Anila dan Raven bertemu di satu titik. Mereka sampai di kuil terbengkalai, dekat danau yang penuh lumut dan daun teratai yang mengambang.
"Ada jejak," ucap Anila berjongkok di tanah yang lembab.
Tatapan Raven menajam, dia berjalan lebih dulu diikuti Anila yang mengeluarkan pisau sejatinya.
Pintu kuil yang tua, Raven tendang dengan sekuat tenaga hingga terbuka lebar. Anila mengangkat senjatanya sambil melangkah masuk bersama Raven.
"Tempat ini satu-satunya yang belum kita lihat." Anila berbisik.
"Nil, bantu aku merobohkan ini." Raven memegang pintu kuil.
"Ya?" Anila mendekat dengan bingung. "Dirobohkan?"
"Lebih aman jika pintunya roboh dan rusak," ucap Raven. "Seseorang tidak bisa mengunci kita dari luar."
Anila dan Raven segera menendang pintu bersamaan. Satu sayap pintu roboh menghasilkan kebisingan di seluruh kuil hingga bergema.
Setelah itu, mereka kembali merobohkan satu sayap lainnya. Melihat kuil sudah terbuka tanpa pintu, Anila dan Raven lanjut memasuki kuil itu lebih dalam.
"Tidak mungkin mereka tidak menyadari kehadiran kita setelah mendengar banyak kebisingan." Anila berkata lirih.
Raven melangkah lebih cepat. Anila tetap menjaga jarak untuk memastikan keamanan Raven. "Pelan-pelanlah, Rav."
Raven tersenyum miring. "Tidak perlu, kita sudah menunjukkan pada mereka bahwa kita datang."
Raven dan Anila berdiri di tengah ruangan yang besar. Sinar matahari langsung jatuh tepat di atas kepala mereka.
"Selamat datang, tamu undangan!"
Anila tersentak. Dia segera memutar kepala melihat sosok wanita yang dia kenal. Rambut merah berkibar seperti terakhir kali dia melihatnya. Mata tajam dan cantik itu menatap lurus pada manik Anila.
"Kepada Putra Mahkota yang terhormat, dan pengawalnya yang setia, aku sambut kalian dengan suka cita."
Anila mencengkeram gagang pisaunya dengan rasa gelisah. Dia masih dihantui bayang-bayang Natara yang menyudutkannya.
Sebelum Natara melanjutkan kalimatnya, Anila hanya dapat terkejut ketika Natara dipukul keras dan menghantam tembok hingga retakan timbul.
Raven mencekik Natara di dinding tanpa belas kasihan.
"Rav ...?!" Anila terpekik saat Natara batuk berdarah. Namun, senyum mengerikan terpampang di wajah wanita itu.
Apa yang terjadi? Anila hanya dapat membeku dan merasa tidak berguna.
Raven melepas cengkeramannya, Natara jatuh merosot ke lantai.
Tak lama, percikan muncul dari tubuh Natara yang tak sadarkan diri. Penglihatan Anila dibersihkan, kini wajah Natara yang dia lihat, berganti dengan wajah seorang anak laki-laki penuh memar.
Anila bergetar. "Apa?"
Wanita itu tidak bisa memperoses kejadian yang dia saksikan. Terlalu tiba-tiba dan tidak bisa dicerna dengan baik.
"Dia menggunakan jasad anak ini untuk bersemayam sementara." Raven menggeram.
"Jasad?" Anila menyentuh pipi kurus dan dingin anak itu. Wajahnya pucat seperti sudah lama diawetkan. "Kejam."
Kata itu lolos dari mulut Anila.
"Lalu anak yang bermain saat itu? Yang kita lihat?" Anila bertubi-tubi mencetuskan pertanyaan. Dia menggendong tubuh rapuh milik anak itu dengan kaki yang tidak sanggup ia topang. Rasanya lemas membayangkan apa yang terjadi pada anak ini.
"Mungkin—"
Sebelum Raven dapat menjawab, seorang pria menyusul mereka ketika Raven dan Anila berbicara sambil keluar dari kuil.
Dia penjual bunga.
"Saya mencari kalian ke mana-mana." Napasnya terhenti ketika melihat sosok yang Anila gendong.
"A-apa? Tidak ada anak yang hilang!" cetusnya.
"Bisa jelaskan, Pak?" tanya Anila menuntut.
"Dari awal, saya melihat anak-anak bermain, berempat, tidak berlima. Saya kaget saat mereka ricuh kehilangan satu teman mereka. Sedangkan sejak awal, tidak ada siapapun bersama mereka." Penjual bunga merasakan tubuhnya merinding.
Anila dan Raven saling menatap saat mengetahui itu.
"Saya pikir, saya harus memberitahu kalian karena anak-anak mungkin jahil." Pria itu membasahi tenggorokannya yang kering. "T-tapi, ini ...."
Tangan kurusnya menunjuk sosok anak dalam gendongan Anila dengan tatapan horor.
Tubuh pria itu limbung, Raven segera menangkapnya sebelum jatuh ke tanah. Dia membawa pria itu di belakang tubuhnya dan segera mereka melanjutkan langkah kembali.
"Dari awal, kita adalah targetnya," kata Raven.
Anila mencium pucuk kepala anak itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. "Maaf baru menemukanmu setelah selama ini," ucapnya ngilu.
Setelah mencari keluarga dari anak itu, sang ibu berlarian dengan tangis dan kantung matanya yang menghitam. Dia menciun wajah putranya berkali-kali dan memintanya untuk hidup kembali.
Anila lagi-lagi harus melihat hal ini.
"Dia putraku satu-satunya!" Ibu itu memeluk tubuh putranya yang terbujur kaku. "Kembalikan dia, kembalikan dia."
Tetangga ibu itu berusaha menenangkan suasana hati sang ibu. Memintanya agar merelakan kepergian sang anak yang tragis. Akhirnya, beberapa tetangga meminta Raven dan Anila untuk pergi agar sang ibu tidak melihat sosok mereka yang membawa anaknya.
Raven dan Anila meninggalkan perkarangan rumah itu, mereka juga menyadarkan penjual bunga. Penjual bunga menganggap itu mimpi dan menyengir meminta maaf karena telah tertidur.
Itu lebih baik bagi warga biasa untuk tidak terlibat lebih jauh, kata Raven seperti itu.
"Hari cutimu batal." Raven mengangkat suara ketika mereka di kereta kuda untuk pulang.
"Apa?!"
Pria ini benar-benar keterlaluan, Anila mengomel dalam hati.
"Kau harus menjelaskan kenapa wanita jahat itu mengenalmu dan sebaliknya." Raven berucap tegas. "Aku tidak akan menerima kebohongan."
Anila meneguk salivanya.
Bagaimana sekarang?
Anila berpikir keras sambil menatap matahari terbenam. Mungkin malam hari, mereka akan tiba di istana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amara menjatuhkan sendoknya.
"Pagi tadi aku melihatmu berdandan cantik dan bersih. Pulang-pulang kau penuh bercak darah ...."
Anila terkekeh. "Ada kejadian mendesak."
Dia selamat dari interogasi Raven karena raja memanggilnya ketika mereka sampai di depan gerbang.
Wesa tersenyum menggoda. "Anila, apakah kau tahu ada prajurit baru?"
"Wesa!" ancam Amara seakan tahu apa yang ingin dikatakan temannya.
"Apa, Mara?" Wesa membalas dengan wajah menantang. Dia menaik turunkan alisnya. "Sepertinya pria yang tampan di barisan itu selalu melirik pada Amara."
Dengan wajah yang memerah, Amara meletakkan sendoknya dan pergi ke kamarnya.
Wesa tertawa puas. "Aku serius, An. Sepertinya pria itu tertarik dengan ketua asrama kita."
"Maksudmu, pria itu Kanath?" tanya Anila memastikan sambil ikut tertawa kecil.
Wesa tampak terkejut. Dia berteriak ke arah kamar Amara. "Kau dengar itu, Mara? Kekasihnya putra mahkota bilang namanya Kanath! Ingat itu, Mara! Besok sapalah dia!"
"Wesa! Diam!" balas Amara dari dalam kamarnya.
Kini, giliran Anila yang tersentak. "Aku tidak punya hubungan dengan putra mahkota!"
"Belum," koreksi Wesa cekikikan dan melarikan diri keluar dari gedung asrama.
Anila mendengus.
[Pendekatan terlalu lambat! Apakah Anda ingin sistem membantu? Pilih!]
.
[Ya | Tentu saja]
Anila semakin jengkel melihat benda melayang ini. "Aku tidak ingin. Aku ingin istirahat!"
[Ya!]
[Terima kasih, sistem memproses... ]
Anila melotot dengan tulisan itu. Tubuhnya bersinar berganti dengan gaun tidur, seperkian detik, dia sudah jatuh di suatu tempat.
Anila merasakan pusing di kepalanya. Dia terbaring di sebuah tempat tidur.
Anila menoleh ke samping.
Raven sedang tertidur pulas. Tepat di sampingnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments