencium kamu kok,"
"Terus ngapain kamu bikin kamar ini jadi romantis begini?" tunjuk Archi ke sekeliling kamar yang masih berhiaskan bunga mawar.
"Aku tuh cuman mau kita sharing, bicara lebih intimate soal perasaan kita," jawab Agust.
"Perasaan kita? Aku juga belum tahu bagaimana perasaan aku sekarang ini," pikir Archi sambil memasang sepatu tepleknya di kaki.
"Barangkali aku bisa tahu apa benar aku bisa mematahkan kutukan lewat perantara kamu," sambung Agust.
"Kutukan lagi! Kamu benar-benar yakin kalau kamu itu di kutuk?" hardik Archi.
"Iyalah. Hanya itu alasan yang bisa diterima akal sehatku," sahut Agust begitu yakin. "Lagipula aku sudah memiliki sedikit petunjuk kalau aku ini sebenarnya manusia. Kata Kenji aku jago main basket dan kata Ibumu alam bawah sadarku menyimpan memori keahlian memasakku dulu,"
"Ya ampun... Bisa aja kamu tahu itu semua karena dulu sering memperhatikan orang bermain basket dan memasak." tampik Archi.
"Apa bisa sampai sedetail takaran dan bahannya kalau hanya memperhatikan?" bantah Agust yakin.
"Bisa ajalah," sungut Archi. "Begini ya sampai sejauh ini aja ingatan yang ada dalam bayanganmu adalah pandanganmu sebagai kucing. Jadi itu menunjukkan kalau kamu itu kucing," ungkap Archi lalu berjalan keluar kamarnya.
Bahu Agust terjatuh lesu. Betapa kecewanya dia mendengar argumen Archi yang mematahkan keyakinannya dengan entengnya.
"Kenapa dia seperti itu?" gusar Agust di dalam hati. "Apa dia lebih menyukai kenyataan kalau aku ini sebenarnya kucing?" batinnya mempertanyakan sementara matanya memandang hampa punggung Archi yang berjalan di hadapannya.
Agust memalsukan senyumnya yang miris, "Kenapa juga dia harus lebih menyukai kalau aku manusia? Bukankah memang lebih baik kenyataan kalau aku sebenarnya kucing jadi dia bisa lepas dari aku yang membebani hidupnya, bukankah begitu?"
"Kamu mau mengantar aku keluar atau nggak?" tanya Archi yang sudah sampai di bawah meninggalkan Agust yang mematung di tengah tangga.
"Oh iya," setengah berlari Agust menuruni tangga.
Agust pun mengantar Archi sampai keluar pagar.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Diana Amalia
inget, bkn kucing biasa lo😏
2023-09-06
1
Suchwita
kasian agus jgn gitu Archi
2023-07-03
2