Raven mengikuti Bayu pergi memasuki hutan dengan matanya yang layu. Dia bisa melihat beberapa orang menyapa mereka saat menelusuri jalan setapak ini.
Bayu menunjuk pohon kokoh yang diputari badai lebah. "Lihat, ayo kita ambil sarangnya."
Mata Raven membulat. "Apa—"
Bayu berjalan cepat dan mengambil sarang lebah itu. Dia nampak sudah terbiasa dikerumuni para lebah. Raven merasakan kulitnya gatal sendiri melihat serangga menempel pada tubuh Bayu
"Silakan dicoba, Rav."
Raven menarik napas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari itu terasa berjalan lambat, tidak ada informasi apapun yang diperoleh Anila meskipun sudah mengikuti kemauan Hala ke mana saja.
"Pelan-pelan." Raven meringis saat kulitnya diolesi salep milik Hala. Anila mendengus.
"Sebab itu manusia tidak boleh pura-pura kuat untuk momen tertentu." Anila mengomel. "Kau memakan kesialan."
Bulan terang benderang bersinar indah di langit malam. Angin berhembus tenang menyapa permukaan kulit setelah melewati celah jendela.
"Hari ini waktu kita terbuang sia-sia." Raven berbicara. "Tidak ada petunjuk."
Anila duduk bersila di hadapan Raven. "Jadi? Perubahan rencana?"
"Pemberontak kemungkinan sudah dalam perjalanan ke sini," kata Raven. Mata Anila melebar terkejut.
"Apa?! Kita harus bersiap-siap." Anila hendak berdiri, namun Raven mencegah wanita itu. Matanya lurus menusuk dengan tajam pada manik Anila.
"Tidak." Raven berucap dingin. "Kita biarkan sampai mereka datang."
Anila menatap Raven tak percaya. "Lalu membiarkan orang-orang tak bersalah menjadi korban? Kau yang benar saja!"
"Dan kau mau apa, Nil?" Raven membalas kepanikan Anila, penyebutan namanya membuat wanita itu merinding. "Kau ingin berteriak ke seluruh desa? Mereka akan curiga padamu dan kau ingin kita diusir?"
Raven mendekati Anila. Suasana hening dan napas serta detak jantung mereka nyaris terdengar.
Mata biru yang menghanyutkan menggali dalam pikiran Anila.
Sayup-sayup hanya terdengar suara dedaunan yang diterpa angin atau beberapa serangga malam yang berbunyi nyaring menemani kesunyian di antara mereka.
Entah sejak kapan, wajah bagaikan pahatan sempurna itu tiba di dekat wajah Anila. Napas mereka bersahutan di bawah sinar rembulan.
Anila beringsut mundur perlahan, namun Raven menyusulnya. Mata wanita itu tidak lepas dari tatapan Raven.
Terpojok. Anila menelan ludahnya. "R-Rav ...."
Tangan kokoh itu menyentuh pipi Anila, mengusapnya perlahan dan menarik anak rambut wanita itu ke belakang telinganya.
Anila menutup matanya saat Raven mendekat.
"Aku hampir kehilangan akal." Raven berbisik di telinga wanita itu.
"Diam. Jangan melakukan apapun jika tidak ingin menyesal." Raven menarik wajahnya kembali. Anika takut-takut membuka matanya kembali.
Suara ledakan besar terdengar mendekat. Raven dan Anila segera mengalihkan atensi mereka ke luar jendela. Cahaya orange menghiasi langit malam.
"Mereka tiba." Raven berucap singkat, matanya lebih dingin dan gelap menatap percikan api.
Tak lama, terdengar teriakan seluruh desa yang berbondong-bondong keluar dari rumah mereka. Menggaung tangis melihat rumah mereka runtuh satu persatu.
"Bawa kantung pakaian kita dan amankan kuda." Raven berbicara. "Aku akan mendekati sumber ledakan itu."
Raven melompat melewati jendela. Anila segera keluar dari kamar mereka untuk mengamankan barang dan melihat kondisi Bayu serta Hala.
Bayu panik menghampiri Anila dengan beberapa kantung di tangannya. "Hala berlarian pergi keluar dari rumah."
Anila mengatupkan mulutnya. "Ayo, kita susul."
Anila menaruh kantung pakaiannya dan Raven di atas kuda. Dia menarik kuda secepat mungkin menjauh dari kekacauan.
Setelah memastikan kudanya terikat, wanita itu bersama Bayu berteriak di sekitar rumah mereka memanggil nama Hala. Akan tetapi Hala tidak terlihat di sekitar, Bayu semakin khawatir sedangkan panas api sudah terasa membakar kulit.
Tidak tega dengan pria paruh baya itu, Anila memintanya menunggu di kuda.
"Aku berjanji akan menemukan Hala." Anila berusaha membuat Bayu tenang. "Kau cari di pinggir desa. Aku akan masuk lebih jauh menyusul suamiku."
Bayu tersenyum letih. "Apakah karena kalian sudah mengalami ini, kalian terlihat lebih tenang?"
"Jangan khawatirkan kami." Anila menepuk bahu Bayu.
Anila berlarian menembus api. Kakinya gemetaran, namun wanita itu tidak akan mundur. Di mana Raven?
Dia mendengar pedang dan tombak bersahutan. Anila segera melangkah lebih cepat menuju sumber itu datang, wanita itu berkelit dengan percikan api yang jatuh. Matanya panas dan pandangannya buram. Anila terus mengambil langkah tanpa ragu.
[Cintai Putra Mahkota]
Anila menghunuskan pisaunya seakan ingin memotong layar biru yang tiba-tiba muncul di saat seperti ini.
"Aku tahu! Tolong hilanglah!" Anila berteriak frustasi, pesan itu tidak kunjung hilang.
Anila terdorong keras. Wanita itu menyentuh perutnya yang berdenyut. Seorang pria berjubah hitam sedang memegang pisau, berdiri dengan jarak beberapa meter dari Anila.
Wanita itu waspada, dia segera mengeratkan pisau di tangannya juga.
"Kelahiran baru." Mata pria itu bergetar menatap wajah Anila. Tak lamapria itu berteriak gila, berlari menuju Anila tanpa berpikir.
Anila melangkah dengan cepat. Ketika pria itu semakin dekat, Anila menutup matanya erat dan menusuk perut pria itu.
Warna merah menempel pada tangan Anila. Wanita dengan rambut hitam pekat itu lantas menjauh dan meninggalkan jasad pria yang malang sendirian.
Semakin dekat dengan kericuhan, di arah berlawanan Raven berlarian menghindari ledakan yang diberikan salah seorang pemberontak.
Penyihir.
"Anila!" Raven melempar sesuatu, sebuah kunci dengan ukiran kuno. Penyihir menggeram marah, kali ini targetnya adalah Anila.
Anila dengan sekuat tenaga menyusul Raven. Dia menghindari ledakan bertubi-tubi itu dengan amatir. Kakinya mati rasa, Anila hanya tahu dia harus tetap mengamankan kunci ini.
Raven mendorong Anila masuk ke dalam rumah yang hangus. Penyihir kehilangan jejak Anila yang mendadak.
"Apa yang kau cari, Bajingan?" sarkas Raven.
Pria itu menunjukkan kain yang menggumpal seakan melilit sesuatu. Penyihir gila itu berteriak lagi kali ini, dia mengira Raven sudah mengambil alih kuncinya.
Anila mengatur napasnya yang memburu, keringat bercucuran dengan deras. Gadis itu mengintip dan mengambil langkah mundur dengan pelan.
"Anila, sekarang!" Raven menemukan celah untuk dia melarikan diri. Pria itu melompat dan berlari menjauh dari penyihir yang kehilangan energi.
Anila ingin mengikuti Raven, namun dia merasakan seseorang mencengkram tangannya. Anila menoleh, dia dikejutkan dengan Hala yang sudah memakai jubah hitam menatap kosong.
"Anila?!" Raven berteriak, pria itu berusaha menjangkau Anila yang di telan asap tebal. Buru-buru Anila melempar kunci itu keluar dari lingkaran asap.
Tubuh Hala dan Anila ditelan asap, dan hal terakhir yang dapat Anila dengar adalah Raven yang terus memanggil namanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suara benda tajam diseret, Anila melenguh nyeri. Dia menyadari sedang berada di jeruji besi, di sebuah tempat gelap.
Wanita itu meringis, tulang-tulang tubuhnya berteriak sakit.
Di mana dia?
Anila mendekati jeruji besi, dia melihat lorong panjang dengan jeruji besi yang sama. Di dalamnya ada banyak wanita yang bernasib sama sepertinya.
Wanita itu meneguk ludahnya. Tempat macam apa ini? Mencekam dan sesak.
"Anila, kau sudah sadar." Hala muncul membawa sekeranjang apel merah di tangannya. Dia menyentuh pipi Anila yang kotor dan berminyak. "Oh tidak, kau kotor."
"Hala, di mana ini?" Anila tersenyum, berusaha bicara dengan tenang pada Hala.
Hala memberinya sebuah apel dari keranjang. "Makan buah Anila, sehat."
Anila menyambut apel itu dengan tangan terbuka, apel itu dia genggam. "Hala, kita di mana?"
"Kita? Ini markas kelompok wanita mandiri, Anila. Bagus kan?" Hala tersenyum kosong. "Aku harus berbagi dengan yang lain, aku tinggal ya, Anila."
Anila menatap Hala yang berpindah dari jeruji satu ke jeruji lainnya. Beberapa wanita menolak, namun Hala terlihat tidak masalah. Dia keluar dari ruangan jeruji setelah itu.
Anila melihat buah di tangannya. Lalu ia melemparnya.
"Kakak, baik-baik saja?"
Anila mendongak dan dapat melihat ke jeruji seberang. Seorang anak perempuan terkurung di sana.
"Syukurlah, kakak tidak makan apelnya." Gadis itu melihat apel yang menggelinding. "Apel itu beracun."
"Kau tahu?" Anila membalas ucapan gadis mungil itu. Dia terlihat kurus dan tidak terawat.
"Aku sudah sepuluh hari di sini, Kak. Ibuku anggota kelompok ini." Gadis itu berucap dengan senyum letih. "Dia memintaku untuk tidak memakannya."
"Di mana ibumu sekarang?" tanya Anila.
"Dia pergi." Gadis itu menjawab. "Penyesalan mengikuti kematiannya."
Anila merasakan jiwanya sakit.
[Peringatan! Bahaya!]
Jantung Anila berpacu. Apa yang terjadi?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments