Mereka memasuki kawasan pedesaan baru. Anila menyipitkan matanya melihat kayu yang menjulang tinggi bertuliskan Desa Keong. Raven dengan santai membawa kudanya melangkah masuk, Anila dapat menyaksikan beberapa warga desa berhenti beraktivitas saat melihat pendatang baru.
Seorang pria paruh baya menghampiri mereka. "Kalian berasal dari mana?"
Raven turun dari kuda, dan mengulurkan tangannya untuk Anila. Anila segera melompat turun dan memperhatikan Raven tetap tenang saat semakin banyak warga dari anak-anak hingga orang tua mengerumuni mereka.
"Nama saya Rav dan ini istri saya Nil. Kami korban dari desa di timur sana dan sedang melakukan perjalanan untuk mencari tempat tinggal di desa orang tua kami." Raven dengan lugas berbohong.
Beberapa ibu-ibu yang menggendong bayi merasa bersimpati dengan keadaan mereka.
"Bolehkah kami tinggal sementara di sini untuk istirahat? Perjalanan kami ke barat." Raven mulai meminta izin.
Pria paruh baya yang menghampiri mereka nampaknya adalah seorang ketua desa. "Tentu boleh, Tuan. Kalian bisa tinggal di rumahku. Kebetulan anakku juga merantau ke barat dan kamarnya kosong."
Raven menatap Anila mereka saling mengangguk.
"Suatu kesenangan ada anggota baru di rumahku. Perkenalkan aku Bayu dan ini istriku Hala."
Anila bersalaman dengan ibu itu. "Terima kasih sudah memberi kami tempat tinggal sementara."
"Jangan dipikirkan masalah tidak enak pada kami, kami senang menerima kalian." Bayu membawa mereka ke sebuah rumah sederhana, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.
"Aku baru saja memasak, kebetulan sedang banyak makanan di rumah. Ayo, ayo, masuk." Hala menggiring mereka memasuki dapur, di sana ada tikar panjang yang bersih. "Kalian pasti kehausan setelah perjalanan panjang."
Raven tertawa, Anila berdecih dalam hati melihat itu. "Kami pindah lebih cepat, sempat menyelamatkan diri," balas Raven.
"Bagaimana dengan harta benda kalian? Baik-baik saja?" tanya Bayu khawatir.
Mereka semua duduk di atas tikar. Hala mulai melangkah untuk mengambil beberapa mangkuk berisi sup hangat yang ada di tungku belakang.
Anila ikut membantu wanita tua itu, lebih baik membiarkan Raven berbicara dengan ketua desa. Pria itu belum menjelaskan apa-apa tentang tujuannya, Anila tidak boleh ceroboh.
"Kami sempat menyelamatkan beberapa pakaian dan uang yang memang istriku selalu pegang." Raven menjawab.
Anila ingin muntah, dia kemudian mengikuti Hala menuju ruang belakang di mana mangkuk dan tungku berada.
"Sudah berapa lama pernikahan kalian?"
Anila hampir menjatuhkan sup di tangannya karena terkejut atas pertanyaan Hala yang berbisik padanya.
Anila terdiam sebentar, dia tersenyum sopan. "Baru lima bulan."
Hala mengangguk-angguk. "Pengantin baru ya."
Anila ingin cepat-cepat memasukkan sup-sup ini dan pergi.
"Kenapa memilih menikah? Apa suamimu selain tampan dia juga memiliki harta?" Hala kemudian bertanya hal itu. "Kau bisa memanggilku Hala, tidak masalah."
Anila mengernyitkan keningnya, bingung. Kenapa Hala menanyakan hal yang tidak terlalu penting.
"Ah, kami hanya saling melengkapi." Anila memilih jawaban yang standar.
Hala tampak tidak menyukai jawaban Anila. "Kau perempuan dan masih muda, Nil."
Anila yang bersiap mengangkut sup, gagal karena Hala mencengkeram lengan Anila. Matanya tidak ramah seperti tadi. "Kita wanita tidak bisa berakhir dengan pria sembarangan."
Anila mulai merasa ada yang tidak beres. Untuk menenangkan suasana, Anila menjawab, "Orang tuanya punya warisan barang dagangan dan maharku cukup."
Kali ini, Hala melepaskan genggaman tangannya. Anila melirik kulitnya hampir memerah karena Hala.
Apa yang sedang terjadi?
"Nil, aku memiliki kelompok perkumpulan wanita mandiri jika kau tertarik. Di sana, kita bisa menjadi perempuan berkualitas. Aku sedikit menyesal, lebih baik hidup sendiri dan menjadi wanita mandiri." Hala mulai mengeluarkan keluhan.
Anila berkedip memahami kalimat Hala.
"Hala." Anila dengan hati-hati memanggil.
Hala memiliki tatapan kosong sekarang.
"Wanita mandiri bukan berarti dia harus memiliki penghasilan sendiri. Ada banyak cara untuk bahagia menjadi wanita mandiri. Wanita yang berpenghasilan sendiri bahagia, tapi wanita rumah tangga juga bahagia. Mereka sama-sama wanita."
Anila terlalu muak menjadi punggung keluarga, tapi dia bahagia melihat adiknya bisa terus sekolah. Mungkin begitu juga ibunya dulu, dia hanya wanita rumah tangga dan terkadang letih.
"Tapi roda kehidupan selalu berputar. Misalnya, yang bekerja diluar punya cobaan stress mengatur keuangan, sedangkan ibu rumah tangga stress mengurus pekerjaan rumah dan anak." Anila tersenyum. "Namun, kita memilih untuk menghadapi itu."
Hala merasa kepalanya sakit.
"Hala?" Anila khawatir.
"Katanya, pemimpin kelompok, wanita boleh meninggalkan semuanya karena kita berhak bahagia!" Hala menepis tangan Anila yang hendak menyentuhnya.
"Apa? Pemimpin kelompok?" Anila meneguk salivanya. Dia beranjak menjauh dan segera memanggil Raven dan Bayu.
Bayu dan Raven segera memapah Hala yang pingsan ke kamar tidur.
Bayu nampak sedih. "Setelah putra Kami memilih untuk merantau ke barat melanjutkan pekerjaannya dia sering merenung."
Bayu tersenyum letih setelah itu. "Kalian bisa makan, jangan sia-siakan masakan istriku. Silakan. Aku akan menemani dia."
Anila hendak menolak, namun Raven menggenggam lengannya untuk pergi ke dapur. Mereka makan sup itu dengan tenang.
"Kau lihat?" Raven mengangkat suaranya dengan lirih.
Anila mengangguk. "Aneh. Hala terus menyebutkan kelompok wanita dan pemimpinnya."
"Ini sebabnya aku perlu membuat kita menjadi suami istri. Aku ingin memicu kemunculan kelompok baru yang diam-diam menodai pikiran banyak orang." Raven menghela napas.
"Itu artinya bukan Hala saja." Raven melanjutkan, "ada banyak wanita lain."
Anila mencuci piring mereka setelah sup habis. "Jadi? Apa rencana Anda?"
"Kau hanya perlu di samping Hala, kita akan ada di sini sampai semuanya terkumpul." Raven berdiri. "Sekalian mencari informasi tambahan, mungkin."
Anila mengerang dalam batinnya. "Ini akan sulit."
Raven mendorong punggung Anila memasuki kamar. "Daripada itu, lihat bagaimana kau akan tidur."
Anila melihat tilam tipis, hanya ada satu. Oh.
"Saya mengambil sisi di dekat jendela." Anila segera melompat di kanan tilam.
Raven tampak tidak peduli, dia segera berbaring di bagian kiri dan memunggungi Anila, begitu juga Anila melakukan hal yang sama.
Amara dan yang lain pasti sedang kesak karena aku pergi tidak bilang, batin Anila meringis.
"Nil?"
"Kenapa Anda memanggilnya begitu?"
"Bisakah kau tidak formal sekarang? Kita tidak berada di istana." Raven berbicara. "Mari biasakan memanggil nama."
"Kucoba." Anila diam sebentar, "Rav."
Raven tidak membalas. Anila melihat ke belakang, pria itu sudah mendengkur lirih.
"Astaga, dia sudah tidur."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi-pagi sekali, tubuh Anila diguncang dengan hebat. Anila membuka matanya dan melihat wajah Raven.
"Bangun! Semua warga kelihatan sudah memiliki kegiatan." Raven menunjuk ke arah jendela.
Anila berkedip bingung, dia mengangkat kepala melihat keluar.
"Apa?" Anila menatap matahari yang baru muncul setitik cahaya di ufuk timur. Namun, semua wanita tampak sudah bangun?
"Hala sudah mengetuk pintu dari tadi." Bisik Raven. "Telingamu tersumbat?"
Anila segera duduk, dia membuka pintu. Hala dengan wajah lebih segar menyambutnya. "Maafkan menganggu kalian, tapi lebih baik kita ke sungai sekarang, Nil. Membersihkan diri, karena pagi hari untuk pria."
Anila mengangguk. "Tunggu sebentar."
Anila menutup pintu, dia menggeledah kantung. "Kau tidak membawa sarung untukku!"
Raven melempar sarung. "Ini ambil punyaku. Aku bawa dua."
Anila mendelik. Dia segera membuka pintu kembali dan memasang senyum. "Ayo, Hala."
Mereka berdua keluar dari rumah.
Raven merebahkan dirinya kembali, melanjutkan tidurnya yang damai.
Belum sempat berenang dalam mimpinya, pintu kembali diketuk.
"Rav, kau sudah bangun? Aku ingin kau membantuku mengambil madu."
Mendengar suara Bayu, Raven hanya dapat mengucapkan selamat tinggal untuk tidurnya kali ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments