Part Nine

"Tapi, Nek...," balas Sisil.

"Aduh, sakitnya." Nenek berdiri dan memegangi pinggangnya yang mulai lapuk seiring usianya yang menua.

"Oh, oh. Biar Sisil bantu ke kamar," ucap Sisil yang sigap berdiri dari tempat duduknya semula dan menjadi penopang tubuh Nenek kamar. yang kian rapuh menuju ke

Sisil mengantarkan Nenek ke kamar hingga tidur terlentang di kasur. Ini kali pertama, gadis belia itu masuk ke sana setelah 6 hari mereka berada di rumah klasik milik neneknya itu. Sisil melihat sekilas adanya foto keluarga yang terpampang jelas di dalam kamar, foto keluarga itu mulai terlihat kusam. Namun, Sisil terpaksa segera menjauh dari sana karena sebelumnya hanya diminta untuk dihantarkan sampai pintu saja.

Sisil yang tak merasa enak karena telah mengantarkan Nenek hingga ke kamar untuk berbaring, segera kembali ke kamarnya di lantai dua dan menghilangkan fokus pada foto keluarga tersebut.

'Seperti ada yang janggal di foto itu.'

Ia menaiki anak tangga dan kembali ke kamar membantu Dinda untuk memberi sampul pada buku. Sisil melupakan sejenak sesuatu yang menambah beribu tanya yang telah ada di otaknya. Merasa putus asa untuk mengungkap dengan lancar pertanyaan-pertanyaan itu, semuanya saling bertentangan satu sama lain dengan yang ia lihat di luar dunia nyata pada umumnya.

'Kok foto keluarga yang tadi itu jumlahnya kayak lebih satu orang yang dari foto-foto lain yang tergantung di ruang tengah? Kalo memang iya, siapa satu orang itu?' tanyanya di hati.

Sisil tak sempat melihat siapa saja yang ada di foto tersebut. Ia hanya melihat sekilas dan mengetahui ada enam orang yang berada pada foto itu. Ia terus saja mengingat-ingat dan akhirnya,

'Ya, ya...ada anak perempuan yang dipangku Bi Mirna di foto tersebut.

Pertanyaannya siapa anak itu, anak Bi Mirna gitu? Lalu di mana anak itu sekarang? Dan kenapa Nenek juga tak pernah menyinggung cerita anak perempuan tersebut.'

Dalam mimpi dan penglihatan yang datang secara tiba-tiba itu, Sisil melihat anak perempuan kecil yang berwajah samar digandeng oleh Ibu muda yang mirip sekali dengan Bibi. Sisil sendiri belum berani untuk memutuskan bahwa sebenarnya itu adalah Bibi dan anaknya, tetapi ia mulai meyakini apalagi setelah melihat foto keluarga tersebut.

Sisil yang tengah membantu Dinda memberi sampul pada bukunya, mencoba hilangkan segala hal yang menjadi bahan pikiran baginya tadi. Rasa bingung dan penasaran memang menghantui dirinya tetapi bagaimana pun Sisil harus tetap melanjutkan kehidupan nyatanya dengan baik. Apalagi lusa, Sisil dan Dinda akan masuk ke lingkungan yang baru di sekolah yang baru pula.

"Kak, masih ada sepuluh buku lagi yang harus disampuli," ucap Dinda.

"...." terdiam tak ada balasan untuk menjawab ucapan Dinda tadi.

"Kak, kebiasaan deh. Kalau ada yang nanya atau ngomong gitu diperhatiin Kak. Jangan pikirannya ke mana-mana melayang di udara," seru Dinda memprotes tindakan kakaknya yang terlalu asyik dengan dunia khayalnya.

"Eh eh maaf Din, Kakak kurang fokus terus nih. Yang mana lagi yang belum dikerjakan?" Tanya Sisil.

"Huh, ini nih udah Dinda tumpuk, Kak," balasnya.

"Yaudah kita mulai biar cepat selesai."

Pada hari itu, Keduanya menyelesaikan perkara persiapan sekolah mereka hingga serinci-rincinya. Sehingga dari masing-masingnya memiliki catatan khusus terkait kebutuhan-kebutuhan mereka untuk menghindari adanya kekurangan yang sekiranya perlu untuk dibawa.

Selesai segala pekerjaan mereka para hari itu saatnya untuk beristirahat. Seperti biasa, Dinda telah tertidur dengan gaya andalannya. Sementara Sisil begitu sulit untuk memejamkan matanya dan memilih untuk membaca buku pelajaran semester sebelumnya untuk mengingat-ingat kembali agar tak hilang seirig perpindahannya ke Desa Mulyo Abadi yang mengandung beribu misteri ini.

Dinda dan Sisil memiliki banyak perbedaan kebiasaan, tapi keduanya cukup akur bila bersama-sama. Dinda kini menduduki kelas 5 SD dan Sisil kelas 2 SMP. Sisil gadis yang cerdas, ia begitu mumpuni dalam pembelajaran akademis, sedangkan Dinda lebih pada non akademis juga cukup bersatu dengan pembelajaran seni dan keterampilan.

Seminggu berlalu begitu saja, kini Sisil dan Dinda akan menjalani semester genap dengan suasana, teman, guru dan juga pastinya sekolah yang baru. Dinda mungkin akan lebih mudah beradaptasi seperti biasanya.

Pagi itu keduanya bersiap-siap dengan begitu semangat. Kerinduan terhadap suasana di sekolah atau mungkin mulai jenuh untuk berkomunikasi dengan orang yang itu- itu saja, menjadi faktor utama yang membuat siapapun siswanya sangat merindukan hari itu. Sisil dan Dinda telah bangun sebelum subuh tiba, begitu pula Mama. Mama telah asyik di dapur sebelum azan subuh, membersihkan piring kotor sisa makanan mereka selamam.

Dinda dan Sisil secara bergantian ke kamar mandi, lalu disusul dengan Mama yang memang mengerjakan segala sesuatunya dengan begitu cepat. Salat subuh pada hari itu pun tak bisa dilaksanakan dengan berjamaah, lalu disusul dengan sarapan bersama yang telah disiapkan Mama sebelumnya. Ketiganya bergegas merapikan barang-barang yang akan dibawa dan menuju mobil yang telah parkir di depan rumah.

"Ayo, Kak!" ucap Mama.

"Iya.. iya, Ma, "jawab Sisil mempercepat langkahnya menuju mobil

"Gimana udah enggak ada yang ketinggalan kan?" tanya Mama.

"Dinda udah enggak ada, Ma."

"Kakak juga nggak, Ma. "Setelah sebelumnya terlihat sibuk melihat ke dalam tas ransel miliknya.

Mereka berangkat sekitar pukul 06.25 WIB dari rumah. Keberadaan sekolah yang berada di desa sebelah dengan jarak yang ditempuh dengan mobil memakan waktu lima belas menitan tersebut, menyebabkan mereka harus lebih awal berangkat. Akses jalan yang di tempuh cukup sulit dengan banyaknya bebatuan sehingga jarak yang dekat pun menyita waktu lebih dari biasanya.

Suasana desa yang begitu asri terasa betul melalui udara yang dihirup, sejuk sekali. Kicauan burung terdengar jelas menghiasi keindahan di pagi itu. Sisil dan Dinda begitu asyik memandangi sekitar, sedangkan Mama fokus menatap jalanan meski sesekali mengajak Sisil dan Dinda berbicara.

"Semangat ya buat punya teman-teman yang baru?" tanya Mama menoleh sesekali.

"Iya dong, Ma. Dinda udah enggak sabar lagi," jawab Dinda dengan riang memainkan jari jemarinya.

"Kalau Sisil kangen belajarnya, Ma. Mama tau sendiri Sisil gimana," tuturnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!