Suara tombak bertubi-tubi terdengar dengan jelas di penjuru hutan. Raven menarik tali kuda dan menghentikan lajunya. Pria itu memutar kuda kembali, dia membawa kuda berjalan lambat mendekati tempat yang mereka tinggalkan.
Di sana, Amara sedang berteriak marah atas tindakan para peserta yang tidak berpikir dua kali saat berlomba-lomba melempar senjata pada rusa bertanduk emas yang berhenti tepat di sebelahnya.
Dia bisa saja tertusuk oleh salah satu tombak itu, atau mungkin Rose yang sedang gemetar karena terkejut.
"Hei, dia hanya prajurit biasa." Seorang bangsawan dengan pakaian pelindung yang lengkap mengejek, menatap Amara. "Kenapa kau marah?"
Meskipun Rose gemetar, dia segera duduk di tanah untuk secara alami untuk menutupi botol kaca yang pecah. Dia tidak ingin Amara difitnah melakukan hal yang tidak wanita itu lakukan.
Rusa bertanduk emas berlari pergi. Tiga bangsawan berkuda itu menghela napas kesal dan jengkel.
"Ini semua gara-gara kau!" Salah satu dari mereka maju setelah turun dari kuda. Dia menunjuk wajah Amara dengan emosi.
"Bunuh saja dia," saran yang lain. "Tidak ada yang peduli padanya. Dia bisa kita lempar ke jurang beserta budaknya."
Anila dan Raven mengamati dari kejauhan.
Amara mengeratkan cengkeraman pada pedang di pinggulnya. "Jangan menyentuh kami. Kalian dalam masalah besar karena saya prajurit dari Kerajaan ini."
"Tidak akan ada yang tahu jika kami bertiga tutup mulut," cetus pria dengan rambut gimbal.
Ketiga pria itu mengepung Amara. Pisau ditarik menghasilkan bunyi gesekan tajam.
Anila berkeringat dingin. Gagal rencana ini, kematian Amara adalah konsekuensinya. Anila tidak tahu apa yang terjadi pada dunia ini jika tokoh utama menghilang.
"Atur napasmu, Sayang." Raven menginterupsi pikiran Anila. "Jangan gugup. Jika gagal kita bisa mencoba lain kali."
"Jika gagal, Amara dan Rose mati, Yang Mulia. Apa kau mengerti maksudku?" Anila berusaha menahan gejolak perasaannya. "Amara salah satu orang berbakat di masa depan. Mungkin bukan sekarang."
"Kau sangat yakin dengan ucapanmu," balas Raven.
Anila tidak tahu bagaimana ekspresi Raven saat ini. Namun, suaranya tenang dan membuat Anila khawatir karena ketenangan itu.
"Yang Mulia, kita bisa menghampiri mereka. Ini pasti gagal. Rose tidak memberikan reaksi apapun." Anila menepuk-nepuk bahu Raven panik. Amara di sana sedang berjuang.
Amara menangkis pisau yang diarahkan padanya. Dua bangsawan lain melakukan hal yang sama. Kewalahan dengan tingkat berpedangnya yang standar, Amara mengambil langkah mundur untuk memberi jarak.
Sayang sekali, para bangsawan geram dan memilih memojokkan Amara. Pedang Amara dilempar jauh dari tubuhnya. Dua bangsawan lain memegang kedua lengan wanita itu, dan satu teman mereka sudah tersenyum mengerikan.
Pisau itu akan menancap di jantung Amara.
"Yang Mulia!" Anila meminta Raven untuk segera menghampiri Amara. Raven menggigit bibir bawahnya, dengan cepat dengan memukul kuda untuk berlari sebelum terlambat.
Belum sempat mereka berdua sampai, angin berhembus dengan kencang. Tanah berguncang dengan sangat kuat. Kuda Raven berhenti berlari dan mulai mengambil langkah mundur karena ketakutan.
Raven berusaha mengontrol kudanya agar tidak menjadi liar. Anila berpegangan kuat pada pinggang pria itu.
Walaupun susah payah menjaga kuda agar tetap tenang. Kini Raven dan Anila bisa melihat keadaan yang terjadi. Di sana, Rose hanya diam, namun tanah yang duduk membuat retakan besar.
Para bangsawan terkejut dan melepaskan Amara tanpa sadar. Mata Rose bersinar seperti darah segar. Tumbuhan menjalar, melilit tubuh para bangsawan pada tahap mampu mencekik leher mereka.
Raven mengeluarkan senandung puas. Memacu kudanya kembali ke arah mereka. Anila turun lebih dulu dari kuda dan segera membantu Rose untuk mengontrol emosinya yang meluap.
Sihir yang Rose miliki adalah hal yang belum dapat Rose kendalikan. Sihir itu liar karena bakatnya sudah menempel akibat trauma yang Rose alami.
Para bangsawan diurus oleh Raven. Setelah lilitan itu melepas leher mereka, Raven menginjak wajah mereka satu persatu.
"Di bunuh atau di denda?" tanya Raven pada mereka bertiga. Raven tahu mereka adalah pangeran dari tiga negara di sekitar kerajaan Nabastala.
"Denda, Yang Mulia! Denda." Ketakutan dengan rumor kejam yang Raven miliki. Mereka menyahut bersamaan.
Hari itu, tidak ada pemenang dari acara berburu. Raven dan Anila mengacaukan semuanya.
Ketiga bangsawan yang mereka incar sudah ada di bawah kaki, kekuatan Rose juga berhasil mereka sulut. Amara akhirnya menyadari dia kurang pengalaman dan masih tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri.
