Sebuah mobil Ferrari merah berhenti di hadapannya tepat di saat taksi yang ditumpangi Sally pergi. Mobil yang tampak asing baginya, ia bingung kenapa tiba-tiba mobil mewah ini berhenti di hadapannya.
Kebingungannya musnah ketika kaca mobil tersebut terbuka. Munculah wajah laki-laki yang begitu familiar. "Kamu ... Zico, kan?" tanya Sally memastikan. Pasalnya saat ini laki-laki itu memakai masker dan kacamata hitam, ia takut salah orang.
Zico mendengus mendengar pertanyaan konyol Sally. "Bukan!" balasnya menyindir Sally.
Mendengar nada ketus itu, Sally justru tersenyum. Karena artinya itu emang Zico, siapa lagi yang suka marah-marah selain Zico.
"Masuk!" seru Zico menyuruh Sally untuk masuk ke dalam mobilnya.
Sally menggeleng cepat, ia tidak mau. Lagipula ia bisa masuk ke Kafe sendiri dan menunggu Zico di dalam. "Enggak usah, aku tunggu di dalem aja." Baru saja Sally ingin masuk ke kafe, Zico menarik ujung jilbabnya.
"Ck, lama lo! Masuk ke mobil cepetan!" seru Zico.
Sally mendelik kesal, tetapi tetap menuruti perkataan Zico untuk masuk ke mobilnya. Ia membuka pintu belakang mobil, tetapi lagi-lagi Zico menghentikannya.
"Ngapain lo? Di sebelah gue, bukan di belakang. Lo kira gue supir, apa?!" Zico selalu saja dibuat naik darah jika bersama Sally.
Sally memberengut, hanya masuk ke kafe saja mereka harus ribut seperti ini. Tidak bisakah Zico lebih ramah layaknya di televisi, benar-benar menyebalkan. "Iya, iya. Gak usah marah-marah mulu kali, entar cepet tua," ledek Sally seraya membuka pintu mobil di sebelah Zico.
"Ya elo sih, buat gue kesel mulu." Zico bersungut kesal sembari melajukan mobilnya.
"Ini kenapa harus masuk ke mobil, sih? Padahal kan bisa nunggu di dalem." Sally menatap Zico sejenak.
"Ya karena kita gak lewat situ, gue pesen ruangan VIP di kafe. Lo tau kan gue artis, kalo tiba-tiba ada yang ngerekam pembicaraan kita bisa gawat." Arsen melajukan mobilnya menuju basement kafe dan memarkirkannya di tempat yang kosong.
Sally tidak lagi berkata apa-apa, menurutnya benar juga. Zico tidak mungkin membahas hal penting ini di tempat umum seperti tadi, karena pasti akan banyak orang yang ingin tahu urusan Zico. Terlebih Sally juga akan terbawa-bawa masalah lagi.
Setelah mematikan mobilnya, Zico membuka pintu mobil dan keluar. "Ayok!" serunya mengisyaratkan Sally untuk mengikutinya.
Tidak mau berlama-lama, Sally memutuskan mengikuti Zico. Keduanya berjalan bersisian melewati ruangan khusus VIP. Ruangannya memang tampak berbeda dengan ruangan umum yang ada di depan. Terlihat lebih elegan dan tenang, dengan beberapa aksen modern yang di desain sedemikian indahnya. Terdapat beberapa sekat yang membatasi setiap ruangannya, dengan pintu kokoh yang kedap suara. Menjadikan ruangan ini lebih tenang dan privasi.
Setelah keduanya masuk ke dalam ruangan yang memang sudah dipesan Zico, Laki-laki itu pun menutup pintunya untuk memastikan pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain.
Sally yang sudah duduk dari tadi, memperhatikan Zico yang duduk di sebelahnya dengan sedikit jarak di antara mereka. "Jadi, apa yang mau kamu omongin?" tanya Sally membuka pembicaraan yang serius.
"Tentang omongan gue yang kemaren, gue udah kasih waktu buat lo mikir kan. Sekarang gue tanya, apa keputusan lo?" Zico berbalik bertanya.
Sally seketika bergeming, jujur saja sejak kemarin ia memang belum memutuskan apapun. Ia bingung harus menjawab apa, tetapi ia juga tidak mau menerima tawaran Zico.
Melihat Sally tidak menjawab apapun, Zico berdecak pelan. "Jangan bilang lo masih belum mikirin! Oke, kalo gitu gue anggap lo terima tawaran gue," cetus Zico tanpa menunggu respon Sally.
Sally lantas mendongak cepat, matanya menatap tajam ke arah Zico yang seenaknya memutuskan sendiri. "Enggak, aku gak mau!" balasnya tidak terima.
"Gue kasih waktu buat mikirin, lo gak pikirin. Bahkan lo gak tau keputusan apa yang mau lo ambil, jadi bukan salah gue kalo gue yang mutusin." Zico berucap santai tanpa mempedulikan Sally yang tidak setuju dengan keputusannya.
Ingin rasanya Sally menampar mulut Zico yang selalu seenaknya, tetapi ia tidak bisa. Karena mau bagaimanapun ia merasa bertanggung jawab atas mobil Zico. "Kamu itu egois, ya! Walaupun aku bukan orang kaya, bukan berarti kamu bisa seenaknya!" pekik Sally emosi.
Zico terdiam, ucapan Sally seolah menampar nya. Karena walaupun Zico orang yang sudah sukses, tidak pernah sekalipun ia merendahkan orang lain. Ia tahu betapa sulitnya mendapatkan uang, bahkan dulu ia pun pernah merasakan kelaparan dan tidak punya uang. Sehingga ia menghargai semua orang tanpa melihat status mereka.
"Oke, gue minta maaf. Jadi, lo maunya gimana?" tanya Zico dengan nada lebih lembut dibanding sebelumnya.
Sally lagi-lagi bingung, ia tidak mungkin menggadaikan rumahnya. Barang-barangnya pun kalau dijual ia yakin tidak akan seberapa nominalnya. Gaji bulanannya apalagi, ia hanya nya seorang penulis biasa dengan gaji yang tidak seberapa. Satu-satunya cara memang hanyalah menyetujui usulan Zico, apa ia memang harus menikah dengan Zico.
Butuh waktu lama Sally memikirkannya, dengan Zico yang menunggunya tanpa berkomentar apapun. Hingga akhirnya Sally bersuara. "Aku terima usulan kamu, tapi aku mau kita buat kesepakatan." Dengan berat hati Sally terpaksa menerimanya, karena ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain.
Zico mengerutkan dahinya, ia tidak habis pikir dengan Sally. Tadi perempuan itu mati-matian menolak, sekarang tiba-tiba saja menerimanya tanpa dipaksa. "Oke," tukas Zico setuju. Ia mengeluarkan dua lembar kertas dan pulpen dari tas kecilnya, tadi memang Zico sudah menyiapkannya untuk membuat kesepakatan.
"Lo tulis di kertas apa kesepakatan yang lo mau, gue juga tulis kesepakatan gue di kertas." Zico memberikan satu kertas pada Sally, sementara yang satunya lagi untuknya.
Sally mengangguk mengerti, dan mulai menuliskan apa saja yang ia mau. Ada lima poin yang menurutnya akan mewakilinya. Sementara Zico pun juga menuliskannya hingga empat poin. Setelahnya masing-masing memberikan kertas mereka untuk dibaca.
Sally memperhatikan baik-baik isi dari kesepakatan Zico. "Jangan mencampuri urusan masing-masing! Oke aku juga gak berminat sih buat ikut campur urusan orang lain. Jangan melibatkan cinta?" Sally memandang Zico sejenak, lalu tertawa pelan. "Cinta? gak mungkin aku cinta sama orang yang seenaknya kayak kamu, jadi tenang aja."
Zico mendengus mendengarnya. "Ya bagus, gue juga gak mau dicintai sama cewek aneh kayak lo," ejek Zico seraya tertawa mengejek.
Sally hanya mendelik kesal, lalu kembali membaca dua poin terakhir di kertas milik Zico. "Tidur di kamar yang terpisah! Ini juga yang aku mau sih di surat kesepakatan." Sampai di nomer tiga Sally merasa tidak keberatan dengan syarat-syarat Zico.
Hingga ia melihat poin keempat, Sally menyipitkan matanya memastikan hal yang tertulis disitu salah. "Harus masak tiap hari, bersih-bersih, dan siapin keperluan sehari-hari. Hahhh? Ini kamu jangan-jangan nyuruh aku buat nikah kontrak sama kamu, buat jadi pembantu kamu, kan?" selidik Sally.
"Enggak, lagian itu kan emang tugas pokok istri. Gak salah dong, lagian itung-itung bayar hutang." Zico tersenyum dengan wajah tanpa dosa.
Sally menggerutu pelan, tetapi lagi-lagi ia tidak bisa menolak. "Oke, aku setuju!" ujarnya dan sembari menandatangani surat itu di sebelah tanda tangan Zico.
Zico kembali memperhatikan isi surat milik Sally dengan serius, karena perempuan itu terus saja berbicara membuatnya jadi tidak fokus. Tiga poin yang dituliskan Sally kurang lebih sama seperti suratnya, yaitu tidak mencampuri urusan masing-masing, tidur di kamar terpisah, tidak melarang untuk tetap bekerja. Tiga-tiganya aman, tidak ada yang salah.
Laki-laki itu pun kembali membaca dua poin terakhir yang isinya, tidak membawa masalah apapun yang terjadi di antara keduanya ke media. Zico memang tidak suka membawa masalah apapun ke media, jadi ia tidak keberatan dengan itu. Sampai saat melihat poin terakhir, Zico mengerutkan dahinya.
"Menemani belanja kebutuhan sehari-hari? Emang lo gak bisa belanja sendiri apa?" sindir Zico.
"Ya bisa, lagian kan belanjanya buat kebutuhan kamu juga. Mau emang gak dimasakin?" Sally tersenyum puas melihat wajah Zico yang terlihat pasrah.
"Yaudah oke, gue setuju!" balas Zico pasrah sembari menandatangani surat kesepakatan itu.
Surat itu akhirnya sudah sama-sama disetujui, keduanya menyimpan masing-masing suratnya. "Shooting gue udah selesai hari ini, jadi gue punya waktu buat ngurusin berkas-berkas pernikahan. Kita harus urus secepatnya pernikahan kita sebelum gue sibuk lagi, jadi besok pagi gue bakal jemput lo buat ke orang tua gue. Abis itu baru kita urus undangan, sekalian fitting baju. Buat berkas-berkas nya biar gue yang urus, lo cuma perlu kasih dokumen lo yang dibutuhin ke gue."
"Hah?" Sally terperanga mendengar banyaknya kegiatan yang harus dilakukan besok. "Kenapa sebanyak itu harus diurus dalam sehari, sih? Kita kan baru buat kesepakatan, masih lama ini kan pernikahannya," lanjut Sally.
"Kata siapa masih lama? Kita nikah minggu depan." Lagi-lagi Zico mengatakan hal serius itu dengan santainya, seolah itu bukanlah hal yang mengejutkan.
"Apa?!"
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments