Selesai menelusuri jembatan, Archi dan Agust kembali ke rumah. Sudah hampir di dekat rumah tiba-tiba Agust merasa perutnya sakit, ingin buang air besar.
"Aduuuh....aku mules nih!" seru Agust memegang perutnya. "Aku jalan duluan ke rumah, ya?" pamitnya berjalan cepat menuju rumah.
"Dasar kucing, habis makan pengen PuP," celetuk Archi berjalan santai memasuki gerbang rumahnya.
Mobil sedan seharga setengah miliar, berwarna silver berhenti di depan gerbang rumah Archi dan terdengar suara seorang pria memanggilnya,
"Archi!" panggilnya.
Archi menoleh dan keluar dari pint gerbang setinggi setengah tinggi orang dewasa bercat hitam.
Jeremy keluar dari mobil bersamaan dengan kakak yang duduk di bangku penumpang bagian depan.
"Kak Jeremy!" seru Archi.
Jeremy menghampiri Archi dan tanpa di persilakan langsung memeluk tubuh Archi yang kecil. Membuatnya tenggelam dalam tubuh tinggi Jeremy. Archi dan kakak dibuat terkejut karenanya.
"Selamat ya atas pernikahanmu!" ucap Jeremy tanpa sungkan.
"Eu...iya, Kak. Terimakasih!" jawab Archi mencoba melepaskan pelukan Jeremy. Archi pun jadi merasa canggung dan tidak enak kepada kakaknya.
Dengan kesal Kakak menarik baju Jeremy untuk mundur. Tanpa menyadari ketidak sukaan Archi dan Kakak tentang sikap over ramahnya Jeremy melepas pelukannya.
"Kenapa kamu nggak ngundang aku ke pernikahanmu sih?" keluh Jeremy sekedar bergurau.
"Itu..." Archi menunduk, bingung untuk menjawab apa.
"Mana suamimu?" tanya Jeremy lagi masih memasang senyumnya.
"Dia di dalam, apa mau ketemu dulu?" tanya Archi.
"Emm...lain kali aja deh. Sudah sore aku masih ada urusan," kata Jeremy seraya melongok jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Baiklah..." jawab Archi.
"Sampai nanti Archi!" Jeremy melambaikan tangan kepada Archi. "Aku pulang ya Levi!" pamit Jeremy kembali ke mobilnya.
Setelah mobil Jeremy pergi. Archi dan Kakak masuk ke dalam rumah.
"Kamu ngapain sih peluk-peluk Jeremy!" hardik Kakak mendorong pundak Archi pelan.
"Loh...yang meluk kan kak Jeremy, kenapa aku yang disalahkan?" sungut Archi tidak terima.
"Ya kamu mau aja dipeluk-peluk?" sahut kakak lagi.
"Tadi aja aku coba lepasin kok," Archi terus membela dirinya.
"Kenapa sih kalian ribut terus?" tanya Ayah yang datang karena mendengar keributan Archi dan Kakak.
"Itu tuh si Archi meluk-meluk pacar aku," adu Kakak merajuk.
"Bohong, Kak Jeremy yang meluk aku!" tukas Archi.
"Sudah...sudah...!" tandas Ayah. "Kamu jangan terlalu memuja Jeremy, dia bukan pria baik untukmu," ujar Ayah kepada Kakak.
"Ayah...!" kesal Kakak. "Giliran si Agust yang nggak jelas asal usulnya di bela-bela. Giliran Jeremy yang sudah kita kenal dari dulu dan asal usulnya juga jelas Ayah bilang nggak baik," gerutu kakak tidak terima.
"Ayah lebih tua dari kalian dan bisa membaca sifat orang walau hanya dari melihatnya," jelas Ayah lalu pergi meninggalkan Kakak.
Archi mengangkat bahu dan alisnya berbarengan sambil berjalan ke tangga menuju ke kamarnya.
"Mereka itu....!" geram kakak. "Ayah dan anak sambung tapi mereka mirip satu sama lain. Menyebalkan!" sungut kakak. Berjalan menghentak-hentak kaki dengan kesal.
Di kamar Archi . . .
Agust muram, sambil bersedekap tangan dia memandang keluar jendela saat Archi memasuki kamar.
"Jangan sedih gitu dong!" ujar Archi seraya menutup pintu. Agust menoleh lalu menghela napas.
"Aku hanya ingin kepastian, aku ini sebenarnya apa?" keluhnya menurunkan bahu seraya berjalan lunglai untuk duduk di tempat tidur.
"Pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru. Kamu nikmati saja dulu yang ada sekarang," jawab Archi membuka pintu lemarinya mencari baju untuk dia pakai nanti malam.
"Lagipula aku takut," kata hatinya terdengar muram. Wajahnya setengah menunduk dihadapan tumpukan-tumpukan baju di dalam lemari. Sedikit rambutnya yang terurai jatuh ke sisi wajahnya seolah menutupi raut kesedihannya.
"Aku takut apa yang aku pikirkan menjadi kenyataan. Ketika kamu menemukan masa lalumu dan tidak ada bagianku di sana, maka kamu akan meninggalkan aku," pikirnya.
"Ataupun bila pada kenyataannya kamu memanglah seekor kucing, bagaimana caranya kita bersatu dengan perbedaan itu?" Tambah Archi menarik kaos hitam dan ledging abu dari tumpukan baju.
...****************...
Hari Rabu yang sibuk. Di Kantin gedung perkantoran tempat Archi bekerja begitu riuh ramai oleh para karyawan yang berkumpul untuk mencari makan siang. Di sebuah meja panjang berbahan akrilik, berwarna putih susu, Archi dan teman se-divisi nya berkumpul dengan nampan makanan di depannya masing-masing.
"Jadi beneran kamu udah nikah?" tanya seorang teman Archi, Susan. Rambutnya yang ikal terikat separuh ke belakang.
"Parah sih...kamu nggak ngundang-ngundang kami," protes seorang lagi yang dikuncir kuda kebelakang, Andini.
"Ini pernikahan sederhana kok. Tau sendiri kan Ayahku orangnya kaya gimana," dalih Archi.
"Konservatif!!!!" seru teman-teman Archi berbarengan sambil tertawa. Archi ikut tertawa.
"Ya, makanya aku nggak berani ngundang kalian," sambung Archi.
"Aku mau lihat dong, suamimu kaya gimana?" pinta Andini penasaran.
"Aku belum sempet foto," Archi terdengar miris dengan menyipitkan sebelah matanya.
"Ck..., Ampun deh, suami sendiri nggak di foto!" sahut Susan.
"Jangankan suaminya, dia aja nggak punya foto sendiri," bela Icha yang sangat tahu kebiasaan Archi yang tidak bisa narsis dan malu untuk hal berbau foto.
"Kalau gitu ke rumahnya aja, kita lihat langsung!" usul Susan sangat bersemangat.
"Eh...jangan...nanti Ayahku marah lagi," larang Archi.
"Kita kan hanya main ke rumah kamu, sekalian silaturahmi," Andini mengerling kepada yang lain.
"Kamu kok mau di jodohin?" tanya Susan bingung.
"Maulah, dia aja susah buat punya pacar sendiri," seloroh Andini di susul tawa yang lain.
"Daripada harus nyari lagi," susul Icha.
"Pasti di jodohinnya sama anak pesantren. Ayah kamu kan orangnya agamis banget," terka Susan.
Archi hanya tersenyum membayangkan Agust jadi anak pesantren. Memakai peci, sarung dan baju koko.
"Kalau Ridwan tahu dia pasti patah hati," kata Andini.
"Oh...haha...Manager kita itu," kelakar Susan.
"Iya, kasihan Ridwan. Ngejar-ngejar kamu dari awal, kamu finishnya sama orang lain," sambung Andini prihatin.
"Apaan sih kalian ini. Jangan gitu nanti jadi fitnah," jawab Archi.
Baru selesai berbicara yang dibicarakan datang membawa sebuah apel dan bergabung dengan mereka di meja yang sama.
"Lagi ngomongin apa nih?" tanya Ridwan tersenyum tampan. "Ini apel untukmu Archi. Kamu suka banget apel, kan?" Ridwan menyerahkan apel kepada Archi sambil duduk di bangku.
"Terimakasih," ucap Archi lirih dan lembut.
"Ngomongin cuti bersama besok pak," kelit Susan berbohong. Ridwan mengangguk.
"Long weekend kita," tanggap Ridwan mengintip Archi dari sudut matanya.
Ridwan Ariesta adalah Manager muda yang dielu-elukan di kantor Archi. Selain wajahnya tampan, di usianya yang begitu muda banyak prestasi yang sudah dia dapatkan. Namun tidak bisa dipungkiri usianya yang masih terlalu muda terkadang membuat sifat kekanak-kanakannya suka timbul.
"Iya pak. Liburan kemana nih pak? Bali pasti!" terka Andini.
"Nggak, nggak ada yang diajak buat jalan bareng sih," jawabnya menatap Archi. Membuat Archi jadi salah tingkah dan segera menunduk dengan wajah tersipu.
"Kita aja pak, hahahaha!" tawar Susan tanpa malu-malu.
"Boleh kalau kalian mau." sambut Ridwan dengan entengnya.
"Nggak akh pak, kalau harus bayar sendiri. Nggak ada dananya," sahut Andini terlalu berterus terang.
"Kalau Archi mau, aku bisa bayarin kalian semua," ujar Ridwan membuat semua terkejut. Terutama Archi yang langsung menegakkan wajahnya dan membesarkan matanya. Tidak menduga dengan jawaban yang akan diberikan Ridwan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Inah Ilham
waaahhhh... circlenya archi ngga kaleng kaleng dong 😲😲😲
2023-09-17
1