Hari Minggu itu berlalu begitu lambat. Archi menghabiskan harinya di kamar. Sementara Agust memenuhi janjinya kepada Kenji untuk mengajaknya bermain basket di halaman depan rumahnya.
"Wah... Kakak hebat main basket!" sorak Kenji setelah melihat Agust melakukan slam dunk ke ring basket.
"Benarkah?" tanya Agust merendah seraya memutar-mutar bola basket di jari telunjuknya.
"Kakak dulu pasti sering main basket ya?" tanya Kenji.
Agust menangkap bolanya dan memasang wajah berpikir, "aku dulu sering main basket?" gumamnya.
"Eehhh...lagi main basket, ya. Aku juga dong mau main basket!" seru Archi keluar dari dalam rumah mendekati Agust.
"Sini ka Main bareng kami!" ajak Kenji riang. Berbeda dengan raut Agust yang langsung berubah malu. Wajahnya merah dan tertunduk, tidak berani untuk menatap Archi.
"Kenji..., kakak sakit perut. Kakak ke kamar mandi dulu ya," pamit Agust buru-buru masuk ke dalam rumah.
"Agust...!" panggil Archi. "Aku keluar dia malah ke dalam," gerutu Archi mengambil dan men-dribble bola basket layaknya pro player.
"One shoot!" Serunya melompat dan melempar bola ke ring dengan percaya diri namun berakhir gagal.
"Huuuu....kakak payah!" ejek Kenji mengacungkan jari jempol ke bawah.
"Belum...itu baru pemanasan," kelitnya kembali mengambil bola basketnya. Saat dia bersiap melompat seseorang mengangkat bobot tubuhnya dari belakang dan membuat Archi terkejut dengan tangan kekar melingkar di pinggangnya.
"Eee...lepasin tolong!" jerit Archi yang sudah berada di udara ketakutan. Degupan jantungnya berpacu lebih cepat.
Dia belum tahu siapakah orang yang mengangkat tubuhnya dari belakang itu. Yang cukup pasti dia adalah seorang pria kuat karena dengan mudahnya dia bisa mengangkat tubuh kecil Archi hanya menggunakan satu lengan saja bagai menggendong anak balita.
"Ayo lempar bolanya!" suruh suara pria yang mengangkat tubuhnya itu terdengar tidak asing di telinga.
"Hahaha... Ka Jeremy bantu kaka shoot bola!" kelakar Kenji terbahak.
"Jeremy?" batin Archi berubah resah.
"Ka Jeremy tolong turunin aku!" pintanya.
"Ya udah lempar dulu bolanya!" suruhnya. Mau tidak mau Archi melemparkan bola di tangannya ke ring. Namun karena tangannya yang gemetar lemparan itu pun gagal masuk ring.
"Ah...kak Archi memang payah Kak Jeremy!" ejek Kenji lagi.
"Jeremy...!" teriak Kakak sudah di teras depan rumah mamasang wajah marahnya. Dia berjalan menghentak-hentak kaki mendekati Jeremy. Jeremy menurunkan Archi ke bawah.
"Ngapain kamu ngangkat-ngangkat Archi!" murka nya memukuli Jeremy dengan sling bagnya.
"Aduuuh....sakit Levi!" Jeremy memasang tangan sebagai prisai di dadanya. "Aku cuman bantu Archi masukin bola ke ring kok Levi," jawab Jeremy dengan mudahnya seolah tanpa dosa.
"Kamu aja nggak pernah ngangkat-ngangkat aku!" omelnya.
"Jadi kamu mau aku angkat juga?" tanya Jeremy.
"Iya bukan gitu!" gusar Kakak melipat tangan di atas perut dan berdiri menyampingi Jeremy.
"Iya deh Levi...maafkan aku!" bujuk Jeremy memegang lengan Kakak yang merajuk. Tetapi Archi menangkap keanehan, dia melihat tatapan Jeremy mengarah kepadanya bukan kepada pacarnya yang sedang merajuk.
"Kenapa dia menatapku?" tanya Archi bingung sekaligus merinding. "Dia bertengkar dengan kakak tetapi yang dia tatap diriku?" pikirnya membalikkan badan.
"Kenji..., ayo masuk ke dalam!" ajak Archi mengulurkan tangannya untuk digandeng adik kecilnya.
"Kita jadi jalan nggak?" tanya Jeremy dengan suara bermanja. Matanya beralih menatap kakak saat Archi telah hilang di balik pintu.
"Ayo..., tapi jangan kamu ulang lagi ya. Dekat-dekat dengan Archi!" peringati Kakak.
"Memang kenapa sih Levi? Archi kan adik kamu, masa kamu cemburu sama adik sendiri?" tanya Jeremy.
"Cemburulah, walau dia adikku dia tetap saja wanita lain buat kamu. Lagian dia itu kan sudah punya suami nggak pantas disentuh-sentuh pria lain,"
"Iya deh...maafkan aku. Udah ya jangan marah lagi," bujuk Jeremy mencubit gemas pipi kakak dan berhasil membuat kakak tersenyum dan tersipu dengan sikap sok cute Jeremy.
Sementara kembali ke dalam rumah, Archi menyusul Agust yang pergi ke kamar mereka. Agust terlihat sibuk mencari sesuatu di depan lemari baju,
"Kamu nyari apa?" tanya Archi mengulur wajahnya ke depan wajah Agust.
"Nggak..., aku nggak nyari apa-apa," jawabnya tampak gugup. Dengan cepat dia menarik kaos dan celana training dari dalam lemari. "Ini sudah ketemu!" jawabnya berbalik tanpa mau melihat wajah Archi lalu berjalan menuju pintu.
"Hey Agust...., kamu kenapa sih?" tanya Archi namun tidak mendapat respon dari Agust yang sudah membuka pintu dan pergi keluar kamar.
"Dia itu sebenarnya kenapa sih?" gumam Archi mencoba berpikir apa yang sebenarnya membuat Agust bersikap aneh. "Apa dia ngambek sama aku, gara-gara aku nggak mau jawab soal Pangeran Kodok?"
"Masa kaya gitu doang dia ngambek? Tau akh pusing aku...!"
...****************...
Hari pun berganti, Hari yang lebih menyebalkan dari semua hari tiba. Hari Senin, saat semua aktifitas kembali di mulai. Tak terkecuali Archi yang harus kembali bekerja. Kesibukannya di pagi hari menyiapkan keperluan kerjanya membuat dirinya lupa dengan tingkah Agust kemarin. Tanpa memberatkan hal itu dia berangkat ke kantor.
"Aduuuh...!" terdengar ibu mengaduh dari arah dapur. Agust yang kebetulan lewat bergegas menuju dapur dan melihat apa yang terjadi kepada ibu mertuanya.
"Ibu Mertua ada apa?" tanya Agust terlihat khawatir.
Ibu menyeret satu kakinya dan membawanya untuk duduk di kursi.
"Nggak apa-apa Agust. Hanya biasa penyakit orang tua muncul," jawab Ibu duduk bersandar di kursi.
"Kram ya bu?" tanya Agust perhatian.
"Iya, tetapi nggak apa-apa nanti juga mendingan kok,"
Agust melihat dapur yang berantakan dan bahan makanan yang belum sempat ibu olah.
"Semua bahan ini untuk makan siang dan malam kan bu?" tanya Agust sambil mengambilkan minyak angin yang biasa Ibu pakai lalu memberikannya kepada Ibu.
"Iya, bila sempat akan ibu masakan. Kalau nggak, mau nggak mau kita pesan delivery food aja," jawab Ibu membalur kakinya dengan minyak angin.
"Gimana kalau aku yang masak aja bu?" usul Agust terdengar mencengangkan bagi Ibu.
Ibu tertawa geli, "Kamu mau masak Agust?" tanya Ibu nggak habis pikir. "Nggak perlu memaksakan diri, santai saja. Kita bisa pesan online untuk makan," keukeuh ibu bersikeras.
"Sudah bu, biar aku coba dulu ya!" pinta Agust. Ibu terdiam menatap ragu kearah Agust yang memasang puppy eyes.
Ibu menarik dan membuang napas cepat, "Baiklah. Kamu boleh mencobanya," jawab Ibu pasrah. "Ibu di sini untuk membimbing kamu,"
"Jangan cemas bu!" Agust tersenyum dan mulai mengambil pisau untuk menyiangi sayuran.
"Dia bisa membetulkan pipa waktu itu. Mungkin dia juga bisa memasak," pikirnya mencoba percaya kepada Agust.
Ibu memperhatikan Agust yang terlihat luwes mempersiapkan bahan masakan. Dengan cekatan dia tahu apa yang harus dia lakukan meski tanpa arahan ibu.
"Sepertinya sebelum kamu hilang ingatan, kamu pandai memasak ya Agust?" terka Ibu. "Kamu terlihat nggak kaku dengan semua bahan makanan ini," simpul Ibu.
"Benarkah Bu, aku hanya bergerak sesuai dengan intuisiku," jawab Agust.
"Itu keren. Alam bawah sadar dari sisa ingatanmu yang melakukannya. Ibu sering dengar soal itu pada orang yang amnesia."
"Bermain basket dan memasak, aku memiliki dua keahlian itu. Itu sedikit menunjukkan kalau dulu aku adalah manusia, bukan sepenuhnya kucing," pikir Agust.
"Karena kalau kucing, apa mungkin bisa memiliki keahlian bermain basket dan memasak?" sambungnya.
"Lagi mikirin apa?" tanya Ibu yang melihat Agust melamun sambil mencuci sayuran.
"Oh...nggak kok bu. Apa Archi bisa memasak Bu?" tanya Agust.
"Ibu yang nggak akan membiarkan dia berada di dapur untuk memasak. Dapur ibu bisa hancur atau bisa jadi rumah ini akan terbakar karena dia memasak," Agust tertawa kecil mendengar cerita Ibu.
"Aku pikir dia bisa memasak karena Ibu suka menyuruhnya membantu Ibu di dapur,"
"Ibu hanya menyuruhnya mencuci sayuran dan hal kecil lainnya. Kalau memegang pisau atau kompor sebaiknya jangan. Itu yang membuat Ibu nggak setuju saat dia bilang mau ngontrak rumah sama kamu,"
"Oh jadi itu juga alasannya mereka nggak mengizinkan kami ngontrak." batin Agust.
"Beruntungnya Archi memiliki keluarga yang sangat peduli dan perhatian kepadanya. Aku juga beruntung memiliki mertua baik dan mau menerimaku yang nggak jelas asal usulnya ini," tambahnya lagi jadi merasa terharu.
"Tetapi melihat kamu bisa memasak Ibu sedikit lega," kata hati ibu kini yang berbicara.
"Anak ceroboh itu akan ada yang mengurusi makanannya bila Ibu nggak ada," pikir Ibu dengan mata berbinar menatap menantunya yang sedang menumis sesuatu di atas kompor.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments