Kanath memimpin kelompok memasuki hutan lebih dalam. Amara di belakangnya mengikuti dengan siaga, wanita itu berusaha awas dengan sekitar mereka.
Talita di barisan belakang dengan panahnya mengikuti perlahan. Mereka hanya masuk sedikit ke dalam hutan, lalu bergerak di pinggir menjaga sekitar.
"Sampai sini saja," ucap Kanath agar mereka tidak berjalan lebih jauh memasuki hutan. "Sekarang mari kita memutar."
"Pemberontak sangat keterlaluan dari awal kemunculan mereka. Jika begini, kerajaan akan kewalahan." Amara memandang daun yang berguguran karena angin sepoi-sepoi.
Kanath mendengarkan, lalu membalas, "Motif mereka aneh sejak awal. Tidak jelas apa tujuannya."
"Aku pikir awalnya mereka hanya berniat membumihanguskan anak-anak. Tapi, tindakan mereka lebih seperti ingin menggulingkan kerajaan."
"Apakah mereka tidak suka kedudukan Nabastala?" sahut Talita dari belakang barisan.
Amara mengangkat bahu singkat. "Menurutku tidak ada salahnya dengan keturunan baru kerajaan. Lagipula, sejak ratusan tahun lalu Nabastala tulus pada kerajaan."
"Mungkin ini berkaitan dengan sejarah yang masih hidup. Nabastala bukan keturunan darah biru, mereka hanya bawahan istimewa dari keluarga resmi kerajaan Indurasmi."
"Indurasmi sudah terguling." Kanath menambahkan. "Daripada tidak ada pemimpin, jelas Nabastala yang dipercaya meneruskan kerajaan."
"Karena kecerdasan mereka, benar?" Amara menyahuti.
"Ya, benar sekali, Mara." Kanath menoleh ke samping, di mana Amara juga menatapnya. Mereka terkejut bersamaan, lalu saling membuang muka.
Kanath harus berbicara sesuatu, karena rekan mereka di belakang mulai batuk-batuk disengaja untuk menggoda.
"Apakah kau tahu misi pengawal putra mahkota hari ini? Dia terlihat selalu sibuk." Kanath mengalihkan pembicaraan.
"Maksudmu Anila?" Talita menyahuti dengan tawa. "Sekarang aku mengerti kenapa Anila merasa jengkel padamu."
Tawa dari rekan sekelompok mereka bergema. Kanath mengerutkan keningnya, "Kita harus memanggilnya begitu 'kan?"
"Panggil seperti itu jika ada putra mahkota, tapi jika tidak ada, biasa saja!" Amara memukul bahu Kanath. "Jangan membuat Anila tidak nyaman."
Amara mendengus. "Kau bertanya tugas Anila? Dia tidak punya tugas tetap yang pasti. Terkadang pulang dengan lumpur, terkadang darah, terkadang dia juga datang dengan bersih."
"Aku tidak mengerti kenapa Anila bisa berakhir menjadi pengawalnya putra mahkota," jawab Kanath. "Aku seperti melewatkan berita yang seru."
Amara terkekeh. "Anila menyukai putra mahkota."
Entah bagaimana, serempak kuda berhenti. Membuat Talita menarik tali agar kudanya tidak menabrak rekan lain. "Kenapa kalian berhenti?!"
Kanath tercengang. "Apa? Bagaimana bisa?"
Amara menggaruk kepalanya. "Mungkin cinta pada pandangan pertama? Lagi pula, putra mahkota juga suka berada di sekitar Anila."
Kanath mengangguk setuju. "Dia selalu ada di manapun Anila berada."
"Tolong, ini adalah rahasia umum para prajurit terdahulu. Hubungan mereka jangan sampai ke telinga bangsawan lain." Amara menegaskan.
"Cepat atau lambat kalian akan tahu. Jadi lebih baik tahu sekarang. Agar bisa berhati-hati dengan ucapan kedepannya." Talita menghembuskan napas.
Jika Anila mendengar, mungkin dia sudah menangis terharu akan kehebatan analisis teman-temannya yang miring.
Kelompok mereka kembali menelusuri rute.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mereka berada di penghujung rute. Rekan-rekan Kanath sudah bersorak bahagia akhirnya tugas mereka selesai, namun mereka salah menduga. Seekor beruang dengan amukan gila merusak formasi mereka. Pohon-pohon tumbang satu persatu.
Kanath melompat mundur. "Semua, jangan terpisah dan bekerja sama!"
Amara menghunus senjata, dia memutari tubuh beruang besar yang kebingungan. Tangan gempalnya berusaha mengamuk pada Amara untuk menyakiti wanita itu. Amara terus menghindar.
"Dia seperti kehilangan kontrol!" Talita berteriak.
Mereka berlari menjauhi si beruang yang mengejar. Amara mengigit bibir bawahnya, apa yang harus dia lakukan? Begitu pula dengan Kanath yang memeriksa sekitar, berpikir apakah ada sesuatu yang dapat dia temukan.
"Kata putra mahkota, tidak apa-apa menyakitinya agar bisa membuatnya jauh dari kota," ujar Talita. Dia mengangkat panahnya dan menancap pada beruang yang langsung menjerit. Beruang berhenti mengejar dan hanya mengamuk di tempat.
Kanath mengepalkan tangannya. Haruskah mereka melukai beruang agar binatang itu melarikan diri?
Wajah Amara yang dipenuhi keringat, dia mengangkat tangannya. "Tunggu, dia belum berhenti."
Beruang bangkit dan semakin mengamuk pada mereka. Kanath terus berlari, sedangkan pemanah semakin menusukkan anak panah yang satu persatu patah karena kemampuan beruang yang dominan.
Kejaran beruang melambat, Kanath berhenti berlari dan menatap binatang besar yang masih disulut amarah namun kehabisan energi.
Tetap saja, ayunan tangannya kuat.
"Kanath apa yang kau lakukan?! Ayo lanjutkan pergi!" Amara berteriak.
"Tolong jangan ada yang panik dan berniat untuk melukai beruang!" Mereka semua berhenti berlari saat Kanath berteriak. Pria tinggi itu mengantongi senjatanya.
"Tarik napas kalian, dan tenanglah." Kanath melanjutkan. "Kita harus tenang."
"Jangan melakukan omong kosong—"
"Baik." Amara menyela ucapan seorang pria yang merupakan prajurit kelompok mereka. Wanita itu menyarungi pedangnya.
Talita ragu-ragu menurunkan busur dan mengambil balik anak panahnya.
"Beruangan mengamuk karena dia merasa terancam. Yang harus kita lakukan adalah tenang. Berusahalah pergi dengan pelan sembil berjalan menyamping." Kanath memberi intruksi cepat.
Beruang terduduk saat melihat mereka tidak lari. Dia masih mendengkur dengan tajam pada mereka. Mengancam mereka dengan dengkurannya yang mengerikan.
Satu persatu berhasil melewati beruang itu meskipun ditatap setajam mungkin oleh si beruang.
"Talita, tenang." Amara berbicara pelan saat giliran Talita melewati beruang. Sepertinya binatang itu mengenali sosok Talita yang melukainya.
Untungnya, beruang mendengus sekali dan bergerak pergi meninggalkan mereka. Semua orang menghela napas bersamaan. Bersyukur jika mereka masih hidup.
Mereka menaiki kuda mereka, lalu mengendarinya pergi menuju istana.
Amara meringis memelihat darah di tangannya. Entah sejak kapan dia mendapatkannya.
"Apa kau terluka, Mara?" tanya Kanath.
"Ini hanya berdarah sedikit. Sepertinya aku tergores pedangku sendiri karena panik." Amara tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Menghadapi bahaya secara langsung adalah perkembangan yang bagus untuknya. Setidaknya, tidak seburuk bulan lalu.
"Aku salut Kanath masih bisa berpikir jalan seperti itu." Talita berbicara pada pria itu.
Amara melirik sambil tertawa kecil. "Tal, kami tidak sengaja membaca buku tentang beruang di perpustakaan istana. Sayangnya, hanya Kanath yang masih mengingat isinya, bukan aku."
Kanath terlihat malu dijadikan bahan pembicaraan. "Ah, bukan itu saja yang membuatku ingat."
"Oh, ya?" Talita menyahuti penasaran.
Kanath mengeluarkan kain putih dari sakunya. "Sebelum itu, kemari Amara. Aku akan membalut lukamu."
Amara terkejut dan berdehem. "Oh, iya. Terima kasih. Aku tidak membawa kain persediaan."
Kanath membalut luka Amara dengan telaten. Talita dan rekan yang lain saling melirik dan tertawa tanpa suara.
Sembari membalut, Kanath lanjut berbicara. "Putra mahkota meminta kita sebisa mungkin untuk tidak menyakiti beruang. Padahal, dia tahu beruang ganas akhir-akhir ini. Mustahil untuk tidak menyakitinya."
"Pengawal—maksudku, Anila menyarankan kita membawa pemanah begitupula putra mahkota. Sedangkan, perintahnya adalah tidak menyakiti, lalu untuk apa membawa pemanah?" Kanath melanjutkan.
Mata Amara membulat. "Ada dua tujuan. Pertama, bisa saja untuk jaga-jaga penyerangan pemberontak. Kedua, ...."
Kanath menimpali, "Kedua, adanya pemanah yang memberikan luka kecil pada beruang, memberi kesempatan pada kita untuk berpikir apa langkah selanjutnya."
Wajah-wajah rekannya yang mendengarkan langsung ber-oh ria karena baru mengerti.
Amara tertawa tidak percaya penuh kekaguman. "Kau sangat hebat karena dapat mengerti mereka."
Kanath tertawa canggung, tidak biasa dipuji. "Ha ... aku hanya terpikir."
Sedangkan di sisi yang lumayan jauh, Raven dan Anila hanya dapat melihat tanpa mendengar percakapan mereka.
"Sepertinya dia memang berpotensi, seperti katamu." Raven berbicara.
"Apa yang mereka bicarakan?"
"Mungkin aku?" balas Raven tidak serius.
Anila mendelik sambil memuatar bola matanya malas.
"Ayo, kita pergi lebih dulu." Raven menaiki kuda.
Anila mengangguk. Dia cukup terkesan melihat ketanggapan Kanath. Dia sangat hebat.
Si tokoh utama.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments