Anila melangkah dengan percaya diri menuju tempat Raven. Rambutnya yang bergelombang dikuncir kuda, seragam prajurit terpasang indah, dan pedang menempel di pinggangnya.
Kedua prajurit penjaga langsung memberikan akses masuk untuk Anila, wanita itu lantas mengetuk pintu besar ruangan Raven yang sudah tak asing lagi.
Anila bersiap untuk merasakan aura yang menekan dari Raven kali ini. Wajahnya dipoles, bibirnya merah merona dengan kurang ajar. Dia akan memulai sejarah prajurit wanita tak tahu tempat.
Saat Anila memasuki ruangan itu, dia sudah mampu membalas tatapan mata dari Raven yang sedang melipat tangan di dadanya seakan menunggu kedatangan Anila.
"Kau merias diri kali ini?"
Anila mulai menjawab, "Tentu saja, karena saya akan menemui Putra Mahkota."
"Sebelumnya?"
"Anggap saja saya belum terpana wajah Anda." Wanita itu mulai bermain.
Raven membuang wajahnya. Pupilnya membesar sambil memandangi netra wanita itu yang berkilau.
"Kau benar-benar ...." Raven tidak menemukan kata yang tepat untuk membalasnya.
Kemudian, pria itu memerintah dengan suara yang begitu dalam. "Mendekat."
Anila manahan kakinya yang berkeringat dan berjalan seringan mungkin di depan meja Raven. Pria itu menyatukan jari-jarinya dan menatap lurus pada Anila.
"Kau bilang di surat ingin berada di sisiku, benar?"
Anila merasa Raven seperti Rekruitmen Kerja atau Manajer HRD ketika dulu Anila mencari pekerjaan. Rasanya gugup dan pikirannya tidak boleh kosong karena panik.
"Benar, Putra Mahkota."
"Kau bisa memanggilku dengan nama lain." Raven merasa kesal dengan panggilan terus terang itu.
"Yang Mulia." Anika segera meralat. dia berusaha untuk menganggap Raven adalah gebetannya, jadi dia ingin menjadi yang terbaik di mata Raven. Itu sulit ketika dia di sisi lain tidak suka dengan pria itu.
Raven mengangguk.
"Tapi kau bahkan baru belajar berpedang tak lama ini. Orang sepertimu meminta posisi yang tidak seharusnya." Raven masih menatap Anila tanpa berkedip.
Anila ingin berteriak, meminta diri sendiri untuk tenang. "Saya memang belajar berpedang baru-baru ini di wilayah kerajaan. Tapi, saya sudah pernah berlatih sebelum tinggal di sini."
Anila yakin ‘Anila’ lain sebelum dirinya adalah orang yang sudah akrab dengan pedang. Terlihat bagaimana tubuh dan tangannya merespon baik.
Raven berkedip. "Oh? Bagaimana aku bisa tidak tahu?"
Anila menjawab, "Anda telah mencari kehidupan saya bukan berarti Anda tahu segalanya tentang kehidupan saya."
Raven terdiam untuk beberapa saat sebelum tertawa ringan. "Baiklah, baiklah."
Raven mengeluarkan selebaran dari tumpukan kertas di atas mejanya. Dia menggeser kertas itu menghadap Anila. "Kau lebih baik membaca ini dahulu."
Anila mengambil kertas itu dan membacanya dengan cepat. Kebiasaannya di kantor tidak luntur meskipun sudah beberapa hari tak melakukan hal itu.
"Kontrak?" tebak Anila saat melihat ada tanda tangan Raven di bagian bawah.
"Kenapa? Kau keberatan?" Raven mencodongkan tubuhnya. "Kupikir kau tidak ingin berlama-lama di sini."
Anila melihat wajah pria itu untuk sesaat. "Saya akan menyetujui kontrak, tapi tidak dengan adanya batas waktu. Saya tidak berniat pergi dari posisi," jelas Anila dengan lugas.
Target Anila ada di hadapannya dan dia tidak berniat untuk hidup selamanya di dunia ini.
Raven terlihat sedikit terkejut, dia menarik kembali tubuhnya dan mengangguk. "Kau berambisi ada di posisi ini. Baik, aku melihatnya."
Anila menghembuskan napas lega diam-diam. Kalimat itu adalah pertanda bagus.
