Part Fiveteen

Ketiganya megikuti pria itu menuju sebuah rumah yang ternyata adalah rumah kepala desa yang ditunjuk Lidya tadi.

"Duduk aja di sini."

"Matur Nuwun, Pak De," jawab Lidya dengan bahasa kromonya. Sedangkan Sisil hanya bisa menanggapi dengan senyuman saja untuk menunjukkan kerendahan hati mereka.

Kepala Desa yang bernama Harjo itu kembali dengan empat gelas teh panas. Ketiganya tidak ada yang berani menyentuh teh itu. Bagaimana pun kepala desa ini tetap orang asing yang baru mereka temui tadi.

"Ndang diminum, nanti nggak panas lagi."

"Njih, Pak De,"

"Iya hantu Nana itu, hantu yang sering berlalu lalang kalo malam hari. Kayak nyari sesuatu gitu. Makanya warga desa, menghindari urusan untuk keluar malam. Sebenarnya sih kejadian mulai..." telunjuk tangan kepala desa itu memegangi dagunya dengan posisi mata melihat ke atas sebelah kiri.

"Sepuluh tahun yang lalu kira-kira. Seorang warga bernama Mirna meninggal karena kecelakaan, tapi anehnya ada bekas luka di perut ketika ditemui jasadnya. Sepertinya sengaja dibunuh oleh sepupunya sendiri karena ketika mayatnya ditemukan, ia bersama dengan sepupunya yang lagi kunjungan ke desa ini. Setelah pemeriksaan polisi, semua bukti terarah kepada laki-laki itu. Sengaja dibunuh karena amarah yang tiba-tiba. Namun, karena kejadian itu terjadi ketika mengendarai mobil, Mirna masih bisa melawan setelah ditusuk. Tiba-tiba ketika melawan, stir mobilnya ke banting ke pohon di seberang rumah besar sana," tunjuknya pada rumah di balik rerumputan itu.

"Dan sepupunya Mirna ikutan meninggal gitu. Yang perlu kalian tau, Mirna lagi hamil makanya deh jadi gentayangan di dekat rumah dan pohon besar itu," jelas kepala desa sembari menyeruput tehnya yang panas.

"Mirna atau Nana sih, Pak?" tanya Sisil yang sebenarnya kini merasa takut sekaligus tertegun atas cerita kepala desa itu. Bagaimana tidak Mirna adalah bibinya sendiri, tapi ia pura-pura tidak tahu.

"Mirna nama aslinya, Nana itu sebutan dari warga desa karena sering terdengar suaranya bernyanyi Nanananana...na setiap malam di sana, membuat orang takut berlalu lalang. Waktu itu pernah suatu malam setelah kejadian itu dan dua malam setelahnya pula, terjadi insiden kecelakaan di tempat yang sama, kecelakaan itu diperkirakan karena hantu Nana tengah melintas. Sejak itu pulalah setiap tahun di tanggal dan bulan yang sama sesuai dengan tanggal meninggalnya Mirna, wajib bagi warga desa untuk menyembelih seekor kambing di tempat itu dan darah kambing itu dikelilingi pada pohon besar lalu diletakkan pula sesajen tepat di bawah pohon dan satunya di depan rumah besar tersebut. Begitu ceritanya jadi jangan main-main ke sana biar nggak diculik."

"Hii... takut," jawab Dinda.

"Oo pantesan rada aneh ya. Saya kan anak desa sebelah Pak De, kalo malam ya pada keliaran kayak biasanya gitu. Aneh aja desa ini malah kayak nggak ada kehidupan kalo malam.'

"Ya, mau gimana Nduk, kitanya juga maunya nggak gini. Entah sampai kapan harus gini terus," keluh kepala desa dengan sedikit nyengir.

"Terus Pak, anak hantu Nana itu juga ikutan meninggal?"tanya Sisil penasaran.

"Iya pastinya. Namanya juga ketusukkan perutnya," tukasnya.

"Ndang diminum tehnya, udah nggak panas lagi itu."

"Njih, Pak De," jawab Lidya.

Akhirnya para gadis itu menghabiskan teh yang disediakan kemudian pamit pulang karena hari sudah lumayan sore.

Petang yang begitu menakjubkan, pancaran cahaya dari langit berkilau orange keemasan dengan gradasi ungu violet menggambarkan indahnya ciptaan Tuhan hingga yang terkecil. Burung-burung beterbangan melewati padi-padi yang hendak dipanen itu, suara jangkrik menambah kesyahduan petang. Para petani sudah kembali pulang, tak sedikit yang hasil panen. membawa karung berisi

"Besok kita ngapain ya enaknya?" cetus Sisil pelan.

"Entah, aku juga nggak tau hehehe."Lidya menampakkan gingsulnya.

"Mending main ludo aja atau main monopoli gitu?" tawar Dinda.

"Wah seru tuh, Dedek cantik," goda Lidya.

"Is apalah Kakak nih."

Sisil dan Lidya malah tertawa riang, godaan Lidya memang selalu membuat jengkel.

Tak terasa rumah kayu klasik itu telah tampak terasnya. Perjalanan hari ini cukup memberi banyak jawaban atas mimpi-mimpi Sisil, sekalipun Sisil masih ragu atas jawaban itu. Tentunya khawatir, takut, gejolak dari kebenaran itu membuat Sisil sesak. Namun, ia harus kuat karena kali ini, tidak ada yang bisa membantunya dan bisa mendengarkannya. Yah mungkin saja Lidya, tapi Sisil yang tertutup cukup sulit menceritakan hal ini pada Lidya, mengingat kedekatan mereka yang baru saja.

Ketika sampai di teras, ketiganya mencuci tangan dan kaki di kran yang berada tepat di sebelah pot paling ujung sisi kiri rumah tersebut.

"Astagfirulllah..." Lidya terkejut.

"Kenapa kamu, Lidy,"canda Sisil.

"Lihat Nenek itu bikin kaget ih," bisik Lidya pelan.

"Nek.. Nenek...,ja..."

Baru saja memanggil seseorang yang berdiri di balik rerumputan itu,"iya...kenapa Nduk? Sini masuk, udah magrib!" Nenek menjawab dari ruang tamu.

Tangan kanan Nenek Aminah terlentang ke depan, mengisyaratkan panggilan untuk Sisil.

"Iya, Nek. Ini mau masuk." Dinda terus berlari ke dalam, Sisil dan Lidya menyusul dari belakang. Keduanya mencoba melepaskan pandangan dari wanita paruh baya itu, meski rasanya ingin mendatangi dan meminta jawaban atas apa yang dipertanyakan belakangan.

"Nenek tuh siapa, IDA?"

"Is ngeselin banget." Tangannya langsung melayang ke lengan atas Lidya.

"Ntar aku ceritain. Eh tapi lihat nantilah apa masih ingat. Kaburrr.." Kali ini Sisil yang jahil. Jarang banget ditemui momen Sisil yang seperti ini. Tampaknya Sisil yang beku dan kaku mulai cair oleh si periang Lidya.

"Awas loh ya." Lidya mengejar dari belakang.

Sore yang indah bukan?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!