Raven keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Dia dan Anila sudah bernegosiasi masalah denda yang harus dibayar ketiga kerajaan itu.
Dua dari kerajaan menyerahkan 35% dari tambang mereka dengan berat hati, satu kerajaan lagi menyerahkan hektaran tanah mereka untuk Kerajaan Nabastala.
Anila yang masih berada di kamar Raven karena dia belum mendapat perintah untuk pergi.
Anila menutup matanya sembari mengutuk dirinya sendiri. Dia sangat berani untuk bertekad merayu Raven, tapi sampai sekarang dia masih merinding memikirkan itu.
"Anila, lihat ini."
Suara Raven membuat Anila spontan membuka matanya hanya untuk melihat Raven yang bertelanjang dada di hadapannya. Anila berteriak jengkel dan kembali menutup matanya.
"Yang Mulia, Anda harusnya malu!" Wajah Anila memerah hingga telinga.
"Apa? Para pelayan juga terbiasa melihat," guyon Raven. "Abaikan aku, dan lihat kertas ini."
"Mana sini." Anila menadahkan tangannya, masih menutup mata.
Raven mengangkat salah satu alisnya. Tangan Anila ditarik dan ditempelkan pada pipi pria itu. "Aku sudah di sini."
Anila menarik tangannya cepat. "Jangan bercanda, Yang Mulia. Maksud saya kertasnya."
Raven tersenyum. "Ini."
Anila berbalik setelah menerima tekstur kertas di tangannya. Dia membaca kertas tersebut dengan cermat.
"Raja meminta tanah itu dijadikan ladang pertanian?" Anila mengerti isi surat tersebut.
"Pengawalku sangat cerdas. Benar. Bagaimana menurutmu?"
"Saya setuju saja." Anila menjawab.
Raven melihat langit sore yang mulai gelap. "Sebaiknya kau kembali ke asrama."
Bersorak dalam hati, Anila mengangguk dan pamit.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kau sangat cocok dengan putra mahkota!"
Lihatlah, kemarin Amara berusaha menyadarkannya untuk menjauh dari pria seperti Raven. Hari ini, Amara mendadak mendukung tujuannya.
Wesa menggeleng tak habis pikir.
"Sudahlah, Mara." Anila menegak teh hangat untuk menyembunyikan rasa gugupnya.
Talita dan yang lainnya mengelilingi Anila dengan mata yang berbinar. Bagaimana bisa dia tidak gugup? Ditatap oleh teman-temannya yang menunggu cerita, tentu saja membuat Anila pusing.
Jadi begini rasanya, dulu Anila hanya bisa melihat rekan kantornya dikelilingi akibat rekannya itu mengencani pria kaya. Namun, rekannya tidak segugup dia saat ini.
"Aku bisa melihat kain perburuan kalian seperti cincin pernikahan, kau pasti bisa menikah dengan putra mahkota!"
Anila menyemburkan tehnya saat itu juga. Terbatuk-batuk.
Wesa segera mengusap punggungnya sambil tertawa. "Kau sangat bahagia sepertinya."
Bahagia? Anila ingin berteriak. Kenapa temannya berhalusinasi seperti itu?!
Sebelum Anila dapat menengahi keributan di asrama mereka, pintu utama terbuka mendadak.
Brak!
"Para prajurit!" Prajurit pria ngos-ngosan. "Berbaris cepat! Kita harus menuju desa pinggiran! Cepat!"
Anila dan teman-temannya lantas berdiri.
"Ada apa, Hans?" tanya Wesa cekatan mengambil senjatanya. Begitupula Anila segera berlarian ke kamarnya mengambil pisau, tali dan pedangnya
Kericuhan yang terjadi membuat mereka bertanya-tanya.
"Beberapa desa di serang pemberontak. Tolong kelompok kalian dibagi menjadi dua, utara dan timur." Prajurit bernama Hans itu lantas pergi dengan cepat.
Ada satu pertanyaan dalam benak Anila.
Masalah pemberontakan tidak pernah ada dalam novel yang dia baca. Entah itu di volume ketiga atau keempat. Anila sangat ingat itu.
Lantas, apakah ini karena adanya 'Anila' lain yang ikut campur? Dirinya sendiri?
Anila tidak punya waktu untuk itu. Sekarang dia punya tugas lain yang harus dia selesaikan.
"Aku dengar pemimpin pemberontak itu adalah seorang wanita." Talita membuka suaranya.
Talita memacu kuda dan Anila duduk di belakangnya menuju arah timur. Sedangkan Wesa dan Amara pergi ke utara. Kelompok mereka benar-benar dipisah.
"Dia bukan manusia," desis Talita. "Dia hidup ribuan tahun."
"Tal?" panggil Anila.
"Ya, An?"
"Aku mohon bantuanmu." Anila berucap dengan tenang. Hatinya berdebar-debar. Bisa saja petarung pemula sepertinya mati hari ini.
"Apa maksudmu?" Talita membalas bingung. Anila tidak menjawab.
[Membangun cerita dengan Karakter pemanah berbakat 'Talita']
[Ceritamu dibuat.]
[Ceritamu berbelok]
[Revisi alur: pergantian tokoh utama 3%]
Anila menatap layar yang muncul bertubi-tubi itu.
Pergantian tokoh utama? Mata Anila membulat. Bisakah itu terjadi?
[Keberadaanmu dipicu]
Anila mengerti. Dia bisa menjadi tokoh utama dari cerita ini, jika dia bisa membuat keberadaannya lebih memukau dari Amara si tokoh utama.
[Cintai Putra Mahkota]
Anila menatap datar layar itu. Ayolah, dia sampai bosan diingatkan hal itu.
"Anila, menunduk!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments