Bab 6-Berbagi Cerita

Suara yang terdengar tegas, namun seolah ucapannya mampu menusuk ke relung hati Zico. Sakit, tetapi ia tahu ini adalah konsekuensi yang harus ia terima. Empat tahun berlalu, nyatanya Papanya masih tidak bisa menerimanya.

Zico mendongak mencoba untuk melawan rasa sakitnya, ia menatap Wira--Papanya dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku ke sini cuma mau ngasih tau kalo aku akan menikah minggu depan, Pah. Aku ... mau minta restu sama Mamah dan Papah. Aku harap Mamah sama Papah mau dateng dan jadi saksi nikahku."

Wira tertawa sinis. "Kamu pikir saya sudi buat dateng ke pernikahan kamu?! Enggak akan, kamu urus aja sendiri pernikahan kamu. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalo kamu bisa ngelakuin apa pun sendiri? Yaudah itu artinya kamu gak butuh orang tua kamu kan," ucap Wira dingin.

Maya memegang bahu Wira lembut, matanya menatap Wira seolah-olah ingin Wira berbicara lebih lembut pada anaknya. "Pah, itu udah lama berlalu. Maafin Zico, Pah. Kasian Zico, dia udah rela-relain kesini setelah sekian lama buat minta restu kita sebagai orang tua." Maya berkata dengan nada lirih, memohon agar suaminya dapat berubah pikiran.

"Enggak, Mah. Keputusan Papah udah bulat, Papah gak akan hadir di pernikahan anak yang udah mutusin keluar dari keluarganya. Biar aja dia urus sendiri urusannya." Wira berucap sengit tanpa mendengarkan permohonan istrinya.

Zico tahu apa yang sudah menjadi keputusan Papanya tidak dapat diganggu gugat, jadi ia tidak lagi mengatakan apapun untuk dapat membuat Papanya berubah pikiran. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Zico langsung melangkah keluar rumah. Karena baginya percuma saja dia mau membujuk bagaimanapun, Papanya tidak akan pernah pernah merubah keputusannya.

Sally membelalakkan matanya terkejut saat melihat Zico meninggalkan rumahnya. Ia menatap Maya dan Wira bergantian dan menunduk sopan. "Aku sama Zico pulang dulu ya, Om ... Tante. Maaf kalo suasananya jadi gak enak karena kedatangan kami, aku pamit ya Om ... Tante." Sally menyalami tangan orang tua Zico.

"Harusnya Tante yang minta maaf," balas Maya tidak enak hati, karena Sally harus mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan di kali pertamanya berkunjung. "Kamu sama Zico hati-hati ya, kami pasti do'ain yang terbaik buat pernikahan kalian nanti." Maya melanjutkan ucapannya seraya tersenyum lembut.

Sally ikut tersenyum, setelah berpamitan sekali lagi ia pun ikut keluar menyusul Zico yang sudah berada di mobilnya. Rasanya hatinya campur aduk mengingat apa yang terjadi di dalam, ia tidak tahu masalah apa yang terjadi antara Zico dan keluarganya. Yang pasti itu adalah hal besar yang membuat hubungan Zico dengan orang tuanya menjadi renggang.

Sally masuk ke dalam mobil Zico, di dalam mobil ia melihat Zico bergeming dengan raut kesedihan di wajahnya. Zico yang selama ini selalu memasang wajah menyebalkan, ternyata menyimpan masalah sebesar ini sendirian. Entah bagaimana dia bisa sekuat itu berpura-pura bahagia saat di televisi, sementara yang terjadi di hidup Zico justru sebaliknya.

Ekspresi sedih itu lagi-lagi Zico sembunyikan dengan cepat, begitu melihat Sally. Ia langsung melajukan mobilnya tanpa bersuara menjauhi pekarangan rumah orang tuanya.

"Kita mau langsung fitting baju?" tanya Sally ragu, ia sedikit takut melihat wajah Zico yang tampak tidak bersahabat.

"Iya," balas Zico singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

"Gimana ... kalo kita beli es krim dulu?" Ingin rasanya ia mengunci mulutnya yang sudah tahu takut, masih saja terus memancing Zico.

Tidak seperti dugaannya, Zico justru mengiyakan ajakan Sally. Sebuah keajaiban Zico mau menurutinya, tetapi Sally bersyukur karena ia tidak dimarahi seperti yang ada di pikirannya.

Zico mengarahkan mobilnya menuju toko es krim terdekat, sebelum ia ke butik untuk fitting baju pernikahannya. Tepat sekali di ujung jalan terdapat toko es krim yang lengkap variannya dan enak. Begitu menemukannya, Zico langsung memarkirkan mobilnya di depan toko es krim tersebut.

"Gak pake masker, topi, kacamata?" tanya Sally yang bingung melihat Zico yang hendak keluar tanpa mengenakan atribut untuk menutupi wajahnya.

"Gak usah," jawabnya singkat.

Sally mengangkat bahunya acuh, lalu ikut keluar dari mobil. Ia melangkah di belakang Zico mengikutinya masuk ke toko es krim tersebut. Sesampainya di sana ia langsung melihat-lihat varian es krim yang ada. Berbagai rasa es krim yang tersedia diletakkan di etalase kaca, melihatnya membuat Sally antusias memilih rasa yang ingin ia coba.

"Mau ukuran medium rasa vanilla yang cone satu ya, Mbak!" seru Sally semangat.

Zico sedikit tersenyum mendengar nada suara Sally yang antusias membeli es krim, layaknya anak kecil. "Saya samain aja mbak, tapi yang rasa coklat," ujar Zico seraya mengeluarkan dompetnya.

"Totalnya jadi 120.000 ya, Mas!" ucap sang kasir sembari memperhatikan Zico yang biasanya hanya ia lihat di televisi, kini bisa ia lihat langsung.

"Ini ya, Mbak!" kata Zico sembari menerima dua es krim di tangannya, ia memberikan salah satunya pada Sally.

"Terima kasih," tutur sang kasir.

Zico melangkah lebih dulu menuju meja yang tersedia, diikuti oleh Sally di belakangnya. Keduanya duduk berhadapan di kursi yang terletak di paling ujung, agar tidak terlalu menjadi pusat perhatian.

Sally asik memakan es krimnya, ia seolah lupa jika saat ini sedang bersama Zico. Rasanya benar-benar enak, hingga Sally menikmatinya tanpa melihat kemana pun selain es krimnya.

Zico memperhatikan Sally yang benar-benar mirip anak kecil saat diberikan es krim, padahal tadi dia yang bilang tidak mau dibujuk dengan es krim. Benar-benar aneh perempuan di depannya ini. Ia ikut menikmati es krim coklat di tangannya.

"Maaf kalo tadi lo jadi kebawa-bawa masalah gue," ucap Zico tiba-tiba.

Sally berhenti memakan es krim di tangannya. Ia mengalihkan pandangannya pada Zico, yang mana laki-laki itu tengah memakan es krimnya dengan santainya. "Kamu selalu pura-pura baik aja kayak gini, ya? Emang gak capek?" Perkataan yang memang ia ingin lontarkan dari tadi akhirnya keluar.

Kini Zico ikut berhenti memakan es krimnya, ia sedikit terkejut dengan ucapan Sally. Ia menatap Sally yang kini memandangnya lirih. "Enggak, siapa juga yang pura-pura bahagia. Lo gak usah sok tau!" tampik Zico, ia tidak suka dipandang kasihan oleh orang lain.

"Kalo kamu capek, sesekali kamu boleh kok buat ngelampiasin kesedihan kamu. Jangan selalu kamu pendam, kayak gitu malah bakal ngancurin mental kamu dari dalem." Sally seolah tidak mendengarkan ucapan Zico sebelumnya yang tidak suka diikut campuri.

Zico tertawa sinis mendengarnya. "Tau apa lo tentang mental orang lain? Lo gak ngerti apa-apa, jadi berhenti sok simpati sama gue. Gue bisa atasin masalah gue sendiri!" pekik Zico dingin.

"Aku emang gak ngerti rasanya jadi kamu, tapi aku tau rasanya harus dipaksa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang tua. Aku tau gimana capeknya disaat kita butuh support orang tua untuk dijadiin tempat cerita saat kita ngalamin hal yang berat, tapi dipaksa untuk mendam semua itu sendirian. Aku tau rasanya berjuang sendiri tanpa dukungan orang tua di belakangnya, dan itu ... capek." Sally seolah ikut terbawa perasaan, hingga ia ikut merasakan kesedihannya yang harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya. "Aku tau, karena aku pun ... ngerasain hal itu." Sally melanjutkan ucapannya sembari tersenyum sendu menatap kaca besar yang memperlihatkan jalanan di seberang sana.

Zico tersentak mendengarnya, ia jadi merasa bersalah. "Orang tua lo...." Zico tidak melanjutkan kalimatnya, karena ia tidak tahu yang terjadi pada Sally hal yang sama sepertinya atau bukan.

"Orang tuaku udah meninggal, tepat sepuluh tahun yang lalu. Akibat kecelakaan yang ngebuat aku harus kehilangan tiga orang paling penting dalam hidupku," balas Sally masih dengan senyum sendunya. Semuanya memang masih menjadi luka untuknya, tetapi ia ingin bisa berdamai dengan masa lalunya. Walaupun itu bukanlah hal yang mudah.

Zico menatap Sally prihatin, ia tidak tahu jika perempuan yang selama ini terlihat bersemangat itu ternyata juga memiliki masa lalu yang kelam. Apalagi itu terjadi di umur Sally yang masih terbilang muda, pasti itu sangat berat. "Maaf, gue gak bermaksud buat bikin lo inget masa lalu lo."

"Ini bukan salah kamu, kok. Aku ngerti perasaan kamu, walaupun aku gak tau apa masalah yang terjadi di antara kamu dan orang tua kamu," ujar Sally sembari mengalihkan pandangannya pada Zico.

"Aku cuma mau bilang, jangan pernah ngerasa sendiri. Kalo kamu gak tau harus cerita ke siapa tentang masalah kamu, kamu ceritain ke Allah. Karena kalo cerita sama manusia, kadang kita cuma dapet ucapan simpati dari mereka. Tapi kalo cerita ke Allah, kamu gak cuma jadi lebih tenang, kamu juga bisa dapet solusi yang terbaik." Sally melanjutkan kalimatnya, ia harap dengan ucapannya ini Zico bisa merasa lebih baik.

Zico mengangguk perlahan, ia rasa ucapan Sally ada benarnya. Selama ini memang ia merasa jauh pada Sang Pencipta. Ia masih melaksanakan ibadah, namun itu hanya sebagai bentuk kewajiban semata tanpa melakukannya dengan tulus hati. Apalagi berdoa, ia sudah lama sekali tidak berdoa setelah beribadah. Mungkin karena itu hatinya tidak pernah tenang.

"Mau ke tempat fitting baju sekarang? Biar cepet bisa selesai semua," tutur Sally.

"Ayok!" balas Zico setelah menghabiskan suapan terakhir es krimnya. Keduanya lantas beranjak untuk keluar dari toko es krim tersebut. Untung saja karena mereka berkunjung di siang hari, jadi masih sepi. Sehingga Zico tidak perlu dikerumuni banyak orang.

Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, barulah Zico melajukan mobilnya ke arah butik. Butik terdekat di sini hanyalah butik milik Aletta, sepertinya memang ia tidak punya pilihan lain selain butik Aletta. Ia pun segera mengarahkannya menuju butik Aletta.

Tidak butuh waktu lama, akhirnya mereka pun sampai di butik bertuliskan 'Aletta Boutique'. Zico bergeming sesaat melihat butik itu, ia tengah mempersiapkan hatinya untuk melihat Aletta kembali setelah peristiwa itu.

"Aku duluan ya, mau sholat dulu." Sally keluar duluan dari mobil dan melangkah masuk ke dalam butik tanpa menunggu Zico. Ia ingin melaksanakan salat Zuhur terlebih dahulu di musala butik, sebelum mereka fitting baju.

Zico melihat Sally yang sudah masuk ke dalam butik, akhirnya ia pun keluar dari mobilnya. Ia melangkah perlahan menuju butik Aletta, jantungnya berpacu seiring dengan langkah kakinya yang semakin dekat ke dalam butik. Sampai pada ia membuka pintu butik tersebut, ia melihat Aletta yang tengah melakukan pengecekan barang di meja kasir.

Lagi-lagi jantungnya semakin berpacu melihat Aletta, ditambah saat ia melihat Aletta dengan Devian waktu lalu seolah terbayang di pikirannya.

Sementara Aletta yang tengah melakukan pengecekan barang, mendengar suara pintu terbuka. Alhasil ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu, tetapi selanjutnya ia membeku begitu melihat siapa yang ada di sana. Pikirannya kalut, lidahnya pun kelu untuk sekedar menyapa orang di ujung pintu tersebut.

"Hai!"

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!