Pagi itu Anila membereskan kamarnya yang terletak di lantai dua asrama, lalu menyapa teman-teman satu lantai. Rasanya seperti pertama kali masuk kantor dan harus berkenalan dengan rekan-rekan baru agar hidup kantornya terasa damai.
"Pakai ini. Pastikan memasangnya dengan benar agar kau aman."
Wanita yang diketahui bernama Wesa itu memberikan baju prajurit yang tergantung di lemari Anila padanya.
Anila menyambut pakaiannya itu sambil menggaruk kepalanya bingung.
Wesa berdecak, dia mengambil kembali pakaian itu dari tangan Anila. "Biar aku bantu."
Setelah berpakaian dengan benar, Anila menerima pedang yang cukup tajam dan panjang dari Wesa.
"Eh." Anila terkejut saat Wesa melepas pegangan pedang itu, membuat Anila menjatuhkan ujung pedang.
Berat sekali!
Anila meneguk saliva. Susah payah tangannya mengangkat pedang itu dan berjalan mengikuti Wesa menuju lapangan berlatih.
"Perhatikan gerakan rekan-rekan kita dan tirulah yang menurutmu mudah dahulu." Wesa menunjuk pada salah satu prajurit yang sedang melakukan tusukan berulang-ulang tanpa lelah.
"Gerakan berulang seperti itu dapat membuatmu terbiasa dengan berat pedang, karena kau harus mampu membuat pedang tetap lurus agar dapat menusuk lawan."
Wesa mengangkat ujung pedang Anila di tanah dengan jarinya. "Tidak jatuh seperti ini. Kau harus mampu menyeimbangkan pedangnya agar bersahabat denganmu."
Anila mengangguk. "Aku harus berlatih menusuk?"
Wesa menggeleng. "Bukan itu."
Anila mengerutkan keningnya.
"Aku membahas tentang keseimbangan dan bersahabat dengan pedang," ucap Wesa sambil memperlihatkan cara dia mendirikan pedang di depannya. "Dirikan pedangmu dan berjalanlah. Dirikan pedang hingga ujungnya setara dengan matamu."
Anila mendirikan pedang itu dengan serius. Dia melangkah perlahan, berusaha agar tangannya yang gemetar tidak membuat pedang itu jatuh.
Anehnya, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang langsung merangsang pedang yang ia pegang. Anila dapat merasakan bahwa gagang pedang mulai terasa ringan, seperti otot lengannya mengencang.
Energi pemilik asli tubuh ini. Anila mulai menyatu dengan firasat itu.
Wesa termangu.
"Apa kau pernah berlatih sebelum ini?" tanya Wesa memegang bahu Anila.
Anila dengan cepat berpikir. Akan sangat aneh jika dirinya menjawab 'belum' karena dia mulai terbiasa dengan pedang tersebut. Sebagai orang normal yang baru belajar, Wesa akan curiga.
"Aku pernah mencobanya, tapi tidak mendalami ilmu bertarung." Anila membuat alasan.
Wanita di depannya menghela napas lega. "Ah, andai kau bilang dari awal. Baiklah, sekarang bergabung dengan prajurit pemula lainnya. Kau bisa belajar bersama mereka."
Anila mengiyakan ucapannya, dia segera berlari kecil untuk bergabung dengan kelompok itu.
Gelisah. Anila meniti sekitar.
"Fokus, Anila," ucap Amara yang sudah di depannya.
Anila tersentak, tersenyum konyol. "Maaf."
Anila meniru teman-temannya, dia mengulang gerakan menusuk dengan pose yang canggung. Perlahan-lahan dia juga mengangkat pedangnya seakan menusuk sesuatu di bawah tanah. Terkadang Anila akan menyeka keringatnya, dan melihat gaya latihan baru dari yang lain.
Selama seminggu Anila tinggal di sana tidak ada kemajuan. Hal ini membuat Anila frustrasi, dia juga mulai menulis informasi yang dapat dia ingat dari volume dua novel itu.
"Aku tidak membaca volume satunya!" Anila berdecak sembari meletakkan tintanya dengan gusar di atas meja.
Volume dua novel itu menceritakan tentang perjuangan Amara sebagai ketua asrama prajurit wanita dan kemudian bertemu dengan prajurit pria yang baru direkrut dan memiliki paras tampan.
"Volume satunya pasti bercerita tentang masa lalu Amara dan kisahnya sebagai prajurit wanita biasa."
Begitulah Anila menyimpulkannya.
Anila lantas mencoret kesal kertas kosong lainnya untuk melampiaskan kebuntuannya dalam mencari putra mahkota. Dia dekat dan tinggal di istana, tapi kenapa Anila tidak bisa melihatnya?
Wanita itu membuka jendela dan berniat melempar kertasnya ke dalam karung sampah yang ada di luar jendela.
"Ashh ...." Seseorang meringis dengan suara mendidih kesal.
Anila tersentak, dia membuka lebar jendelanya dan melihat ke bawah, lalu mendapati bahwa seorang pria sedang berjongkok sembari memegang kepalanya.
Tidak ingin mengganggu teman-temannya yang sudah tidur, Anila berbisik dengan suara yang cukup didengar oleh telinga pria itu.
"Maafkan aku, apa itu sakit?" tanya Anila.
Bodoh. itu hanya sebuah kertas remuk untuk apa Anila menanyakan hal itu?
Pria dengan mata sebiru lautan itu lantas mendongak ke jendela atas dan berhasil bertatapan dengan mata hitam miliknya. Anila cegukan, dia!
Pria itu sadar bahwa Anila mengenalinya, kemudian dia menyeringai. "Kau, aku tandai."
Mata Anila membulat, tubuhnya merinding. Lagipula, beraninya dia berkeliaran di luar asrama wanita?
Benar. Itu Raven Nabastala. Orang yang Anila cari dan harus ia cintai.
Pria itu merapatkan jubah hitam miliknya, netranya bahkan masih berkobar menilik mata Anila.
Raven membuang wajahnya, segera hilang di telan kegelapan saat itu juga. Anila hendak berteriak, dia ingin memanggilnya tapi terlalu segan. Sosok dari tokoh antagonis yang dimiliki Raven sangat terlihat.
"Ini sial atau keberuntungan?" monolog Anila sambil menarik anak rambutnya gusar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amara berlarian membuka pintu kamar Anila keesokan paginya. Sosoknya sangat berantakan, bahkan Anila tidak yakin apakah dia sudah mandi atau belum dapat dilihat dari rambut kusutnya yang mencuat.
"Anila apa yang kaulakukan?" tanya Amara gelisah.
"Apa?" Anila berusaha tidak mengerti, dia tahu Raven selalu tidak sabaran. Anila harus memiliki mental yang kuat untuk itu.
"Putra mahkota mencarimu. Dia mencarimu!" ungkap Amara yang sudah dapat ditebak oleh Anila. Amara menggoyangkan tubuhnya panik.
Anila memegang bahu Amara. "Aku akan baik-baik saja."
"Kau sudah tahu masalahmu dengannya?" Amara tidak habis pikir.
"Aku akan segera kembali." Anila melambaikan tangannya ada Amara, dia membawa pedang juga di sisinya.
"Kau harus mandi."
"Aku sudah mandi." Anila tersenyum lebar menampilkan deretan gigi rapinya. Bangun pagi dan pergi ke kantor adalah makanan sehari-harinya, apalagi hanya ini.
"Apa kau ingat menuju tempat putra mahkota?" tanya Amara khawatir.
"Aku masih ingat. Lanjutkan tidurmu, Mara." Anila mendorong punggung Amara ke depan pintu asrama yang berjarak tiga kamar dari miliknya.
"Tapi—"
"Aku pasti kembali," kata Anila menenangkan Amara.
"Dia monster, La." Amara menatapnya lamat-lamat.
"Dia putra mahkota, dan kita tau itulah dirinya," balas Anila tenang. Nyatanya, jantungnya juga berdegup kencang karena memikirkan nasibnya setelah ini.
"Aku bisa menemanimu," tawar Amara.
"Kau sudah lelah bekerja kemarin, sekarang adalah waktu liburmu. Kau harus istirahat," tolak Anila.
"Anila ...."
"Mara," tegas Anila sambil menggeleng. "Jangan khawatirkan aku."
Amara menghela napas. "Tolong jangan membalas ucapan putra mahkota apapun yang dia katakan. Kau bisa dalam bahaya, mengerti?"
Setelah mendengar nasehat Amara, dia segera menuruni tangga asrama dan pergi keluar menuju pintu istana yang dijaga oleh dua prajurit pria yang ia kenali.
Prajurit itu saling memandang, sebelum menyingkirkan tombak mereka yang menghalangi jalan Anila.
Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara padanya.
Anila kembali berjalan, mengetuk pintu ukir yang tidak pernah ia sentuh. Inilah ruang kerja milik putra mahkota.
"Masuk." Suara berat dan dingin menyapanya.
Pertama kali melangkahkan kaki di ruangan itu, Anila hanya bisa merinding. Hawa yang dimiliki putra mahkota benar-benar mendominasi ruangan ini. Lantas wanita itu berdiri tegap dengan wajah tak kenal takut di hadapan Raven.
Raven menyipitkan matanya yang tajam. "Kau sangat berani menatapku langsung."
Jangan dijawab.
"Diam? menarik. Kau masih mencari jalan aman." Raven menurunkan pena di tangannya.
Kaki Anila gemetar. "Saya menerima panggilan Anda, Putra Mahkota."
Ruangan sunyi sejenak.
Raven mengangguk. Pria itu bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Anila. Terlalu dekat, Anila segera menurunkan matanya.
"Tatap aku."
Mata Anila gelisah kesana kemari.
"Anila Rembulan, tatap aku."
Anila terkejut, dia tidak pernah menyebutkan nama belakangnya pada siapapun termasuk Amara. Hal itu membuat Anila mendongak melihat wajah pahatan terindah sedang ada di depannya.
Mata Raven sedingin es. "Jangan tatap yang lain, hanya diriku. Di sini."
"Putra mahkota ... bagaimana bisa?" Lidah Anila kelu untuk bertanya secara benar.
"Namamu?"
Anila mengangguk.
Raven menyentuh ujung rambut panjangnya yang tergerai. "Orang yang menjualmu."
[**Peringatan!]
Kisahmu dimuat**.
Anila meneguk saliva, kini tubuh ini memiliki identitas nama yang sama seperti dirinya.
"Menjualku?"
Raven mengambil langkah mundur, dia bersandar di tepi jendela dengan tangan yang terlipat. "Bukankah lucu kau bertindak seberani ini sedangkan aku membelimu."
Anila mengepalkan tangan.
"Aku tidak pernah mau dijual."
Raven mendekat, dan mendorong anak rambut Anila ke belakang telinganya dengan lembut. "Dunia milik orang-orang yang berkuasa."
Anila menepis tangan itu. Giginya merapat kesal.
"Aku tahu kau orang seperti ini, Anila," bisik Raven seakan dia puas dengan tindakannya.
Anila tidak tahu apa yang ada dipikiran Raven saat ini. Anila hanya tahu Raven kehilangan akal sehatnya ketika penulis memutuskan untuk membuat sifat buruk menempel pada pria ini.
"Silakan kembali besok jika kau berminat." Raven memutar balik tubuhnya dan kembali duduk dengan tenang di meja kerja miliknya.
Apa yang dia bicarakan? Anila menyipitkan mata. Bagaimana bisa aku mencintai orang seperti ini?
Takdir sedang bermain dengan Anila.
"Terima kasih, tapi saya tidak berminat." Anila berjalan meninggalkan ruangan itu dengan otaknya yang terasa membengkak.
Pria itu menikmati permainan yang sedang ia buat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments