Bab 15-Sindiran Berujung Dendam

Mentari bersinar dengan begitu cerahnya, seolah mendukung kegiatan Sally dan Zico hari ini. Seperti yang sudah direncanakan, pagi ini mereka akan ke rumah Sally untuk membawa beberapa barang yang akan dibawa ke rumah Zico.

Saat ini Sally tengah menunggu Zico di mobil, karena laki-laki itu sedang mengurus sesuatu. Untuk mengusir kebosanan, Sally memainkan ponselnya sembari menunggu Zico. Ia membuka aplikasi sosial media dari ponselnya, setelah membukanya ribuan notif masuk menyambutnya.

Sally mengerutkan keningnya, tidak biasanya notifnya sebanyak ini. Biasanya hanya ada satu atau dua notif saja, tetapi kali ini tembus hingga ribuan. Dengan penasaran Sally membuka notif tersebut, yang membawanya pada postingan yang mengaitkan dirinya dengan Zico.

Pantas saja notifnya sampai sebanyak ini, ternyata karena berita pernikahannya dengan Zico. Masih dengan rasa penasarannya Sally membuka komentar dari postingan tersebut. Isi komentarnya ada lumayan yang mendukung pernikahannya dan Zico, tetapi banyak pula yang kontra.

Kebanyakan dari mereka yang tidak setuju, beralasan bahwa Zico tidak cocok dengannya. Menurut mereka Zico pantas mendapatkan perempuan yang lebih cantik dan lebih sukses daripada Sally, untuk menjadi pendamping hidupnya. Tidak hanya itu, mereka juga tidak segan mengirimkan pesan yang berisi hinaan padanya.

Sally membaca pesan-pesan tersebut dengan wajah tanpa ekspresi, ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Ia sadar jika dirinya memang tidak selevel dengan Zico, karena itu Sally menerima apapun hujatan yang diberikan penggemar Zico kepadanya. Bukannya ia lemah, Sally hanya sadar diri dengan statusnya yang bukan siapa-siapa.

Suara pintu mobil yang dibuka, membuyarkan lamunan Sally. Ia menoleh ke samping, menatap Zico yang baru saja masuk ke mobil. Laki-laki itu langsung menyalakan mesin mobilnya, begitu sampai didalam mobil.

Zico menoleh sekilas pada Sally, lalu kembali fokus untuk melajukan mobilnya keluar dari basement hotel. Setelah keluar dari hotel, barulah Zico berbicara. "Nanti abis beres-beresin barang lo, langsung ke rumah gue ya. Kita siap-siap," ucap Zico tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya.

Sally memandang Zico dengan raut wajah bingung. "Siap-siap? Mau ke mana lagi emang?" tanya Sally bingung.

"Bulan madu," balas Zico singkat.

Mendengar jawaban Zico, mata Sally terbelalak lebar. "Enggak, aku gak mau. Gak usah ngide yang aneh-aneh, deh. " Sally dengan cepat menolakapa yang diucapkan Zico.

"Aneh gimana, itu kan hal yang wajar buat pasangan yang udah nikah." Zico tersenyum miring mengucapkannya.

Sally memandang Zico aneh, kenapa laki-laki itu selalu saja memutuskan hal seenaknya sendiri. "Itu wajar buat mereka yang emang nikah karena cinta, bukan buat kita."

Zico justru terkekeh mendengar ucapan Sally. "Eh aneh, lo gak usah geer. Maksud gue dengan bulan madu, itu bisa buat publik percaya kalo kita emang beneran pasangan baru. Kalo abis nikah gue langsung kerja lagi, yang ada orang-orang pada curiga lah. Gimana sih, masa gitu aja lo gak ngerti." Zico menjelaskan maksud dari ucapannya.

Sally baru mengerti maksud Zico, jadi ini cara agar pernikahan mereka tidak dicurigai oleh orang-orang. Namun tetap saja Sally tidak ingin bulan madu, apa tidak ada cara lain. "Emang gak ada cara lain selain bulan madu?" tanya Sally seolah meminta alternatif lain.

Zico berdecak pelan, ia lelah harus menjelaskan sedetail mungkin apa pun yang diucapkannya pada Sally. Apa Sally tidak bisa mengerti maksudnya. "Lo tenang aja, ini bukan bulan madu beneran. Kita cuma pergi ke suatu tempat, terus ya kita sekedar liburan aja. Bukan kayak bulan madu yang ada dipikiran lo," balas Zico sedikit kesal, karena harus menjelaskan hal yang seharusnya bisa Sally mengerti.

Sally tersenyum polos sembari mengangguk. "Ya maaf, aku gak tau." Sally memaksakan tawanya untuk mengalihkan rasa malunya.

Zico memutar bola matanya jengah. "Gak kaget sih, gue. Emang lo kan selalu gak tau apa pun," balas Zico sengit.

Sally mengerucutkan bibirnya, kesal dengan jawaban Zico yang selalu terang-terangan. Ia tidak lagi bertanya pada Zico, hingga menyisakan keheningan di antara mereka. Namun tidak lama, karena beberapa menit setelah itu mereka sampai di rumah Sally.

Rumah bertingkat dua yang tampak asri dengan banyak tanaman di sampingnya, juga terdapat beberapa pepohonan yang membuat rumah Sally tampak sejuk. Yang tidak kalah menakjubkan, jendela-jendela kaca besar di rumah Sally menghadap ke taman kecil yang ada di samping rumah Sally.

Zico sempat terdiam takjub memandang rumah Sally. Sebelumnya ia sudah pernah ke rumah Sally untuk mengantarkan Sally, tetapi dia baru menyadari kalau rumah perempuan itu seindah ini.

"Bagus juga rumah lo, baru sadar gue. Kalo waktu itu lo jual buat ganti rugi mobil gue bakal cukup sih," celetuk Zico sembari memperhatikan rumah Sally.

"Sembarangan," balas Sally kesal. Tentu saja ia tidak akan mau menjual rumah peninggalan orang tuanya ini.

Zico terkekeh pelan mendengar kekesalan Sally. Keduanya kemudian keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu masuk rumah Sally. Sesampainya di sana, Sally menekan bel rumahnya, karena di rumahnya sekarang ada Amara.

"Di rumah lo ada orang?" tanya Zico.

Sally mengangguk singkat, tangannya kembali menekan bel rumahnya agar Amara dapat mendengarnya. "Iya, sekarang ada Amara yang nempatin. Aku seneng sih, jadi rumahnya gak kosong kalo aku tinggalin."

"Lo tinggalin rumah lo gitu aja ke temen lo? Gila ya, lo. Lo baik boleh, tapi jangan bodoh banget kenapa sih. Entar kalo lo dimanfaatin baru tau rasa," tutur Zico tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sally.

Sally mengalihkan pandangannya pada Zico, ia memasang raut wajah tidak suka dengan ucapan Zico. "Kamu kalo gak ngerti apa masalahnya, gak usah sok tau. Amara itu sahabat aku, jadi jangan pernah berpikiran yang enggak-enggak tentang dia. Aku percaya sama dia," timpal Sally tidak terima.

Zico mengendikkan bahunya acuh, ia tidak akan lagi ikut campur setelah ini. Terserah saja apa yang ingin dilakukan Sally, toh Zico juga tidak peduli.

Sally menekan bel rumahnya kembali, karena tidak kunjung ada sautan dari Amara. Barulah bel ketiga ini, Amara menyautinya. Tidak lama pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok Amara yang masih memakai pakaian tidurnya.

"Assalamu'alaikum," ucap Sally setelah melihat Amara.

"Wa'alaikumussalam, ya ampun maaf ya agak lama. Tadi aku lagi di kamar mandi," ungkap Amara merasa tidak enak.

Sally tersenyum sembari menepuk bahu Amara. "Gapapa kok," balas Sally santai.

"Yaudah ayo masuk," ajak Amara sembari menarik tangan Sally untuk masuk.

Zico pun ikut masuk setelah melihat Sally yang sudah masuk dengan Amara. Diam-diam ia kembali memperhatikan isi rumah Sally, tampak tertata dan rapih. Suasananya pun terasa nyaman dan sejuk di dalam. Ia akui rumah Sally memang begitu nyaman.

"Aku buatin minum ya, mau minum apa?" tanya Amara pada Sally dan Zico.

"Eh gak usah repot-repot, aku ke sini cuma mau ambil beberapa barang aja kok, buat dibawa ke rumah Zico." Sally menolak tidak enak.

"Gapapa, Sal. Aku berterima kasih banget kamu udah ngizinin aku buat tinggal di sini, jadi buatin minum doang mah gak ada apa-apanya dibanding kebaikan kamu. Yaudah aku bikinin dulu ya, kamu tunggu di sini." Amara berucap dengan tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan Zico dan Sally.

Zico hanya memandang aneh Sally dan Amara, kenapa urusan minum aja sampai serumit ini. Tidak mau memusingkan hal itu, Zico memilih duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya.

Sementara Sally tidak, ia hendak bergegas menyiapkan barang-barang yang sekiranya penting. Ia pun melangkah meninggalkan Zico tanpa berucap apa pun.

"Eh, mau ke mana lo?" tanya Zico yang baru sadar Sally sudah tidak ada di depannya.

"Mau ngambil barang, udah kamu duduk aja di situ. Gak lama kok," balas Sally, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Melihat Sally yang sudah pergi, Zico pun kembali memainkan ponselnya untuk mengecek jadwal pekerjaannya. Kalau dilihat dari jadwal yang diberikan manajernya, ia masih memiliki waktu luang sekitar 5 hari lagi. Waktu yang cukup untuk berlibur, sebelum kembali melakukan shooting film terbarunya.

Sepertinya ia sudah harus memutuskan tempat untuknya dan Sally berlibur, yang sekaligus dapat membuat publik semakin yakin pada pernikahannya. Zico pun mulai sibuk mencari-cari tempat yang bagus untuk ia kunjungi.

Di lain arah, Amara datang dengan membawa tiga gelas minuman untuknya, Sally, dan Zico. Di ruang tamu, ia hanya melihat Zico saja. Amaran pun tersenyum tipis melihatnya, ia mempercepat langkahnya. Sesampainya di sana, ia langsung menaruh minuman yang dibuatnya di atas meja.

"Silakan diminum minumannya," tawar Amara pada Zico, ia pun duduk di sofa yang ada di samping Zico.

Zico menoleh saat mendengar suara teman Sally, ia tersenyum tipis membalasnya. "Makasih," ujar Zico.

Amara tersenyum mengangguk. "Sally ke mana?" tanya Amara sembari celingukan mencari keberadaan Sally.

"Lagi nyiapin barang-barang yang mau dibawa," balas Zico singkat. Ia mengambil minuman yang dibuatkan Amara dan meminumnya, untuk sekedar menghargainya.

Amara memperhatikan Zico dalam diam, ia akui suami Sally sangat tampan. Tubuh tinggi yang atletis, kulitnya yang bersih, serta senyumnya yang manis. Benar-benar membuat laki-laki itu terlihat menarik bagi siapapun yang mmelihatnya Itu membuat Amara sedikit iri, kenapa bisa artis laki-laki setampan Zico mau dengan Sally yang hanya orang biasa. Sally memang selalu beruntung dalam mendapatkan apa pun dari dulu.

"Kamu kenal sama Sally dari mana?" tanya Amara sekedar basa-basi, mengusir keheningan di antara mereka.

Zico menaruh kembali minumannya, lalu menatap Amara sekilas. "Soal itu panjang lah ceritanya, yang pasti waktu itu kita ketemu secara gak sengaja di jalan." Zico membalas sekenanya saja, malas menjelaskan dengan lebih detail.

Amara menganggukkan kepalanya, ia mulai memikirkan topik lain yang bisa ia tanyakan pada Zico. "Aku dari dulu selalu pengen sih bisa sukses di usia muda, kayak kamu gitu contohnya. Gimana sih caranya?"

"Yang pasti dengan kerja keras ya, bukan ngandelin dari temen doang." Zico tersenyum menjawabnya.

Amara sedikit tersinggung dengan jawaban Zico yang seolah sedang menyindirnya. Namun sebisa mungkin ia kendalikan ekspresi wajahnya. "Iya bener banget, sih. Tapi kamu percaya gak sih sama temen, karena kadang temen pun bisa ngancurin hidup kita kan."

Zico tersenyum penuh arti, ia kemudian menggangguk pelan. "Iya itu bisa aja terjadi, kita kan gak pernah tau gimana isi hatinya orang. Kadang yang keliatan baik juga bisa berbalik ngancurin kita, makanya gue lebih memilih bergantung sama diri gue sendiri."

Amara menahan senyumnya mendengar jawaban Zico yang sudah mulai lebih panjang dari sebelumnya.

"Ngomong-ngomong lo suka kesel gak sih sama orang yang gak sopan? Misalnya gak sopan dalam berbicara ataupun gak sopan dalam hal berpakaian contohnya. Gue sih suka kesel ya kalo ketemu orang yang begitu," sindir Zico tanpa rasa bersalah.

Zico sudah tidak dapat menahan diri, untuk tidak menyindir Amara sedari tadi. Ia tahu mungkin saja Amara baru bangun tidur saat ia dan Sally datang, tetapi setidaknya setelah mendengar ada suara tamu ia berganti pakaian yang lebih sopan sebelum keluar.

Bayangkan saja Amara memakai baju tidur yang jika tangannya terangkat sedikit saja, maka pinggang perempuan itu akan terlihat. Ditambah pula dengan celananya yang sangat pendek. Bahkan Zico saja tidak nyaman melihatnya, tetapi bisa-bisanya Amara santai saja tidak merasa malu sedikit pun.

Sementara Amara menahan rasa malunya mendengar sindiran yang dilontarkan oleh Zico, yang ia sangat tahu sindiran itu untuk siapa. Amara memaksakan senyumnya, walaupun dalam hati ia sudah sangat jengkel. "Emm Zico, maaf aku tinggal ke belakang dulu ya sebentar."

Zico mengangguk sembari tersenyum. "Oh iya silakan," ujar Zico.

Setelah itu Amara bangkit dari sofa yang didudukinya, lalu berlalu meninggalkan Zico. Segala sumpah serapah ia ucapkan dalam hati, untuk meredam kekesalannya. Karena hal ini, rasa marahnya seakan semakin besar.

Dalam hati Amara berjanji akan menghancurkan kehidupan Sally dan juga Zico, awalnya memang niatnya hanya pada Sally. Namun sekarang Zico termasuk juga dalam targetnya, setelah laki-laki itu berhasil mempermalukannya seperti ini. Lihat saja nanti, siapa yang akan tertawa setelah ini.

Siapa pun yang berani dengannya dan menjadi lawannya, siap-siap saja akan ia buat hancur hidupnya. Amara tidak akan berhenti sebelum tujuannya itu tercapai, akan ia pastikan kedua pasangan suami istri itu akan menderita. Hanya tinggal menunggu waktu saja.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!