Kertas kontrak yang Anila pegang berisi ketentuan-ketentuan dan batasan Anila sebagai penjaga pribadi putra mahkota. Salah satunya adalah Anila tidak boleh pergi sebelum Raven memintanya. Anila tidak boleh memberi hormat pada siapapun karena yang harus dia hormati hanyalah Raven seorang.
Anila tidak keberatan. Inilah tujuannya.
Tangan wanita itu bergerak menandatangani perjanjian. Anila kemudian memberikan kertas itu kembali pada Raven.
Raven menerimanya dengan tangan ringan. Rambutnya sedikit berantakan mungkin karena pusing dengan pekerjaannya.
Anila bersiap menarik pintu ruangan untuk pergi, namun Raven memanggilnya sekali lagi.
"Ya, Yang Mulia?" respon Anila.
"Ada acara berburu tahunan kerajaan, kau akan pergi bersamaku."
Anila membatu. "Saya?"
"Ya, aku akan melihat bagaimana caramu berburu." Raven mengenakan kacamatanya dan mulai membuka buku tebal. "Sampai jumpa besok."
Anila merinding. Tidak pernah sekalipun kalimat 'sampai jumpa' sedingin itu. Wanita itu menjawab seadanya sebelum meninggalkan ruangan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pada hari berikutnya, suasana yang tentram dan angin yang berhembus di sekitar asrama,
Anila sedang menyesap teh hangat yang disajikan oleh Amara.
Mereka seperti biasa mengobrol tentang gosip kerajaan yang selalu sampai ke telinga salah satu prajurit wanita dan tersebar ke penjuru asrama.
Kali ini tentang pemberontakan dari kelompok tak di kenal. Anila memiringkan kepalanya, mengangguk-angguk saat Amara dengan ekspresi geram menyebutkan banyak anak-anak yang terluka akibat serangan mendadak tersebut.
Kelompok pemberontak yang tidak punya hati nurani. Mereka melukai banyak anak-anak yang tidak bersalah.
"Mereka menganggap anak-anak muda adalah ancaman," ucap Amara. "Semakin makmur generasi muda tumbuh, semakin banyak penemuan baru yang mempersulit golongan tertentu."
Anila memang sempat mengingat ada satu bab di mana Amara mengangkat pedangnya dan berlarian menolong gadis kecil yang kehilangan sang ibu.
Gadis kecil itu memiliki bakat sihir, Amara adalah tokoh utama yang selalu diberikan keberuntungan seperti itu.
Anila membenarkan letak pedangnya, sebelum melambai pada Amara. "Kupikir ini waktuku untuk menemani putra mahkota."
Anila akan membiarkan Amara berkembang sebagaimana dia seharusnya.
Amara membalas lambaian tersebut sambil tersenyum. "Aku ada jadwal berkeliling kota hari ini."
"Semoga kau menikmatinya." Anila hanya bisa berharap begitu.
Anehnya, saat sampai di depan gedung milik putra mahkota, tidak ada dua penjaga yang berdiri di depan. Mengabaikan hal tersebut, Anila mengetuk pintu Raven.
Tidak ada jawaban.
Seorang pelayan yang sedang membawa minuman jus melewatinya, lantas Anila mencegat gadis itu.
"Permisi, di mana putra mahkota saat ini?" tanya Anila.
Pelayan itu mengangkat sedikit nampan yang dia bawa. "Saya akan mengantar ini ke Yang Mulia. Dia sedang ada di halaman belakang, berlatih."
"Kau boleh kembali. Aku akan membawa ini pada putra mahkota." Anila mengambil alih benda persegi panjang itu yang terdapat jus.
Mengetahui siapa Anila, pelayan itu menunduk dan segera melangkah pergi membiarkan Anila menyusul pria dengan mata biru itu.
"Kau terlambat pada hari pertama."
Anila disambut sindiran keras dari Raven.
Meletakkan nampan dengan segelas jus, Anila langsung melangkah menghampiri pria dengan rambut coklat gelap itu, berdiri di sampingnya. Dia sedang memerhatikan mata pisau di tangannya.
"Baiklah, ini cukup." Raven menyelimuti pisau itu dengan kain dan dia kantongi.
"Ambil." Raven berucap sambil melempar pisau lain yang langsung diterima spontan oleh Anila.
Anila melihat pakaian laki-laki itu dari bawah ke atas. Dia hanya memakai pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Raven juga memakai jubah hitam dan meminta Anila untuk mengenakannya juga.
"Stef, katakan pada raja bahwa aku pergi sebentar." Raven menutupi wajahnya dengan tudung jubah.
Pria itu lantas memberikan isyarat pada Anila untuk mengikutinya ke kandang kuda.
"Kau bisa menaiki kuda?" tanya Raven mengelus kuda hitamnya yang mendengkur.
"Tidak, Yang Mulia." Anila terbatuk saat Raven meliriknya dengan cepat. Wajahnya seakan mengatakan, 'Pengawal pribadiku tidak bisa menaiki kuda?'
Raven mengeluarkan kuda gagah itu dari kandangnya, lantas menaikinya dengan gesit. Pria itu mengulurkan tangan pada Anila.
"Oh, pangeranku?" goda Anila tetapi tatapan Raven yang menajam membuatnya cepat-cepat duduk di belakang Raven.
Godaan yang payah!
Anila menggaruk hidung karena malu pada dirinya sendiri.
Raven lantas menjalankan kuda itu, berderap gesit saat gerbang istana di buka. Mereka dibawa dengan cepat oleh si gagah hitam yang mendengkus kuat di setiap langkahnya.
"Kita akan kemana, Yang Mulia?" Anila bertanya. Dia tentu saja tidak hapal dengan jalan dunia ini. Tapi setidaknya dia akan berusaha mengingat tempat- tempat yang sempat dia baca di novel.
Beberapa kali Anila harus menjepit tudungnya di bawah rahang karena terhempas angin. Dia merasa memakai hoodie.
Suara Raven terdengar bermain-main. "Mencari budak."
"Apa?"
Anila lupa jika Raven adalah bajingan licik.
Wanita itu melihat bangunan ibu kota kerajaan, penuh dengan rakyat karena daerah pasar adalah tujuan Raven.
Mereka berdua turun dari kuda, Raven mengikat si hitam bernama Wikie di salah satu pohon. Kemudian bersama dengan Anila, Raven berbaur dengan kumpulan rakyat yang berlalu lalang.
"Jangan sampai tersesat." Raven memperingati Anila. Wanita itu mengangguk dan mengikuti Raven sedekat mungkin agar dia tidak terdorong oleh orang lain.
Mereka memasuki jalan tikus yang becek. Suasana ramai yang mereka lalui terasa lenyap di telan suasana mencekam dari jalan tikus tersebut.
"Apa kau sudah mendengar berita pemberontakan di sini?" Raven mengangkat suara ketika Anila fokus meniti sekitar.
Anila mengangguk. "Itu berita yang mengejutkan."
Raven menyeringai. "Kita ke sini untuk itu."
Pria itu berhenti di depan bangunan yang kusam. Anila bahkan memperhatikan ember yang penuh jentik-jentik di depan tempat tersebut. Bergidik saat beberapa orang keluar dari pintu kayu tua dan menatap mereka dalam diam.
Mereka melewati Anila dan Raven tanpa melakukan hal mencurigakan.
Raven melempar kertas gulung pada Anila. "Pegang."
Anila mendesis. "Anda sepertinya senang sekali melempar sesuatu."
"Aku punya hak." Raven menjawab, dia mendorong pintu di depan mereka.
"Selamat datang, apakah ada yang ingin Anda cari, Tuan dan ... Nona?" Seorang pria berumur sekitar lima puluh tahun menyambut mereka dengan senyuman yang mengerikan.
"Sayang, serahkan kertas itu." Raven menyingkir dan membiarkan pria tua itu melihat Anila yang berdiri di belakangnya memeluk kertas gulung.
Sayang?!
Anila merinding.
"Ini." Anila melangkah maju dan menyerahkan kertas itu pada pria tua itu.
Pria itu tertawa 'ho-ho' dan membuka kertas tersebut. Dia membacanya beberapa saat sebelum meneriaki anak buahnya yang berada di balik ruangan lain.
"Ternyata Anda yang membeli budak ini pada akhirnya." Pria tua itu mengatakan hal yang tidak Anila mengerti.
Anila hanya diam, saat suara gadis kecil berteriak memohon dari bilik ruangan. Anila merespon dengan cepat, namun Raven merangkulnya sembari tertawa pada pria tua itu.
"Saya harap budak itu baik-baik saja."
Anila bertatapan dengan gadis kecil yang diseret. Gadis itu memiliki mata merah darah. Anila pernah tahu mata itu. Mata itu.
Gadis yang seharusnya ditolong oleh Amara saat terjadi kekacauan di kota.
[Kisahmu sedang dibuat]
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments