Seluruh prajurit membungkuk hormat dalam sepanjang jalan Raven menaiki tangga istana. Dia menuju singgana sang raja yang sedang melakukan rapat dengan para mentrinya.
"Katakan pada raja, aku menunggunya." Raven berbicara pada penjaga pintu.
"Maaf, Yang Mulia. Raja tidak ingin diganggu sekarang." Penjaga itu membalas dengan sopan.
Hembusan napas keluar dari mulut Raven. "Buka pintunya kalau begitu."
"Maaf, Yang Mulia. Raja—"
Pintu terbuka ditarik oleh pengawal yang menjaga di dalam ruangan. Raja dan mentrinya berdiri bersebelahan masih membahas sesuatu.
Saat melihat Raven yang berdiri menghalangi jalan, raja hanya dapat terkejut.
"Kau sudah pulang?" tanya raja dengan wajah bingung.
"Seperti yang Anda lihat?" Raven mengangkat bahunya tidak peduli.
"Kau bilang akan pergi berhari-hari ...." Raja mengucapkan itu dengan lirih. Dia kemudian mengangkat tangan pada para mentri. "Kita rapat lagi nanti."
Mentri saling menatap, lalu mengangguk. Mereka menyapa Raven singkat dan melangkah cepat menjauhi si putra mahkota yang disegani.
"Apa yang akan kau laporkan padaku?" tanya raja berjalan bersebelahan dengan putranya.
"Tidak ada."
Raja berhenti melangkah, dia menatap wajah Raven dengan datar.
"Saya hanya mengabarkan, jika saya sudah kembali," ucap Raven ringan.
"Baik. Selamat kembali ke istana." Raja menyahut cepat.
Raven terkekeh. Dia segera pergi lebih dulu, belok menuju kamarnya untuk segera istirahat. Kira-kira bagaimana besok dia dan Anila akan makan bersama? Di mana?
Raven hanya mengajak tanpa berpikir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anila berdiri kaku di kelilingi oleh teman-temannya. Mereka semua berkacak pinggang menatap Anila dengan pandangan menyelidik.
"Kau selalu menghilang, An." Amara menarik napas jengkel. "Talita panik mencarimu, kau tahu?"
Anila menggaruk kepalanya. "Maaf. Putra mahkota benar-benar merencanakannya sendirian. Aku tidak sempat memberitahu."
Wesa berdecak. "Wow. Lihat Amara? Dia dan putra mahkota benar-benar cocok satu sama lain."
"Tidak ada di antara kita yang mampu menangani orang seperti itu." Talita mengangguk.
"Bukan seperti itu." Anila cepat-cepat menambahi, "Aku 'kan pengawal pribadinya, dia jadi semena-mena dengan itu."
"Dia menyukaimu." Amara berujar sumringah. "Cintamu terbalas!"
Anila menepuk jidatnya.
"Sudah-sudah. Biarkan Anila istirahat hari ini. Besok kau harus mengawal si putra mahkota lagi 'kan?" tanya Wesa melihat pada wajah Anila yang lelah.
"Besok aku akan lebih banyak waktu untuk latihan bersama." Anila tersenyum. "Tapi sebelum itu, aku punya janji dengan putra mahkota."
Segera setelah itu siulan menggoda keluar dari mulut teman-temannya. Anila mendengus.
"Ayo kita pergi latihan dan biarkan Anila istirahat." Amara tertawa menyadari wajah malu Anila, menurutnya.
Semua setuju dan meninggalkan Anila di kamarnya bersama keheningan. Anila menatap jendela, langit masih terlihat cerah.
Wanita itu segera membersihkan diri dan melihat pakaian tidurnya yang masih baru. Itu ganti rugi sementara dari Raven. Dia bilang, beberapa pakaian akan menyusul.
Anila menyugar rambut panjangnya, dia segera mengenakan gaun tidur putih itu dan segera menutup jendela. Dia membenamkan wajahnya di bantal, lalu menarik selimut untuk tidur.
Anila butuh tidur. Dia sangat lelah.
Tak lama, kantuk menyerangnya dan Anila terlelap. Napasnya turun dan naik secara teratur, Anila merasa tulang-tulangnya lunglai dan tubuhnya terangkat di udara.
Sangat nyaman, ini tidur terbaiknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ah, di mana Anila sekarang?
Kantor?
Anila memandang sekitarnya. Banyak rekan kerja membawa tumpukan kertas yang sangat tinggi. Beberapa di antara mereka memiliki kantung mata yang menghitam, namun mereka terus bekerja di kubikel menatap komputer yang menyala.
Anila menatap jam dinding kantornya, itu pukul sepuluh malam.
"Maya?" Anila menghampiri kubikel Maya. Maya sedang menegak segelas kopi dan memijit pangkal hidungnya dengan guratan letih.
Seperti tak mendengar atau melihat Anila, Maya mengeluh. "Bisa-bisa sepanjang hidupku hanya bekerja di sini! Menderita!"
Keluhan itu lagi. Anila sudah sering mendengarnya mengeluh, syukurlah Maya masih sayang dengan gaji besar yang ditawarkan bos mereka.
Kini Anila beralih di kubikel rekannya yang lain.
"Eh, ini bukan kubikel John." Anila mengerutkan keningnya saat melihat laki-laki kurus duduk di kubikel bukan miliknya.
John sedang berjuang dengan beberapa tumpukan kertas.
Seorang wanita dengan rok pendek menepuk bahu John. "Tolong ya, John. Aku benar-benar harus mengurus bibiku yang sakit."
Oh. Anila menatap datar pada wanita dengan lipstik merah itu.
John tersenyum malu-malu dan mengangguk. "Serahkan padaku, Icha. Aku akan menyelesaikannya tepat waktu."
Anila mengerang dalam batinnya, mengasihani sifat naif milik John.
Anila melewati kaca besar kantornya, dia berdiri di sana, menatap tubuhnya yang masih dibaluti gaun tidur.
"Apa yang terjadi padaku?" Anila bermonolog menyentuh wajahnya dengan tatapan bingung.
Dia kembali menelusuri kantor yang masih dia ingat jelas koridornya. Anila lantas melangkah menuju ruangan bosnya, jika Anila tidak terlihat, maka Anila bisa bebas berkeliaran di sini.
Apakah ini mimpi? Entahlah, Anila merasa dia bahkan tidak bisa bangun dari mimpi ini.
Anila melihat bosnya, memakai bingkai kacamata sedang bolak balik membaca buku. Wajahnya yang memiliki garis tegas adalah ciri khas yang Anila kagumi.
Anila menarik kakinya untuk terus mendekat. Dia mengintip buku apa yang sedang dibaca oleh bosnya, Raven.
Anila megangguk, itu buku tentang bisnis. Anila melangkah keluar dari ruangan Raven, namun sebuah suara menghentikannya.
"Anila?"
Tubuh Anila membeku. Bukankah dia tidak terlihat?
Anila berbalik, dia melihat Raven mendekat. Kali ini memakai pakaian tidur kerajaannya.
"Apa?" Anila membeo.
"Kenapa ... kau di sini?" Raven menatapnya dari atas ke bawah.
Anila berkedip-kedip, dia melangkah mundur dengan bingung. Matanya bergerak meniti sekitar.
"Ini kamarku." Raven menghela napas. "Apa yang kau lakukan tiba-tiba mendorong pintu kamarku?"
"Aku tidak akan bertanya di mana kau tahu tidak ada penjaga kamarku malam ini, tapi kau cukup berani datang dengan gaun tidur?" Raven memiringkan kepalanya.
Anila menggigil. Kenapa dia sampai di sini?
"Aku ... Saya ...." Anila melihat ke belakang dengan gugup. Benar, dia melihat pintu kamar Raven terbuka. Dia berada tepat di depan pintu memasuki kamar Raven.
"Mulai sekarang berbicaralah dengan santai," sela Raven.
[Pendekatanmu terlalu lambat! Izinkan sistem menuntunmu.]
Anila ingin memukul layar yang muncul di depannya. Menyebalkan, sistem mulai mengaturnya.
"Kita bertemu besok jika kau ingin berbicara hal penting." Raven berjalan mendekat, dia memegang bahu telanjang Anila yang mendingin.
"Jangan berlama-lama di sini. Aku antar kau pulang." Raven menarik tangan Anila dan mereka berjalan melintas koridor.
"Maafkan aku, aku tidur berjalan," cetus Anila.
"Ke kamarku?" balas Raven terkekeh.
Gedung asrama dan istana utama, keduanya terpisah oleh taman. Anila hanya bisa mengutuk dalam hati pada sistem yang membuatnya seperti ini.
Di sisi lain, Amara keluar dari kamarnya untuk mengambil seteguk air karena haus. Wanita cantik itu berhenti di depan jendela dapur yang mengarah langsung ke taman.
Mata Amara menyipit saat mengenali rambut gelombang hitam yang dia kenali sedang bersama sosok pria yang memakai pakaian tidur putih.
Saat sadar, Amara melotot dan segera mengetuk pintu kamar Wesa.
"Apa yang kau lakukan?!" Wesa menggaruk kepalanya setelah membuka pintu.
"Ssstt. Kau akan mengerti jika melihat ke dapur." Amara menarik lengan Wesa.
Amara memegang wajah Wesa dan memintanya melihat ke taman. Wesa melakukan hal sama seperti yang dilakukan Amara beberapa waktu lalu, melotot.
"Mereka berkencan!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anila meneguk salivanya dengan gugup. "Aku akan pergi ke asrama sendiri, Yang Mulia."
"Panggil namaku seperti di desa saat itu." Raven menatap mata Anila yang memantulkan sinar rembulan.
"Aku akan pergi ke asrama sendiri, Rav ...." Ragu-ragu Anila merasa asing harus menyebut nama bosnya.
"Tidak," balas Raven enteng.
[Cium putra mahkota]
Anila menjerit dalam batinnya. Gila! Sistem ini gila!
"Aku harus tidur, kau juga." Anila dengan cepat menolak. Dia mengangkat sedikit gaun putihnya dan berlarian menuju gedung asrama.
Anila harus menjauh dari Raven sebelum sistem semakin aneh!
Raven tertawa pendek, dia tidak tahu apa yang membuat Anila panik seperti itu. Senyumnya perlahan luntur saat punggung wanita itu hilang di telan pintu asrama.
"Aku bisa gila." Raven berbalik dan berjalan menuju istana dengan telinganya yang memerah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments