Bab 18-Cuek

Aletta menatap lirih setiap sudut rumahnya yang tampak kacau, barang-barangnya tampak berserakan di mana-mana. Namun bukan itu yang membuatnya sedih, melainkan karena semua hartanya hilang. Harta yang merupakan hasil jerih payahnya selama ini, hilang dalam sekejap.

Aletta menghapus air matanya tatkala mendengar suara mobil yang ia kenal. Ia dengan cepat melangkah menuju pintu, kemudian membuka pintunya. Tepat saat membuka pintu, Zico sudah ada di depan. Melihat Zico, Aletta reflek memeluk lelaki itu.

Zico tidak mempermasalahkan hal itu, ia membalas pelukan Aletta sembari mengusap rambut Aletta lembut. "Kamu kenapa, Al? Ada masalah apa?" tanya Zico di sela-sela pelukannya.

Aletta melepaskan pelukannya, air mata yang sudah ia hapus tadi kembali menggenang di pelupuk matanya. "Aku kerampokan, semua tabungan dan perhiasan aku ludes gak tersisa. Padahal udah aku taro di brangkas dan itu juga gak ada yang tau kode brangkasnya."

Zico terkejut mendengarnya, ia mengusap bahu Aletta untuk menenangkan perempuan itu. "Aletta, kamu tenang dulu. Coba pelan-pelan kamu jelasin gimana rumah kamu bisa kerampokan?"

Aletta mengajak Zico duduk di depan rumahnya. Ia mulai menjelaskan apa yang terjadi. "Aku tadi siang abis dari butik, niatnya pulang mau ngambil desain-desain buat launching produk baru. Pas sampe rumah ternyata pintunya udah dalam keadaan kebuka, barang-barang juga udah berantakan di mana-mana. Aku langsung ke kamar buat ngecek brangkas dan dugaanku bener, brangkasnya udah kebuka. Semua surat-surat penting, uang, perhiasan ilang semua. Aku gak tau harus gimana lagi sekarang," balas Aletta parau, karena menahan tangisnya.

Zico kembali menenangkan Aletta. Mendengar cerita perempuan itu, sepertinya ada orang yang sudah mengincar sejak lama dan tau kode brangkas Aletta. Pada saat yang tepat, barulah orang itu melancarkan aksinya untuk membuka brangkas milik Aletta.

"Kamu tenang, ya. Aku bakal bantuin kamu buat nanganin kasus ini, tapi cctv di rumah kamu nyala, kan?" tanya Zico lagi.

Aletta mengangguk, ia memang tidak pernah mematikan cctvnya. "Nyala," balas Aletta.

"Kita bisa jadiin itu sebagai bukti buat bikin laporan ke polisi. Kamu gak usah panik, aku bakal nemenin kamu ngurus masalah ini sampai selesai." Zico tersenyum lembut pada Aletta, biarpun perempuan itu sudah menolaknya dan membuat hatinya sakit. Namun Zico tetap tidak bisa untuk berhenti peduli pada Aletta, karena perempuan itu masih menjadi orang yang sangat Zico cintai sampai detik ini.

Aletta menggenggam tangan Zico, ia menatap Zico lembut. "Makasih ya, udah selalu mau bantu apa pun saat aku ada masalah. Padahal temenku kamu sama Devian, tapi cuma kamu doang yang selalu punya waktu setiap kali aku minta tolong."

Zico hanya tersenyum sendu, kalau saja Aletta menyadarinya sejak awal dan mau menerimanya waktu itu pasti keadaannya akan berbeda.

"Dari dulu aku cuma mencintai Devian, sampe hatiku gak bisa ngelirik laki-laki lain selain dia. Cuma gak tau kenapa waktu kamu ke butik dan bilang akan menikah, aku sakit ngedengernya. Aku ngerasa gak rela ngeliat kamu nikah, bahkan buat dateng ke pernikahan kamu waktu itu aja aku gak sanggup. Aku minta maaf, karena terlambat menyadari kalo aku cinta sama kamu. Aku baru sadar di saat kamu udah nikah sama orang lain," ujar Aletta lirih.

Zico dibuat terkejut mendengar pernyataan Aletta, ia tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya. Di sisi lain ia senang karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, tetapi ia juga sedih karena sekarang keadaan mereka berbeda.

Zico memang awalnya menikah dengan Sally untuk membuat Aletta cemburu dan membuat penggemarnya tidak melebihi batas terhadap privasinya. Namun posisinya sebagai artis tidak memungkinkan untuk bercerai sekarang, karena pernikahan mereka tergolong masih baru. Pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan jika tiba-tiba ia bercerai demi Aletta.

Aletta menatap Zico yang masih bergeming tanpa menatapnya, hatinya seolah remuk melihat Zico tidak menjawab apa pun. Aletta sadar mengakui cintanya pada Zico di saat lelaki itu sudah menikah adalah tindakan yang salah, tetapi ia juga tidak ingin kehilangan Zico.

"Zico, aku tau kamu udah nikah. Aku tau kamu udah bahagia sekarang, aku minta maaf karena udah buat kamu terganggu sama kata-kata aku. Aku cuma mau jujur aja, tapi aku gak berharap lebih. Lupain aja apa yang aku bilang tadi, anggap aja aku gak ngomong apa-apa." Aletta memaksakan senyumnya, ia mengalihkan pandangannya dari Zico.

Zico mencoba mengalihkan pikirannya dari Aletta, ia benar-benar bingung harus bagaimana sekarang. Tidak mungkin jika ia jujur dan mengatakan pada Aletta untuk menunggunya selama lima bulan, tetapi hatinya tidak bisa bohong bahwa ia senang mendengar pernyataan Aletta.

"Kita sekarang mending kumpulin bukti-bukti buat laporin kasus ini, biar cepet ketemu juga pelakunya." Zico mengalihkan pembicaraan.

Melihat Zico yang tidak mengindahkan ucapannya, membuat hati Aletta semakin sakit. Aletta sadar jika ia sudah terlambat, tidak ada lagi namanya di hati Zico. "Iya, kamu mau bantuin aku foto-fotoin bukti-buktinya?"

"Iya" balas Zico sembari tersenyum pada Aletta.

Keduanya lantas beranjak dan masuk ke dalam rumah Aletta untuk mengambil gambar untuk bukti yang diperlukan. Walaupun jujur Zico masih saja memikirkan ucapan Aletta sebelumnya, ia tidak tahu sampai kapan ia bisa menahan hatinya untuk tidak mengatakan pada Aletta bahwa ia masih mencintainya. Namun Zico harap ia bisa menyelesaikan pernikahannya dengan tepat waktu dan kembali pada Aletta.

***

Sally terbangun dari tidurnya, ia menatap jam dinding yang ada di kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul dua dini hari, tiba-tiba saja ia merasa lapar. Setelah salat isya tadi Sally tertidur, sehingga ia belum makan apa pun.

Sally beranjak dari kasurnya dan mengambil jilbabnya. Ia memakainya terlebih dahulu, sebelum akhirnya keluar dari kamarnya. Ia sempat melihat pintu kamar Zico, tetapi sepertinya Zico belum pulang.

Entah ke mana perginya Zico, apalagi dia sudah pergi lama sekali sejak siang tadi. Sadar telah memikirkan Zico, Sally cepat-cepat mengalihkan pikirannya. Ia turun ke lantai bawah menuju dapur yang belum ia sentuh sejak ia sampai di rumah Zico.

Sally membuka kulkas Zico, beragam bahan masakan sudah tertata rapi dan lengkap. Ia tersenyum tipis, ternyata laki-laki itu tahu juga mengenai bahan-bahan masakan. Sally pun mengeluarkan sayur-sayuran, bakso dan kornet. Ia mencuci sayuran yang ia ambil dan memotong-motongnya.

Begitu selesai, ia menyalakan dua kompor. Yang mana satunya untuk merebus sayur, yang satunya lagi ia pakai untuk menggoreng kornet dan bakso. Ia sengaja memasak yang tidak terlalu rumit, karena sudah sangat lapar.

Sally tersenyum melihat semuanya sudah matang, ia kemudian mengambil mangkuk yang cukup besar lalu memasukkan nasi, sayuran, bakso, dan kornet menjadi satu. Ia menambahkan bumbu pedas dan manis, lalu mengaduknya menjadi satu. Begitu selesai, Sally pun membawanya ke meja makan yang ada di seberang dapur.

"Jadi juga," ucap Sally puas, ia langsung memakan makanannya setelah membaca doa terlebih dahulu. Ia tersenyum merasakan makanan yang ia buat, terasa enak walaupun hanya seadanya.

Suara pintu terbuka membuat Sally menoleh, ia kembali mengalihkan pandangannya begitu memikirkan siapa yang akan datang. Tentu saja itu Zico, dia baru pulang selarut ini? Sudahlah Sally tidak ingin memikirkannya, terserah saja ia mau pulang jam berapa.

Di sisi lain Zico yang baru masuk, kembali mengunci pintu rumahnya. Ia mengerutkan keningnya tatkala melihat lampu dapur menyala. Zico pun melangkah menuju dapur, ia mengerutkan keningnya saat melihat Sally yang sedang makan.

"Lo ngapain makan jam segini?" tanya Zico sembari melangkah mendekati meja makan.

Sally menelan terlebih dahulu makanannya, sebelum menjawab pertanyaan Zico. "Laper," balas Sally singkat, ia kembali memakan makanannya.

Zico terkekeh mendengarnya, ia pun beranjak duduk di sebelah Sally dan memperhatikan makanan yang dibuat Sally. "Makanan apaan lagi kayak gini? Aneh banget. Lo gak cuma sikapnya yang aneh ya, tapi selera lo juga aneh."

Sally mengangkat bahunya acuh. "Jangan liat makanan dari tampilannya." Sally membalas tanpa ekspresi.

Zico meringis membayangkan makanan yang dicampur jadi satu itu masuk ke mulutnya, melihatnya saja ia sudah ingin muntah. "Enggak deh, gak mau gue." Zico menggelengkan kepalanya.

"Yaudah," ucap Sally tidak peduli, ia kembali melanjutkan makanannya.

Zico menatap aneh Sally, tidak biasanya perempuan itu secuek ini. Biasanya Sally pasti akan mengoceh panjang lebar begitu Zico mengatakan hal-hal yang membuat Sally kesal. Berbeda dengan kali ini, Sally tampak lebih pendiam. "Tumben lo gak cerewet," sindir Zico.

"Lagi ngantuk aja." Lagi-lagi Sally hanya membalas singkat.

"Lo marah sama gue, gara-gara gue pulang kemaleman? Gue tadi itu ada-" Belum sempat Zico menyelesaikan ucapannya, Sally memotongnya.

"Enggak, lagian kamu pulang jam berapa juga bukan urusanku kan. Kamu sendiri yang bilang buat aku gak ikut campur, jadi apa pun yang kamu lakuin aku gak peduli." Sally membalas dengan wajah datar, ia hendak berdiri untuk menaruh mangkuknya.

Zico mencekal tangan Sally, ia menarik pelan tangan Sally agar terduduk kembali. "Lo lagi marah kan sama gue, sikap lo gak kayak biasanya. Gue minta maaf kalo tadi siang gue agak kasar, gue cuma lagi buru-buru makanya ngomong gitu."

Sally tersenyum miring. "Gak ada yang perlu dimaafin, kamu gak salah. Emang kita harus saling acuh kan," balas Sally memaksakan senyumnya.

Zico semakin merasa bingung melihat tingkah Sally, sebenarnya apa yang membuatnya jadi berubah seperti ini. "Maksud gue bukan gitu, gak ikut campur urusan masing-masing bukan berarti jadi asing kayak gini kan? Lo itu kenapa sebenernya, lo marah karena gue bilang gak usah ikut campur?" Zico masih saja bertanya pada Sally, seolah belum puas dengan jawaban Sally.

"Enggak, ngapain juga harus marah? Dari awal kita kan emang nikah karena kepentingan masing-masing, jadi gak perlu juga ikut campur satu sama lain. Gak penting juga," balas Sally sebelum kembali berdiri dan melangkah menuju wastafel yang ada di dapur.

Sally hanya menaruh mangkuknya lalu kembali melangkah menuju tangga untuk ke kamarnya. "Besok aku cuci," ucapnya tanpa menghentikan langkahnya.

Zico tidak lagi menghentikan Sally, ia hanya menatap punggung Sally dalam diam. Ia tidak mengerti dengan perubahan sikap Sally padanya, entah apa yang salah pada perempuan itu. Jujur saja sikap Sally yang menyebalkan seperti biasanya jauh lebih baik dibanding yang seperti ini.

Zico berdecak pelan. Ia yang lelah baru selesai mengurusi permasalahan Aletta, semakin dibuat pusing dengan sikap aneh Sally padanya. Zico beranjak dari kursi dan melangkah menuju kamarnya.

Mungkin besok perasaan Sally akan lebih baik, jadi Zico akan mengajaknya berbicara lagi besok. Siapa tahu besok pagi sikap Sally bisa berubah padanya.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!