Keduanya berjalan menuju mobil, Sisil memang sempat meminta izin agar temennya bisa main ke rumah.
"Hallo Tante!" sapa Lidya hangat setelah membuka pintu mobil. Lidya lanjut menyalaminya.
"Hai. Lidya ya?"
"Iya, Tan. Temen sekelas Sisil," balasnya dengan senyuman manis sambil memperbaiki posisi duduknya di samping Sisil. Kali ini Dinda yang duduk di depan.
"Kita pulang ya!" seru Mama.
"Iya, Ma," jawab Dinda.
"Hallo, Dek," sapa Lidya pada Dinda sambil sedikit melambaikan tangannya. Mobil yang mereka kendarai sudah menjauhi tempat semula.
"Halo, Kak." Dinda mengeluarkan senyum termanisnya.
"Namanya siapa, Dek?"
"Dinda Kak." Keduanya tak berhenti bercerita sepanjang jalan ke rumah, begitu satu frekuensi sepertinya.
Mama sesekali mengajak Sisil berbicara. Sisil yang memang tak bisa sepenuhnya meyakini mimpi dan bukti-bukti itu, sudah kembali seperti semula. Meski ia sepertinya memberi jarak dengan Mama, agar dapat melihat kebenarannya lebih leluasa.
Mobil itu melaju dengan perlahan menyusuri jalan-jalan desa yang sudah mulai sepi. Suara aliran air sungai yang mengalir sepanjang desa, begitu memberi ketenangan dan kesyahduan hati. Setelah sepanjang mata memandang, tumbuhan begitu subur di tanah tersebut. langit mulai menggelap, suara-suara serangga kecil itu pun mulai terdengar. Menambah kehangatan cerita mereka sepanjang jalan pulang.
Malam yang begitu indah buat Sisil khususnya, akhirnya ia menemukan pertemanan yang begitu nyaman seperti ini. Di kota, Sisil benar-benar merasa sendiri. Meski teman-temannya suka mengajak berbicara, tapi tetap saja ia tidak bisa terbuka karena tidak merasa akrab.
Keduanya akan menghabiskan weekend selama 2 hari karena memang besok bertepatan dengan tanggal merah. Tentu saja hal ini tak disia-siakan, mereka malah asyik bercerita sampai larut malam.
Jam dinding telah menunjukkan jam 2 pagi, tapi memang Lidya lebih mendominasi dalam bercerita. Sisil sempat menyinggung bahwa dia telah melihat hal aneh sejak usianya 7 tahun. Tiba-tiba..."
'Dum...A..kuuu...' suara itu begitu jelas terdengar.
Lidya melihat ke arah Sisil dengan mata membulat. Seketika memeluk Sisil. "Kamu denger nggak Sil, kamu ngerjain aku ya?"
"Apaan aku nggak ada ngerjain kamu."
"Terus itu suara dari mana?" tangannya masih menggelayut di leher Sisil meski ketika berbicara sedikit menjauhkan wajahnya dan melihat mata Sisil penuh rasa takut.
"Palingan salah denger kamu. Ya Udah itu nyuruh kita tidur kalo gitu."
"Ih takut aku. Aku tengah ya, di samping Dinda."
"Okay."balas Sisil singkat, pura-pura tenang padahal ia mendengar jelas apa yang didengar oleh Lidya tadi.
Lidya merapat ke posisi Sisil tidur, karena ia tak pernah mendengar hal seperti ini. Rasa takut membuat matanya sulit terpejam, padahal beberapa kali ia telah menguap panjang, menyisakan beberapa tetes air di ujung matanya.
Hampir satu jam ia mengubah-ubah posisi tidur agar bisa terlelap dan akhirnya lima menit sebelum jarum jam menunjukkan pukul tiga tepat. Lidya baru bisa terlelap. Tak berapa lama disusul oleh Sisil.
Waktu tidur mereka yang sebentar, membuat dua remaja itu sedikit terlambat bangun. Keduanya salat subuh ketika matahari sudah melihatkan sinarnya meski masih malu-malu. Lidya bisa bersatu dengan keluarga itu begitu cepat, kegiatan yang menjadi rutinitas di sana ia ikuti dengan senang hati. Lidya yang tak segan membantu pekerjaan rumah, membuat Mama dan Nenek nyaman atas kehadiran Lidya di tengah keluarga mereka.
Siang Sabtu, Sisil, Dinda juga Lidya pamit untuk jalan-jalan keliling kampung. Lidya yang sedari kecil hidup di kampung sebelah, beberapa kali juga berhasil menelusuri desa Mulyo Abadi.
Cuaca pada siang itu cukup menusuk kulit. Namun, karena banyak pohon rimbun yang berjajar rapi di jalan itu, membuat mereka tak begitu merasakan teriknya matahari. Kali ini wilayah yang diinjak Sisil dan Dinda masuk ke jalan setapak menuju perkampungan warga yang tertutup rerumputan tinggi
"Sil, itu rumah kepala desanya, udah rada berumur sih beliau. Palingan bentar lagi juga udah diganti in anaknya," jelas Lidya. Sisil hanya mengangguk mengisyaratkan bahwa ia paham yang dimaksud Lidya.
"Itu jalan setapak lagi sih setahuku, nanti nembus ke jalan utama lagi, tap ya gitu."
"Gitu kenapa?" tanya Sisil penasaran.
"Katanya sering penampakan Ibu-ibu berambut panjang gitu di sana. Nggak tau juga kata warga sini sih udah 9-10 tahun gitu, udah jarang orang lewat sana, pada takut. Sayang banget rumah itu besar sendiri keselip di sekitar pohon-pohon sama rumput di sana." Tunjuk Lidya pada arah yang dimaksud.
"Oh gitu, bikin penasaran juga ya. Hehehe..."
"Jangan ngada-ngada mau ke sana ya. Yang ada kamu ntar yang dilariin. Hiii," gidik Lidya ngeri.
"Hiii," balas Dinda pula yang merasa takut mendengar cerita itu.
"Ayolah, aku kayaknya tau sesuatu deh tentang tempat itu." Dustanya untuk menakut-nakuti.
"Aneh-aneh aja! Kamu...." Belum sempat ucapan itu selesai dari bibir Lidya.
"Heh... ngapain kalian di situ. Jauh-jauh, jangan nyari gara-gara ke hantu Nana."
"Ha?Hantu Nana?baru denger hantu namanya Nana." tanya Dinda.
"Iya. Jangan deket-deket apalagi anak kecil ntar dikira anaknya lagi," ujar seorang pria yang cukup berumur.
"Nuwun Sewu, Pak De. Hantu Nana itu memang udah lama di situ, Pak De?"
"Ya Udah kalo mau tau banyak, sedikit menjauh dari tempat itu ya. Ntar Pak De jelaskan. Biar kalian tau asal usul desa ini. Bapak ya sampai berapa lama lah bertahan dengan usia yang udah menua gini."
"Njih, Pak De," kata Lidya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments