Part Four

"Ada apa, Kak?" tanya Mama sembari melangkahkan kakinya berjalan menuju jendela.

"Itu loh, Ma. Kok bisa ada makam terpisah sendiri di situ? Gelap banget lagi," ucapnya.

"Itu kayaknya makam Mbak Mirna, bibimu yang meninggal 10 tahun lalu. Mama juga belum pernah lihat sebelumnya. Cuma dengar cerita Nenek, kalau kemungkinan besar Bi Mirna itu akan dimakamkan di lingkungan rumah saja. Begitulah, enggak tahu juga alasan pastinya," terka Mama.

"Aneh juga ya, Ma! Kenapa enggak dikuburkan di pemakaman milik masyarakat. Jadinya kan ngerasa tambah ngeri rumah Nenek ini," cetusnya dengan polos.

"Hussst... Kakak ngasal aja. Dibuat di situ juga pasti ada alasannya lah, Kak!" tegas Mama.

"Nah itu, Ma. Apa alasannya?" protes Sisil.

Sejenak terdiam lalu menjawab pertanyaan Sisil yang tengah excited mempertanyakan hal-hal yang temukan selama ini di kota.

"Mungkin aja untuk mempermudah Nenek mengurus dan ziarah ke makam itu. Dengan kondisi Nenek yang udah sering sakit-sakitan, mungkin itu cara mudah Nenek untuk tetap merawat makam putri satu-satunya, Bi Mirna."

"Iya ya, Ma," ucap Sisil.

"Jangan pula Kakak nanya tentang makam itu ke Nenek, kecuali Nenek menceritakannya sendiri ke Kakak!" pinta Mama mengingatkannya.

Sekitar 3 meter jarak di seberang jendela rumah klasik itu, terdapat sebuah makam yang memang telah ada sejak 10 tahun lalu. Kondisi makam itu bersih dan sangat terurus. Pencahayaan di sana memang begitu minim, hanya bermodalkan pantulan cahaya dari lampu dalam rumah bila jendela dalam keadaan terbuka dan juga sebab terdampak dari terangnya bulan pada malam itu.

Sementara di balik jendela, Sisil mulai memegang kembali gagang jendela kayu. Berniat ingin menutup rapat agar hawa dingin tak menusuk kulit mereka yang baru menyesuaikan diri dengan keasrian dan kesejukan desa. Seketika ia terseret mundur jauh ke belakang, tiba-tiba matanya tertutup dan mulai memasuki ruang waktu. Ia melihat seorang Ibu muda yang tengah berjalan di daerah persawahan sembari memegangi gadis kecil berwajah lonjong dan berwarna kulit sawo matang perkiraan usianya 3 tahunan lah, berdasarkan dari ukuran tubuh anak itu.

Pagi itu Ibu muda tersebut tengah berbicara dengan beberapa petani yang sedang berkumpul membicarakan hal yang serius. Adu mulut terjadi diantara mereka, padahal Ibu muda itu hanya berniat sekadar melewati tempat tersebut bersama anaknya. Ternyata tidak itu saja, ia melihat berbagai latar tempat, waktu dan tokoh yang berbeda-beda bergantian dalam satu waktu. Sesekali ia melihat anak laki-laki usia 10 tahun, anak bayi yang tengah menangis, pisau yang mengenai perut dan juga kecelakaan mobil. Ia tak paham semua teka-teki itu mengarah ke mana, yang jelas ia hanya tegak terdiam dalam keadaan mata tertutup di balik jendela kayu itu.

"Kalau udah dikunci jendelanya, kita balik ke kamar, Kak. Biar salat isya dan langsung tidur," kata Mama yang tengah memalingkan badan.

"...." Terdiam tanpa suara.

Berbalik arah lagi, "Kak, ayo... kok diam aja? Kaaak.. Siiil..."

Mama mengajak Sisil terus berbicara dan mencoba menyentuhnya, tapi Sisil tak merespons sama sekali. Mama begitu cemas pada putrinya yang berdiri mematung dengan keadaan mata tertutup beberapa saat itu.

Mama yang khawatir, kini mencoba mengguncang tubuh Sisil. Namun, hasilnya nihil. Kemudian, ia mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, raut wajah pun telah berubah dan ia mulai mondar-mandir di belakang putrinya mencoba tuk menyadarkannya dari berbagai arah. Mama mulai lelah,

"Kak, kenapa Kakak ni?" tanyanya pasrah dengan keadaan berjongkok di samping Sisil.

"Aaaaaaaaggh..." Suara Sisil mengejutkan Mama.

"Kaaak...." Berdiri lalu memeluk putrinya. "Kenapa, Sayang? kenapa? Enggak pernah sebelumnya Kakak begini."

"Hmm.. Hmmm" jawabnya ragu. "Sisil bingung, Ma" ucapnya lirih.

"Bingung karena apa? Kakak tadi kenapa?

"Bingung, Ma." Ucapan itu diulanginya beberapa kali.

"Ya Udah, mending kita ke atas dulu. Kakak salat kemudian istirahat," saran Mama.

"Huum," balasnya singkat. Wajahnya tampak begitu linglung dan tidak enak badan.

Mama meletakkan lengan kirinya pada pundak Sisil, sehingga posisi Sisil tepat di bawah ketiak Mama. Hanya mengikuti ke arah mana dibawa, pikirannya belum bisa fokus pada tiap langkah kaki yang ia jejaki di lantai berkeramik putih tersebut. Sepuluh anak tangga tak terasa telah ia lewati dan kini telah sampai di kamar yang begitu nyaman dan sejuk. Terlihat Dinda telah tertidur pulas dengan posisi tidur andalannya, menghadap ke kiri dan kedua tangannya lurus mengambil sebagian tempat tidur yang mereka berdua tempati.

"Istirahat ya, Sayang! Kalau udah agak mendingan langsung salat, abis itu tidur. Mama balik ke kamar ya, besok aja ceritanya!" ucap Mama sembari mematikan lampu kamar.

"Iya, Ma,"saut Sisil sebagai kata terakhir di malam itu.

Pagi itu udara begitu menggigit kulit, sejak semalam keadaannya tak berubah. Suasana yang demikian menyebabkan rasa enggan untuk beranjak dari ranjang, menyentuh air juga memulai aktivitas seperti biasanya. Namun, keluarga Sisil sudah terbangun memulai hari mereka dengan melaksanakan salat subuh berjamaah, lalu memasak untuk sarapan sekaligus makan siang.

Mama dan Nenek tengah asyik di dapur, memasak nasi goreng dan menu yang lainnya seperti nasi putih, tahu dan tempe goreng juga sayur kangkung yang ditumis untuk makan siang mereka. Sementara Sisil dan Dinda tengah menyirami bunga yang ada di teras rumah, ada tiga belas jumlah pot bunga yang tertata rapi dengan berbagai macam rupa.

"Kak.., Dinda pengen jalan-jalan deh sambil olahraga gitu. Sekarang juga masih jam setengah enam," tawar Dinda.

"Gimana ya, tolak Sisil. Din? Besok-besok aja ya!"

"Iiih, ayolah, Kak. Pasti asyik lihat pemandangan di sini," bujuk Dinda

Sisil tak bisa menolak permintaan adiknya, "hmm, ya udah dibilang dulu sama Mama dan Nenek. Biar mereka nggak khawatir."

"Siap, Kakak cantik," kelakar Dinda.

Mereka kembali masuk ke rumah untuk menyampaikan maksud hati kepada Mama dan Nenek. Keduanya berpegangan.

"Iiih, ayolah, Kak. Pasti asyik lihat pemandangan di sini," bujuk Dinda

Sisil tak bisa menolak permintaan adiknya, "hmm, yaudah dibilang dulu sama Mama dan Nenek. Biar mereka nggak khawatir."

"Siap, Kakak cantik," kelakar Dinda.

Mereka kembali masuk ke rumah untuk menyampaikan maksud hati kepada Mama dan Nenek. Keduanya berpegangan tangan menuju ke arah dapur, mereka melewati ruang tamu, ruang tengah sebagai ruang keluarga, yang mana di ruangan yang sama terdapat kamar Nenek juga di hadapannya ada tangga, setelah itu terdapat ruang makan yang terdiri dari enam kursi dan satu meja panjang juga bagian paling belakang ada dapur yang memliki satu kamar mandi di sudutnya.

"Ma...," panggil Dinda.

"Iya, Sayang. Kenapa?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!