Sebulan berlalu dengan permasalahan pemberontakan tidak kian surut. Anila menghunus pedangnya, keringatnya bercucuran membasahi wajah dan lehernya. Matahari mendukung cahaya panas untuk menyentuh Anila.
Wanita itu mengatur napasnya, dia mematok pisau untuk membelah beberapa ranting pendek dan kecil. Hampir tidak meleset.
Anila menarik pisaunya yang tertancap di pohon. Dia mengambil oksigen untuk memenuhi paru-parunya yang mengempis.
Amara berkacak pinggang menonton dari pinggir tanah latihannya. Wanita itu menyipit. "Kau berkembang pesat, Anila."
Anila hanya memberikan tawa singkat. "Aku harus berkembang karena putra mahkota suka pergi ke tempat berbahaya."
Amara berjongkok sembari menopang pipinya. "Kau hanya punya sedikit waktu di asrama karena mengawal putra mahkota setiap hari."
Anila melempar pisaunya lagi. "Dia selalu pergi ke mana pun bahaya ada. Aku harus lebih siaga."
Anila menyudahi latihannya dan menghampiri Amara yang membawa handuk kecil untuknya. "Aku dengar kau akan masuk ke hutan bersama rombongan Kanath."
Anila sangat menyayangkan dia tidak bisa melihat interaksi hebat mereka berdua. Bagaimana ada pasangan sekeren mereka di masa depan? Anila menantikan acara di ballroom istana dua hari ke depan.
Itu kedua kalinya Amara dan Raven bertemu menurut sudut pandang Amara. Tentu saja, Anila sekarang tahu jika Raven sudah melihat Amara lebih dulu.
Kanath akan mengajak Amara menjadi pasangan dansanya. Tipikal pria yang idaman yang berani.
Amara melihat ke arah langit dengan ekspresi tenang. "Ternyata kita sama-sama berkembang, ya?"
Anila tersenyum dan menjawab, "Ya. Semua orang berusaha untuk menjadi versi terbaik mereka masing-masing."
"Aku harap kita punya misi bersama nanti, Anila. Aku ingin melihatmu beraksi di lapangan langsung." Amara merespon, dia segera berbalik saat mendengar seseorang menyebut namanya.
Anila ikut melihat ke arah sumber suara. Kanath dengan pedang panjang di punggungnya berlari kecil menghampiri Amara. Pria itu tampak sudah beradaptasi dengan lingkungan istana.
"Oh, Pengawal Putra Mahkota?" Kanath menyadari kehadiran Anila.
Anila menatap pria itu dengan tatapan datar. "Sudah kubilang berhenti memanggilku seperti itu. Amara katakan padanya!"
Amara terkekeh. "Kanath, Anila tidak suka orang berbicara formal padanya."
"Tapi, aku merasa harus memanggilnya seperti itu ...." Kanath membalas sambil membungkuk pada Anila. Pria itu melirik sesaat ke atas balkon istana, sepertinya tadi aku melihat seseorang berdiri di sana?
Anila semakin panik. "Apa yang kaulakukan?!"
Kanath tersenyum. "Menghormatimu, orang yang berjasa."
Amara hanya menggaruk belakang kepalanya bingung. "Begitulah, Anila. Kanath menghormatimu yang hebat."
Talita muncul entah dari mana. "Kebetulan sekali aku bertemu Amara dan Kanath."
Anila mengulum senyum. "Mereka selalu bersama seperti perangko, Tal. Kau tidak sulit mencari mereka."
Amara menyikut Anila sambil melotot lucu padanya. Anila hanya tertawa.
"Aku ditugaskan putra mahkota untuk ikut dalam rombongan kalian. Akhir-akhir ini ada beruang liar." Talita menghela napas. "Putra mahkota meminta kita menanganinya tanpa pembunuhan."
Talita melanjutkan, "Namun, jika mendesak, dia tidak masalah jika kita membunuh. Hanya pastikan beruang tidak masuk daerah padat rakyat."
Anila mengangguk. "Kemarin, Rav–maksudku putra mahkota meminta kita untuk berhati-hati. Beruang berevolusi karena campur tangan pemberontak."
"Mereka sangat mengancam ... berbuat sejauh ini." Kanath terdiam sebentar. "Mereka memiliki seseorang yang berpengalaman dan pemimpin yang penuh ambisi."
"Mereka memiliki penyihir," tambah Talita.
Anila mengantongi pisaunya. "Menurutku akan lebih baik kau meminta izin untuk membawa teman dekatmu, Kanath."
Anila mulai pandai mengeluarkan pendapat, dia juga berusaha mengimbangi Raven. "Putra mahkota akan mengerti."
"Teman?" Amara menyahuti. "Maksudmu pria gondrong yang hebat memanah seperti Talita?"
Anila mengangguk. "Tidak mungkin Talita sendirian di belakang kan?"
"Terima kasih atas saranmu, Pengawal—"
"Kanath," sela Anila cepat. Sungguh, bisakah Kanath berhenti memanggilnya seperti itu?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anila duduk di jendela dengan bosan. Tangannya merobek dedaunan lalu melemparkannya ke bawah. Irisnya bergerak mengamati Raven yang sedang memakai bingkai kacamata sambil membaca dokumen di mejanya.
"Aku pulang saja kalau begini." Anila mati bosan.
"Tidak. Ini waktumu bekerja." Raven melepas kacamatanya dan kepalanya terangkat untuk berbicara lebih jelas. "Sudah selesai, ayo kita pergi."
Anila melompat, berdiri tegak mengikuti langkah Raven yang tiba-tiba sudah mendorong pintu ruang kerjanya dan menyusuri koridor dengan tergesa-gesa.
Mereka menuju ruangan raja. Anila meneguk salivanya, ada apa ini? Kenapa Raven tidak berbicara lebih jelas? Apakah ada misi darurat? Dokumen apa yang dia baca sampai langsung mengambil tindakan yang Anila tidak mengerti.
Tanpa permisi, Raven dengan tidak sopan membuka pintu raja hingga membuat prajurit yang menjaga pintu tidak berani berkutik. Sepertinya, mereka merasakan aura kemarahan yang terlihat jelas.
"Apa maksudmu menjadikan acara lusa kerajaan menjadi ajang perjodohanku?!" Kini, hilang sudah rasa formalitas Raven.
Raja yang meminum kopi hampir tersedak. Janggut putihnya bergetar. "Hm. Aku hanya membantumu, Nak. Pekerjaan selalu menghantuimu dan tidak ada waktu untuk melihat calon ratumu di masa depan."
Anila akhirnya mendengar mereka berbicara tidak formal setelah sekian lama.
"Kau seharusnya tidak memikirkan itu." Tatapan Raven menajam. "Pikirkan dirimu yang sudah tua."
Anila hanya dapat berdiri dengan wajah bodoh dan tidak berusaha ikut campur.
"Bagaimana?" Raja tampak tidak tersinggung. "Aku sudah membagikan undangan seperti itu pada bangsawan lain."
Raven menggeram kesal. "Berhenti mengatur hal yang tidak penting."
"Aku hanya ayahmu yang berusaha memasang satu bagian kebahagiaanmu." Raja melanjutkan membaca berkas di mejanya.
Anila menahan napas tertahan. Kalimat itu. Dia ingat kalimat itu ketika membaca novel itu.
.
"Aku hanya ayahmu yang berusaha memasang satu bagian kebahagiaanmu."
"Lantas, bagaimana dengan kehidupan pernikahanmu dan ibuku?"
.
Anila melirik khawatir pada Raven. Raven mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Dia berkata dengan dingin. "Lantas, bagaimana jika aku sudah memilih calon ratu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku akan mengatur hal itu sendiri. Hanya aku yang tahu apa yang kubutuhkan." Raven melepaskan kepalan tangannya. Suaranya lebih stabil.
"Cobalah dulu, Raven." Raja hanya mengucapkan kalimat itu. "Aku tidak akan menarik undangan kembali."
Raven pergi setelah tahu apa yang dia katakan pasti sia-sia. "Pria tua itu selalu merasa paling tahu tentang kebahagiaan."
"Apakah dia bahkan merasa bahagia ketika Tasla lahir?" gumam Raven gelap. "Atau dia bahagia ketika menceraikan ibu dan mengusirnya pergi dari kerajaan?"
Anila melihat punggung Raven yang berdiri di balkon. Pria itu menahan amarahnya yang membuncah. Mungkin, pembahasan tentang keluarga akan selalu membuat Raven marah, Anila bisa melihat napasnya bergerak naik dan turun dengan tidak teratur.
"Bagaimana, Nil?" Raven mencengkeram pagar balkon. "Orang seperti dia pantas berbicara tentang kebahagiaan orang lain?"
"Rav, bagaimana jika kita keluar dari istana sebentar?"
"Aku sudah marah tentang dia yang seenaknya mengatur hal yang tidak aku inginkan sekarang." Raven berbicara lebih tajam. "Lebih marah lagi saat dia bersikap seperti ayah yang baik."
"Rav?" Anila mendekat ragu-ragu dan menyentuh bahu Raven, dia memandang dengan mata sayu.
Raven menarik bahu Anila merapat. Dia menjatuhkan keningnya pada bahu wanita itu. "Katakan, Nil."
"Aku tidak bisa mengatakan apapun." Anila menepuk punggung Raven.
"Kau selalu memandangku seperti tahu banyak hal. Hanya perlu katakan sesuatu, aku tidak akan bertanya."
Anila ragu-ragu menepuk kembali punggung Raven. "Tolong lupakan kebencianmu, tolong hiduplah menjadi orang yang tidak peduli omongan jika kau tidak bisa memaafkannya."
Anila bisa merasakan Raven terdiam sebentar. Anila tahu, kebencian Raven yang terus mengalir di sepanjang alur novel, membawa Raven pada satu penyesalan hidupnya.
Maka, Anila hanya bisa mengatakan itu. Kata-kata yang seharusnya Raven dengar oleh orang lain, namun Amara bahkan tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Seharusnya, Raven mendengar kalimat itu.
"Kau benar-benar—" Raven terkekeh.
Ini hanya tentangnya dan masa lalunya.
Di ujung hutan sejauh mata memandang dari balkon, Raven dan Anila menyaksikan beberapa pohon rubuh tanpa alasan yang mereka ketahui.
Raven melepaskan pegangannya dari Anila. Dia dan wanita itu melihat bersamaan apa yang terjadi.
"Kelompok Amara dan Kanath?" gumam Anila.
"Itu pasti mereka." Raven menyahuti.
Biarlah, Raven harus menyimpan lukanya sendiri.
Anila melirik sekilas. "Bagaimana jika menyusul?"
Raven terdiam sesaat. "Hanya melihat."
Anila menarik sudut bibirnya. "Ya."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments