Sinar matahari pagi menyambut hari baru Anila. Wanita itu membasuh wajah bantalnya yang masih terlihat.
Malam tadi, Anila berpikir jika dia tidur apakah sistem akan main-main kembali dengan dirinya. Syukurlah, sistem ternyata membiarkan Anila tidur nyenyak hingga pagi menjelang.
Anila merapikan pakaian yang baru saja Wesa antar ke kamarnya. Memilih salah satu, dia mengambil dress ringan dengan warna coral polos. Wanita itu kemudian mengikat kuda rambutnya dan segera mengambil pisau yang selalu menjadi senjata darurat.
"Kau pergi sekarang? Bukankah kita belum sarapan?" tanya Amara membuat teh hangat. Dia berbalik menghadap Anila dan hampir menumpahkan teh yang ada di tangannya.
"Kau tidak memakai baju besi?" tanya Amara dengan suaranya yang terkejut.
Anila tertawa canggung. "Aku akan makan di luar ...."
"Kau bilang kau ada keperluan dengan putra mahkota. Itu batal?" Amara menyesap tehnya.
"Tidak, aku akan sarapan dengan putra mahkota."
Teh yang Amara teguk langsung keluar dari mulutnya. Wesa di belakang Anila dengan keringat sehabis olahraga hampir terpleset mendengarnya.
"Apa?!" cetus mereka bersamaan.
Wesa segera memegang bahu Anila. "An, kau tahu? Hubungan antara kasta seperti kita dan bangsawan adalah hal mustahil dan hina di mata mereka."
"Kau jangan mengatakan hal jelek seperti itu—"
Ucapan Amara dipotong Wesa segera. Wesa semakin mencengkeram bahh Anila. "Aku tidak bermaksud buruk, aku juga melihat putra mahkota sepertinya lengket denganmu. Tapi Anila, mustahil."
Anila memandang bingung wajah kedua temannya bergantian.
"Baiklah ...?" respon Anila dengan kerutan di keningnya.
Wesa melenguh putus asa. "Anila, apakah kau mengerti apa yang aku coba jelaskan?"
"Aku dan putra mahkota berbeda?"
Wesa mengangguk. "Ya. Jika kau meneruskan untuk seperti ini, kau harus menerima konsekuensi besar."
Anila tahu itu. Bukan sekali dua kali dia membaca genre kerajaan seperti ini di novel. Namun, dia yakin dia bisa. Sistem bersamanya.
"Kalau begitu, aku harus pergi. Nikmati sarapan kalian." Anila melambai dan keluar melalui pintu.
Wesa memandang pintu yang tertutup dengan kosong. Dia melihat ke arah Amara yang mengangkat bahu.
"Dia tidak peduli sepertinya," kata Amara memberikan teh baru pada Wesa yang masih terdiam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Raven dengan pakaian santai melihat para prajurit baru berbaris rapi di lapangan latihan istana. Pria itu menatap wajah calon ksatria satu persatu. Mereka tentu saja akan menjadi prajurit yang menjaga kerajaan, Raven tidak ingin orang yang tidak memiliki keahlian berada di sini.
"Apa kata-kata yang ingin Anda sampaikan pada mereka, Yang Mulia?" tanya pengawal yang datang padanya.
Raven memang jarang menampakkan wajahnya pada prajurit, kata-kata sambutan untuk calon prajurit selalu dibacakan oleh orang terpercayanya.
"Bilang pada mereka, di sini bukan tempat untuk sombong. Jika mereka tidak berguna, mereka akan dikeluarkan. Jika mereka membuatku marah, aku tidak segan-segan akan memberikan hukuman berat." Raven melipat tangannya di dada.
Pengawal mencatat dengan cepat apa yang dikatakan Raven tanpa mengubahnya sedikit pun.
Di balkon, Raven melihat ke bawah kembali. Dia menyipitkan matanya melihat pria dengan perawakan setinggi dirinya sedang berbaris di belakang.
"Siapa dia?" tanya Raven pada pengawalnya.
"Dia prajurit baru, Yang Mulia. Namanya ... Kanath."
"Kanath?" Raven memasukkan tangan di kantung celananya. "Awasi dia dan laporkan perkembangannya padaku."
Pengawal mengangguk patuh.
Salah seorang prajurit datang menghampiri mereka. "Pengawal Yang Mulia sudah menunggu."
Raven mengangkat alisnya, dan mengangguk. "Aku ke sana."
Pria itu segera melangkah keluar dari balkon. Dia bisa melihat Anila menunggu di depan pintu ruang kerjanya.
Anila menangkap sosok Raven yang mendekat. Dia membungkuk sebentar dan segera berdiri tegak kembali, merapikan rambutnya yang tersangkut di bahu.
"Ayo ikuti aku." Raven berjalan lebih dulu di depan Anila. Wanita itu memandangi punggung Raven yang melangkah ringan di depannya. Seperti yang Anila duga, pemeran utama Kanath sudah muncul sebagai calon prajurit baru.
Anila melihat pria yang memiliki ketampanan mencolok itu, senyumnya yang secerah senja persis bagaimana penulis menggambarkannya dalam kalimat novel. Tinggi Kanath yang sama seperti Raven serta aura pahlawan yang bersinar dari diri pria itu.
Sudah pasti dia Kanath, si tokoh utama pria. Tinggal menunggu waktu dia dan Amara berbagi cinta.
Raven dan Anila berjalan melewati lapangan pelatihan itu. Para prajurit masih berbaris mendengarkan ultimatum dari prajurit senior pilihan Raven.
Mereka tidak menyadari kehadiran Raven dan Anila yang melintas di pinggir. Anila memperhatikan perawakan Kanath, masih tidak menyangka melihat karakter utama pria yang setampan Raven.
Kanath akan tumbuh kuat, lebih atau sama kuatnya dengan Raven. Dia akan melewati banyak hal serta kecurangan yang selalu diberikan Raven padanya.
Tapi, apakah Raven akan bersikap sama setelah Anila merubah banyak hal?
Anila mengingat baik-baik perawakan Kanath, atau tidak perlu, karena Amara dan Kanath akan sering bersama nanti.
"Anila ...." Raven memanggil wanita itu. Anila tidak menjawab karena larut dalam pikirannya sambil memandang kosong pada Kanath.
Raven berbalik.
"Anila Rembulan," ucap Raven sekali lagi dengan dingin.
Anila berkedip cepat dan segera menatap Raven. "Ah, ya?"
Raven berhenti melangkah. Dia melihat Kanath dengan matanya yang menggelap.
Tanpa berbicara, dia menarik lengan Anila dan membiarkan wanita itu berjalan di sampingnya.
"Rav?" cicit Anila ragu-ragu memanggil namanya.
"Kenapa kau melihat prajurit dekil itu?"
Dekil?! Anila tidak habis pikir.
Wajah Raven nampak tidak baik-baik saja. Seperti ada animasi asap di wajahnya yang mendung.
"Tidak, kupikir dia lebih baik dari yang lain?" Anila langsung membuat alasan agar Raven terkesan Anila memiliki mata yang hebat dalam melihat potensi orang-orang.
"Lebih baik?" sahut Raven dingin.
Anila justru melihat wajah Raven semakin keras. Apakah bahasa yang dia gunakan kurang profesional?
"Maksudku, lihat. Dia tampak tampan 'kan? Dan tingginya semapai. Tubuhnya tegap dan kokoh. Dia punya potensi karena di barisan nampak tenang dan tidak gugup." Anila buruk memilih kata dalam mempromosikan orang lain. "Dia juga sopan dan—"
"Aku akan menendangnya keluar dari barisan prajurit hari ini," potong Raven melotot pada punggung Kanath.
"Apa?!" Tanpa sadar Anila menaikkan oktaf suaranya.
Anila benar-benar bodoh! Sudah pasti Raven tidak menyukai Kanath sejak awal. Kenapa dia justru memuji Kanath? Benar, pasti Raven sudah memiliki sifat antagonis setelah bertemu saingannya.
"Tidak, jangan." Anila menepuk mulutnya. "Dia miskin. Haha."
Maafkan dirinya!
Ekspresi emosi Raven perlahan luntur, alisnya tidak berkerut lagi.
"Benar, aku lebih kaya dan lebih baik dalam segi manapun." Raven membalas dengan anggukan puas.
Kereta kuda menunggu mereka di depan gerbang istana.
"Yang Mulia akan pergi menyamar lagi?" tanya kusir.
Raven melirik sebentar pada wajah Anila. Dia tersenyum singkat, "Ya."
Anila ingin sekali menaruh firasat aneh dalam benaknya setelah melihat hal itu. Raven selalu penuh kejutan tak terduga. Dia jarang disorot saat melakukan kegiatan seperti ini di novel, Anila hanya dapat berpegang teguh bahwa Raven tidak akan melukainya.
Sejauh ini, Anila yakin dia mendapatkan kepercayaan Raven.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments