Anila menatap mata gadis kecil itu dalam diam. Lalu melihat kembali kepada Raven, seakan bertanya-tanya untuk apa mereka menjemput gadis ini.
Pak tua di hadapan mereka tertawa terbahak-bahak. Dia menjambak rambut gadis kecil itu dan menyeretnya ke hadapan mereka. Gadis itu hanya bisa meringis dan menatap mata Anila balik, dia sangat tersiksa nampak banyak memar yang menempel pada tubuhnya.
Anila tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menatap Raven. Pria itu melakukan hal yang sama dengannya, yaitu melihat wajah gadis kecil yang kesakitan. Raven melangkah lebih dekat kepadanya bicara dengan suara lirih pada gadis itu.
"Semoga kita bisa bekerja sama," ucapnya.
Raven lantas memegang pergelangan tangan gadis tersebut dan dia menarik Anila bersamaan untuk keluar dari tempat itu.
Mereka kembali melewati jalan tikus dan Anila hanya bisa diam melihat gadis itu yang terus mengikuti langkah besarnya Raven. Gadis kecil itu bahkan tidak mengeluh tetapi matanya terlihat sangat lelah, Anila merasa ada yang aneh. Jika benar gadis itu dibeli oleh Raven pada awal cerita ini, kenapa dia bisa bertemu dengan tokoh utama Amara?
Seakan pemandangan yang normal melihat anak kecil yang penuh memar, orang-orang di pasar itu tidak ingin ambil peduli. Mereka hanya melewati Raven dan Anila yang menyeretnya.
Raven kemudian membawa mereka ke sebuah bangunan. Bangunan itu cukup tua namun menjadi tempat duduk-duduk para pria-pria mabuk di sana.
"Untuk apa kita ke sini sekarang?" Anila bertanya setelah lama memendam kata dalam mulutnya. Dia cukup geram melihat kondisi anak gadis yang Raven bawa.
Raven melirik Anila. "Kau harus merahasiakan kejadian ini. Apapun yang kaulihat, kau harus menyimpannya untuk diri sendiri. Mengerti?"
Anila hendak membalas sebelum gadis bermata merah itu menarik ujung jubah Anila. Matanya masih bersinar terang menghantam pupil Anila.
"Kakak-kakak ... terima kasih." Gadis itu akhirnya membuka suara.
Raven mengacak rambut anak itu. Dia mengalihkan pandangan menuju sekumpulan pria. "Yang kutahu, Amara hari ini berkeliling kota. Apa aku benar?"
"Benar, Yang Mulia." Anila menjawab lirih. Kali ini, Raven menyerahkan tangan mungil itu pada Anila.
"Kau jaga dia sebentar." Raven semakin menarik tudung jubahnya untuk merapat pada wajah. Dia berjalan santai pada kelompok pria itu. Anila bahkan tidak yakin apakah mereka masih memiliki akal, melihat banyak botol berserakan.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Anila berlutut, mensejajarkan matanya dengan gadis berumur sepuluh tahun itu. Meskipun Anila tahu, dia ingin mendengar suara manis itu lagi.
"Rose ...." Ragu-ragu Rose menjawab tenang.
Anila tersenyum. "Rose. Sangat cantik."
Ada tatapan lega yang jatuh di dalam mata Rose. Mereka berdua melihat dari luar bangunan, bagaimana Raven berbicara dengan seseorang yang memiliki banyak tato di lengannya.
"Ini bukan tempat yang harusnya kau lihat. Maafkan aku." Anila memberikan tepukan di bahu kurus Rose.
Rose menggeleng. "Aku pernah melihat tempat yang lebih menyeramkan dari ini, Kak."
Rose adalah salah satu karakter yang banyak memiliki luka. Dia adalah anak yang kehilangan ibunya, ayahnya yang pergi mendadak, dan hidupnya sempat menjadi budak.
Tubuh sekecil ini berperang melawan dunia sendirian.
Raven kembali. Dia kali ini mengajak Rose bersamanya untuk masuk. "Anila, kau berjaga di bangunan seberang."
"Apa? Apa yang kau rencanakan?" sergah Anila. Dia butuh penjelasan yang cukup untuk mempersiapkan kemungkinan yang berubah dari rencana Raven.
"Bangunan ini akan runtuh. Aku bisa menyelamatkan diri dan kau carilah tempat untuk mengawasi seseorang yang akan datang." Penjelasan itu tidak mampu Anila terima.
Wanita itu membiarkan Rose masuk ke dalam bangunan bersama Raven. Anila bergegas berlarian menuju bangunan seberang yang tak berpenghuni.
"Raven, kau harus menjelaskan ini setelah selesai," gumam Anila setelah dia berhasil menempati posisi.
Bangunan itu berasap, semua pemabuk lari sempoyongan berusaha menyelamatkan diri. Anila merasakan napasnya tercekat, dia terkejut melihat bangunan itu benar-benar perlahan runtuh dengan mengerikan.
Dari tempat ini, Anila bisa melihat Raven berlarian dengan sebotol anggur di tangannya. Pria itu memiliki ekspresi yang datar, dia melemparkan botol kaca itu pada Anila.
Anila menangkapnya dengan gesit. "Di mana Rose?!"
Raven menyeka debu di jubahnya. "Perhatikan, aku meninggalkannya di sana."
Jantung Anila berdebar dengan kencang. Dia dapat melihat asap-asap itu perlahan menggumpal dan menelan siluet Rose yang ingin ditimpa batu bata yang runtuh.
"Apa kau gila?" Anila hendak berlarian menuju sosok kecil itu. Namun Raven menarik tubuhnya untuk tetap di posisi tak terlihat.
"Aku memerintahkanmu untuk menunggu dan mengawasi seseorang datang kan?" Raven berbisik dengan tajam. "Jangan coba-coba meninggalkanku. Aku yang menjadi prioritasmu."
Anila menggigil dengan suara itu. Dia kemudian menyadari terjadi kekacauan dari suatu tempat. Seseorang dengan gagah mengendarai kuda, menarik pedang dan berlarian memeluk Rose agar terhindar dari reruntuhan.
Rambut itu lurus yang berkilau itu, Anila mengenalinya.
Bagaimana Anila bisa sangat bodoh?
"Amara ...?" Anila memanggil nama itu lirih.
Raven menyeringai. "Oh, ternyata begitu wajah Amara."
"Apa kau memanfaatkan gadis itu?" kata Anila sembari berusaha melepaskan tangan Raven yang semakin erat.
"Para pemberontak akan merepotkan prajurit. Mereka akan memilih titik-titik secara acak. Aku hanya memanfaatkan keadaan itu." Raven menjawab. "Mereka kemarin membunuh anak-anak. Hari ini para prajurit berkumpul melindungi anak-anak. Mereka memutuskan untuk meledakkan tempat lain yang tidak dijaga. Salah satunya adalah ini."
Anila sekarang tahu bagaimana Raven bisa mencapai puncak sebagai tokoh jahat yang kuat. Selama ini Anila hanya mengerti dia licik. Tidak, dia berpotensi dan cerdik. Lalu menjadi bodoh setelah terobsesi dengan Amara.
Alur yang tidak Anila ketahui.
Jadi, kejadian perburuan di hutan bukanlah pertama kalinya Raven melihat Amara. Pertemuan Amara dan Rose bukan tidak disengaja, tapi direncanakan.
"Bagaimana dengan Rose?" Anila mengeluarkan pertanyaan lain.
"Dia akan baik-baik saja. Daripada membawanya sebagai budak ke istana, dia lebih baik dibawa sebagai korban pemberontakan." Raven melihat langit. "Ayo kita kembali."
Apakah Raven tahu jika Rose memiliki bakat sihir? Anila menggosok telapak tangannya, pikiran itu melayang ke mana-mana ketika mereka kembali menelusuri jalan tikus untuk pulang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anila melepas jubah hitamnya setelah mereka sampai di kandang kuda. Begitu pula Raven yang sudah merapikan rambutnya dengan tenang, pisau yang mereka bawa ternyata sia-sia.
Kali ini Raven memasuki istana. Para pelayan menunduk hormat dan membiarkan pria itu berjalan tanpa hambatan.
[Kamu merasa sedikit kagum padanya]
Anila mendelik dengan layar mengambang yang tiba-tiba muncul ketika dia mengawal Raven menuju suatu tempat.
Kagum?
Anila bahkan kesal dengan sistem yang nampaknya juga bisa membaca pikirannya. Namun, Anila tidak yakin. Benarkah dia kagum?
Memutuskan pikiran Anila, mereka sampai di depan suatu ruangan.
"Kalau kau tidak tahu, ini ruang kerja raja." Raven memberitahu bahkan sebelum Anila bertanya.
"Aku akan menunggu di luar." Anila bersiap mundur.
"Apa aku memintamu tinggal di luar?" cegat Raven.
Anila menahan erangan yang keluar dari mulutnya. "Sangat tidak sopan jika saya—"
"Ingat kontrak kita." Raven berkata dengan tidak peduli. Dia mendorong pintu tanpa mengetuk. Raja dengan wajah yang memiliki kerutan itu terlihat menajam menatap putranya.
Ragu-ragu Anila melangkah di belakang Raven. Pintu tertutup.
Sunyi.
"Pemberontakan merajalela." Raja membuka suara tanpa basa-basi.
Raven mengangkat kepalanya dengan tegas. "Saya sudah tahu."
"Jangan melakukan sesuatu yang membuat kita dalam masalah besar, Raven." Raja sangat mengenal putranya.
Dia sudah melakukannya, batin Anila jika bisa dia akan menepuk jidatnya saat ini.
"Raja tenang saja. Saya tidak akan membuat itu kacau."
Raja diam sejenak. "Kau ternyata sudah melakukan sesuatu."
Raja melepaskan kacamata yang bertengger di batang hidungnya dengan suara letih. "Hanya dalam satu jam kau pergi dan merencanakan sesuatu dengan sembarangan."
"Daripada Anda, tidak melakukan apa-apa."
Anila tersedak tanpa suara. Dia memastikan bahwa telinganya mendengar hal yang benar dari mulut menyebalkan Raven Nabastala.
Raja bahkan tidak mengatakan hal apapun. Anila cukup bersimpati, dan mengutuk Raven yang seperti itu.
"Siapa yang akan menemanimu berburu tahun ini?" Akhirnya, Raja mengalihkan pembicaraan.
Raven mengangkat tangan dan menunjuk Anila dengan jempolnya. "Kupikir membawanya ke sini cukup untuk tidak membuatmu bertanya."
"Kau tidak mempertimbangkan ketua asrama prajurit wanita atau pria? Mereka lebih dari mampu."
Raven tidak menjawab.
Raja mengangguk pasrah. "Aku hanya ingin kau mengambil ini."
Pria paruh baya itu mengeluarkan selembar kertas. "Ini tentang keturunan penyihir."
Anila bisa merasakan aura Raven menjadi lebih rileks setelah membaca apa yang tertulis dalam kertas tersebut. Dia tersenyum mencurigakan.
"Rose." Raven menyebutkan nama itu. Anila cukup mengerti. "Anila, kita punya tugas lain selain berburu nanti."
Lalu begitulah, Anila dan Raven bersiap untuk menggemparkan acara berburu yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments