Kereta kuda membawa mereka pada sebuah tempat makan yang terlihat sederhana dihiasi tanaman bunga yang bermekaran menyambut cahaya matahari.
Orang-orang yang berada di sana tidak menyadari kehadiran putra mahkota. Memang tidak ada yang tahu wajahnya, karena raja tidak pernah memublikasikan sosok Raven secara khusus kecuali orang-orang yang berada di istana.
Akan tetapi, untuk menghindari kemungkinan buruk yang terjadi, Raven memutuskan untuk mengubah warna matanya dengan sihir. Kini, hanya mata coklat terangnya yang terlihat.
"Kau pernah ke sini?" tanya Raven saat mereka duduk di pinggir dekat dengan jendela lebar. Melihat keramaian penduduk yang berlalu lalang.
"Tidak," jawab Anila menggeleng. Dia tersenyum pada pelayan yang tiba-tiba menghampiri mereka dan bertanya tentang pesanan mereka.
Raven menerima daftar menu yang dibuat dengan coretan tinta itu. "Roti jahe yang memiliki harum terenak dan minuman segar cocok untuk perut yang belum terisi."
Anila hanya mendengarkan Raven memesan. Pria itu melirik sesaat Anila, lalu kembali berbicara, "Untuk penutup, berikan kami kue mungil. Nil?"
Anila mengangkat kedua alisnya terkejut.
"Apa rasa kesukaanmu?" Raven berbicara padanya dengan pandangan lurus. Sang pelayan memutar kepalanya otomatis sambil memegang pena.
"Keju ...," jawab Anila.
"Baiklah, kue mungil keju satu." Raven menyerahkan kembali kertas menu. Pelayan mengangguk dan pergi menuju dapur.
"Kapan terakhir kali aku duduk tenang seperti ini?" gumam Anila pelan menatap anak-anak yang sedang berlarian.
"Kau tidak suka terlalu sering bekerja?"
Sahutan dari Raven membuat Anila tersentak. Apakah Anila terlalu keras berbicara? Atau Raven yang sangat tajam pendengarannya?
"Siapa yang suka bekerja?" Anila melempar pertanyaannya balik. "Tidak ada yang suka bekerja."
Raven tertawa singkat. "Kau sangat jujur, tapi apakah kau tahu ada orang yang senang bekerja?"
Anila mendengus. "Ada."
Raven mengangkat satu alisnya, menunggu jawaban.
"Kau." Anila melanjutkan, "Setiap hari tidak diam dan bekerja. Aku tahu kau sibuk sejak kemarin dengan hal lain saat aku pulang lebih dulu."
"Kau tahu itu." Raven menerima jawabannya dengan santai.
[Kau mulai menerima dan merasa nyaman]
Anila melotot pada layar yang mengambang.
"Nil."
Anila menyurutkan ekspresi wajahnya yang memanas. Sistem ini menganggu suasana hatinya.
"Aku berpikir apakah kita pernah bertemu di suatu tempat."
Napas Anila terhenti saat mendengar pernyataan Raven yang tiba-tiba.
"Rasanya kau seperti mengenalku dan tidak takut ...." Raven mengetuk jarinya pada permukaan meja bundar di antara mereka.
"Aku takut padamu," sela Anila cepat. Wanita itu tidak suka bagaimana alur pembicaraan ini akan berjalan. Akan ada di suatu titik Anila tidak dapat menjawab pertanyaan Raven.
Lima anak-anak berlarian membawa bunga dan mulai menebarkan kelopaknya di luar sana. Penjual roti menegur karena rotinya dijatuhi beberapa bagian bunga.
Raven terlihat sedikit terkejut dengan pernyataan Anila. "Kau mengatakan itu tanpa berpikir."
Suaranya yang agak cerah perlahan redup. "Apa kau menyembunyikan sesuatu, Sayang?"
Jantung Anila berdegup, panggilan itu adalah peringatan pertama. "Aku hanya mengutarakan kebenaran. Kau berpendapat aku tidak takut, tapi sebenarnya aku segan padamu saat pertama kali melihatmu."
Untuk menenangkan jantungnya, Anila kembali melihat lima anak-anak yang melompat-lompat dari kaca besar itu.
"Lalu tiga setelahnya kau meminta posisi pengawal pribadiku. Itu yang dinamakan segan?" Raven melempar kalimat.
"Aku butuh pekerjaan ini," jawab Anila.
"Butuh?" Raven menumpukan satu siku di meja, lalu menyandarkan pipinya di telapak tangan. "Jelaskan."
"Aku ingin berkembang dan aku sudah melihatmu, aku sudah mengenalmu meski hanya sekali." Anila merasakan hawa memanas karena kegugupannya yang berusaha disembunyikan. "Bekerja di sisimu akan memberiku banyak pengalaman."
"Aku sangat tahu wajah orang lain, Nil." Raven membalas ucapannya dengan kalimat yang lebih dalam. "Kau mengintimidasiku dengan berani dan ceroboh, saat kau mendengar aku 'membeli' mu."
Anila meneguk ludahnya. Apakah Anila harus menerima kenyataan jika dia dibeli oleh Raven agar Raven puas?
"Aku—"
"Dan ya, tentu saja aku tidak membelimu. Aku hanya bercanda."
Apa?
Anila menatap kosong.
"Kau terlihat terkejut? Bukankah kau dijemput oleh prajuritku karena kau ingin?" Raven membuat ekspresi curiga kali ini.
Anila kehabisan kata. Wanita itu lantas menimpali, "Aku kadang bisa berubah pikiran."
Anila berusaha mencari alasan yang tepat, alasan yang membuat Raven tidak bertanya atau curiga.
Pernahkah Anila berpikir bagaimana kehidupan 'Anila' ini sebelumnya? Apa yang membuatnya memberontak dibawa jika dia yang menginginkan hal ini?
Anila hanya memiliki satu jawaban. Tidak peduli apakah Raven mengetahuinya atau tidak.
"Karena aku tidak punya uang." Anila melanjutkan dengan tenang. "Bekerja di istana terlihat terjamin daripada menjadi gelandangan."
Anila mengingat wanita-wanita yang berada di kereta kuda yang sama dengannya hari itu. "Aku bahkan berpikir ingin menjadi selir raja di masa depan."
Anila kemudian melirik pada Raven. Pria itu menyugar rambutnya yang jatuh menutupi kening.
"Raja di masa depan itu adalah diriku." Raven menyatukan sepuluh jarinya di atas meja dan menaruh wajahnya di atas jari-jari yang terjalin. Dia memiliki senyum khas yang Anila hampir lupakan.
"Setelah mengetahui ini, apakah ini yang membuatmu menginginkan posisi yang paling dekat denganku?" Raven memiringkan kepalanya.
Anila mengeluarkan napas lega diam-diam. "Iya."
Raven mengangguk. "Aku akan menerimamu menjadi ratuku kalau begitu."
Anila tahu itu bercanda. Entah bagaimana taraf bercanda Raven, Anila tidak ingin percaya ucapan itu dan menganggapnya angin lalu.
Pelayan membawa makanan mereka.
Saat Anila mendengar roti, Anika hanya berpikir roti biasa seperti burger yang sering ia lihat. Namun, di hadapannya saat ini, roti itu memiliki bau panggang yang harum.
Baunya menyedot seluruh oksigen dan membawa aroma yang membuat perutnya keroncongan.
"Cobalah, Nil." Raven berkata.
Anila menggigit roti itu. Matanya bersinar saat merasakan aroma roti yang enak sama dengan rasanya yang menggugah.
"Kau akan sering ke sini jika sekali mencoba. Koki istana pun tidak bisa membuat roti ini." Raven menjelaskan.
Anila menelan roti. "Bagaimana dengan merekrutnya?"
Raven terkekeh dan menggeleng sekali. "Raja sudah berusaha mencobanya. Tapi, tentu saja pemilik roti ini tidak menerimanya."
Anila dan Raven sama-sama melihat kembali pada anak-anak itu saat mereka menikmati keheningan. Empat anak-anak sedang berbicara dengan penjual bunga.
"Empat?" Raven dan Anika bersamaan mengucapkan satu kata heran.
Anila menelan gigitan terakhir. "Bukankah ... ada lima anak?"
Raven melihat sekeliling tempat itu. Benar saja, empat anak yang berbicara dengan penjual bunga, terlihat wajah panik mereka.
Anila meletakkan setengah kue mungil kejunya. Dia segera berlari kecil menyusul Raven yang lebih dulu pergi.
"Ada apa?" Raven bertanya pada penjual bunga.
Pria tua dengan garis kerutan di wajahnya segera menjelaskan bahwa satu anak laki-laki menghilang tiba-tiba.
"Kami bermain dan dia bilang akan segera kembali. Tapi dia tidak pernah kembali lagi ...." Anak perempuan dengan dua kuncir menyela.
Pejual bunga lantas ingin berbicara, namun anak-anak yang lain bersahutan panik.
"Nil," panggil Raven tegas. "Berpencar."
Anila mengangguk, dress selututnya berkibar saat dia berlari di antara kerumunan orang-orang. Mencari sosok mungil berambut pirang dan mata coklat milik anak laki-laki yang menghilang.
Raven mencari dipelosok jalan tikus. Mereka berpisah di keramaian kota.
Anila dan Raven tidak tahu apa yang menunggu mereka. Di sisi lain, wanita berjubah dengan rambut merah yang disorot cahaya menyeret tubuh mungil yang tak sadarkan diri di suatu tempat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments