Part Sixteen

Kelelahan melanda ketiga gadis itu, bagaimana tidak? Menelusuri desa tentu saja membutuhkan tenaga yang banyak bagi yang tak terbiasa. Dinda telah mengambil posisinya di tempat tidur, pun dengan Sisil dan Lidya. Kamar berdinding kayu jati itu begitu rapi setiap sudutnya, meja hias yang berkaca besar itu mengkilat menampakkan sesosok perempuan cantik berambut panjang tengah mengikat rambutnya yang begitu indah. Kemudian, berdiri dari kursi riasnya menuju ranjang.

"Sisil Sayang," ucapnya sambil mengelus pelan rambut Sisil.

"Bi... Bi Mirna?" balas Sisil setelah

perlahan membuka matanya.

"Iya ini Bibi. Kamu kenapa belakangan murung? Pengen cari tahu tentang Bibi ya?" tanya Bi Mirna begitu lembut. Sedangkan Sisil hanya mengangguk pelan.

"Nggak usah memaksakan anak baik, kamu harus sabar. Bibi nggak mau semua ini mencelakakan mu." Sisil masih terheran-heran.

Seorang lelaki tua menyusul dari belakang. Sisil mengernyitkan dahi dan matanya, "Mbah?."

"Iya, ini Mbah. Kakeknya Bundamu."

"Bunda?" tanya Sisil.

Kakek itu dan bibinya Sisil menjauh mundur menuju sisi kamar, sembari keduanya menunjukkan ke bagian dinding di hadapan mereka. Tepatnya dinding di bagian atas kepala ranjang.

"DI SANA," tegas Mbah dan Bi Mirna.

"Bi... Mbah... Bi.. Mbahhhhh...," panggilnya sekeras yang dia bisa.

"Temukan aku, Nak." Suara itu terdengar jelas di telinganya, tidak hanya jelas bahkan menyakiti gendang telinga gadis itu. seketika ia terbangun dari tidur nyenyak semalaman dengan posisi yang langsung terduduk karena terkejut.

"Hah...," teriaknya.

"Kenapa kamu teriak, Sil. Mbah? Bi siapa?" tanya Lidya yang terbangun karena suara dan gerakan Sisil yang berubah drastis. Mengakibatkan guncangan pada ranjang dan memekikkan telinga.

"Nih minum," tawar Lidya memberi segelas air pada Sisil yang tampak pucat.

Sisil tak mengambil gelas itu, justru memeluk erat Lidya dan nangis sesenggukan. "Lah kenapa pula nih?" ucap Lidya sembari melihat perempuan di pelukannya itu.

"Aku ca...pek," balas Sisil pendek.

"Kenapa?" Lidya sejenak terdiam, "ya udah minum dulu."

Sisil lalu perlahan mengambil gelas kaca itu, lalu meneguk air yang ada di dalamnya. "Soal Bi Mirna," jawabnya pelan.

"Bi Mirna? Siapa?" balas Lidya.

"Besok aja ceritanya, terlalu panjang kalo sekarang." Sisil sudah cukup tenang.

"Okay. Tidur, baca doa gitu loh Sil."

"Umm."Sembari memalingkan tubuhnya hadap kiri ke arah jendela.

***

Pagi telah menyapa seluruh penjuru desa Mulyo Abadi, kegiatan weekend mereka sama seperti biasanya, bersih-bersih rumah setelah sarapan. Namun kali ini, kian lengkap dengan kehadiran Lidya.

Lidya asyik membantu di dapur, tangannya begitu piawai membersihkan dan merapikan piring-piring kotor itu. Sisil kembali ke kamar dan berniat membersihkan lantai dua.

"Udah Nak. Kamu beres-beres di dalam aja." Mama begitu tidak enakan dengan Lidya ketika melakukan pekerjaan ini. Tangan Mama berusaha menahan piring kotor yang diambil Lidya dari tangan Mama.

"Enggak apa-apa Tante, Lidya udah biasa. Malah biasanya Lidya nyuci piringnya di sungai. Tenang Tan."

"Nggak usah, Cantik. Biar Tante aja!"

"Biar aja dia, Lin. Nggak apa-apa main ke rumah orang kan harus bantu,. Malah kalo nggak leluasa bantu dianya yang nggak enakan ntar main ke sini," potong Nenek yang baru keluar dari kamar mandi.

"Iya sih, Bi. Ya Udah hati-hati cuci piringnya, kalo pecah ntar luka tangannya," nasehat Mama. Lidya membalas dengan anggukan.

Sementara di lain sisi, Sisil sengaja masuk ke kamar Bi Mirna. Setelah membersihkan kamarnya, ia diam-diam masuk ke kamar misterius itu lalu menutup pintunya dengan rapat. Sisil tak ingin siapa pun tahu bahwa dia tengah menyelidiki kebenaran tentang Bi Mirna.

Langkahnya begitu pelan, sangat pelan bahkan suara pijakan kakinya nyaris tak terdengar. Kali ini Sisil mantap memastikan bahwa hatinya harus kuat menerima kenyataan. Semakin dia undur semakin lama pula ia menahan rasa penasaran dan sakit.

Perlahan Sisil kembali menyentuh handuk kecil yang begitu menghancurkan hatinya itu, lalu menggenggamnya dalam kepalan tangan. Kemudian ia tatap satu persatu buku yang tersusun rapi di sana. Sepanjang mata memandang, Sisil menemui banyak buku tentang kepemerintahan dan hukum. Sebenarnya Sisil tidak begitu paham, hanya membaca judulnya saja.

Setelah itu, Sisil mencoba dekati meja baca yang terdapat sebuah foto di sana dan mengambil pula album yang terletak di bawah tempat tidur. Sisil menepis debu yang cukup tebal di atas kasur dengan sebuah sapu lidi khusus. Kemudian didudukinya kasur itu sambil memegang erat handuk dan foto yang di pigura indah itu, tak terasa air mata mengalir melewati kedua pipinya. Sisil mencoba menarik napas panjang dan mengeluarkannya, ingin rasanya berteriak sekeras-kerasnya. Namun bukan ini saatnya.

Tangannya yang mulai lemah membuka perlahan album foto yang berwarna merah tua itu, kemudian tatapannya fokus pada sebuah tulisan, "Keluarga kecilku 1992." Ia tertegun, tapi tetap melanjutkan mencari jawaban atas rasa penasarannya itu. Foto pertama kini telah terlihat dengan keterangan My Love 29 Februari 1992 dan di bawahnya bertuliskan Mas Dodi. Jelas saja Sisil tahu foto yang ia lihat, itu jelas Bi Mirna dan suaminya. Wajah Bi Mirna tak terlalu banyak berubah dari foto-fotonya semasih kecil.

Foto kedua, ketiga hingga ke tiga belas masih terdiri dari foto Bi Mirna, Om Dodi dan Nenek. Sisil memperhatikan foto-foto itu dengan seksama. Hingga masuk pada foto yang ke empat belas, tampak Bi Mirna menggunakan daster ungu bermotif bunga dengan memegang perutnya yang besar. Foto itu pun ditambahi keterangan Anak Cantik Mei 1993.

Foto selanjutnya tertanggal 5Agustus 1993, terdapat seorang bayi cantik yang mungil mengenakan kain bedung berbahan handuk panas berwarna putih. Foto itu berterbangan, Casilda putri cantikku. Tak terbayang runtuh sudah penyanggah hatinya, bergetar tubuh Sisil, air mata tak terbendung dan tangisnya kali ini menjadi jadi.

"Apa ini ya Allah, kenapa semuanya berbohong."

"Sakit ya Tuhan," rengeknya. Sisil memukul-mukul dadanya dengan keras kemudian membenamkan wajahnya pada sebuah bantal yang ada pada ranjang itu.

"Haaaahhhhhhhh... Mati saja aku. Sakitnya ya Allah." Banyak sumpah serapah yang keluar dari mulutnya.

Ia menangis sejadi-jadinya, hingga suaranya parau dan tubuhnya lemah. Kemudian Sisil membaringkan badan dengan kondisi terlentang. Ketika matanya mulai tertutup, sesuatu hal tak terduga terjadi. yang

Tiba-tibaa.....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!