Bab 10-Bujukan

Wira memandang Sally bingung, melihat Sally yang tiba-tiba berada di belakangnya.

"Iya saya Sally, Om. Boleh bicara sebentar, Om? Ada yang mau sally omongin," ucap Sally meminta persetujuan.

Walaupun masih bingung, Wira mengangguk mengiyakan. Mereka pun duduk di meja yang tadi Wira tempati dengan beberapa kliennya. "Jadi, kamu mau mau ngomongin apa? Kalo yang mau kamu omongin soal keputusan saya kemaren, saya pikir kamu lebih baik nyerah aja. Karena keputusan saya gak akan berubah."

Bukannya takut dengan nada bicara Wira yang dingin, Sally justru tersenyum menanggapinya. Ia sudah tahu jika Wira tidak akan semudah itu untuk dibujuk, tetapi Sally tetap ingin berusaha sebisanya.

"saya tau, Om. Cuma saya menyayangkan keputusan itu. Seperti yang Om tau, ini adalah momen penting untuk Zico juga untuk Om dan Tante. Apa gak sebaiknya dipikirkan kembali keputusannya? Gapapa kok kalo Om dan Tante gak dateng sampai acara selesai, kedatangan Om sama Tante aja udah cukup buat kami senang." Sally mencoba membujuk Wira, berharap kalau Papa Zico dapat memikirkan kembali keputusannya.

"Gak bisa, saya sudah lama tidak menganggap Zico sebagai anak saya lagi. Semenjak dia memutuskan untuk keluar dari rumah. Jadi apa pun yang menjadi urusan Zico, biarlah dia yang urus sendiri." Wira masih tidak mau mengubah keputusannya.

Sally menunduk sejenak, ternyata sesulit itu untuk membujuk Papa Zico. Memang sebenarnya ini bukanlah urusannya, jika Zico tahu Sally mencoba membujuk Papanya. Mungkin Zico akan marah padanya, karena telah ikut campur urusan laki-laki itu. Walau begitu ia tetap saja nekat, karena ia tahu apa yang dirasakan Zico. Mau bagaimanapun Zico berpura-pura baik-baik saja, Sally tetap tahu sesakit apa perasaan Zico.

"Om maaf banget kalo saya lancang, tapi coba Om pikirkan lagi. Saya memang tidak tau masalah apa yang terjadi antara Zico dan orang tuanya. Cuma saya bisa liat baik Zico ataupun Om masih sama-sama saling peduli. Kenapa gak coba untuk diperbaiki aja, Om?" pinta Sally dengan nada lirih.

Wira mengalihkan pandangannya, ia tidak mengerti mengapa calon istri Zico sebegitu kerasnya membujuknya. Padahal anaknya sendiri tidak melakukan hal itu. "Kenapa kamu sebegininya buat bujuk saya? Apa Zico yang nyuruh kamu?" tanya Wira.

Sally menggeleng tegas, mana mungkin Zico mau ia ikut masuk ke dalam urusan lelaki itu. "Enggak Om, ini atas kemauan saya sendiri. Saya tau Zico mungkin selama ini gak pernah bilang kalau dia sangat menyayangi orang tuanya. Seolah-olah dia biasa aja dan gak peduli sama orang tuanya." Sally mengembuskan napas panjang sejenak setelah mengatakannya.

Lalu Sally kembali melanjutkan ucapannya. "Zico sering kepergok keliatan murung, tapi dia gak pernah nunjukin itu ke orang lain. Dia selalu pura-pura baik-baik aja kalau di hadapan orang lain, padahal hatinya lagi gak baik-baik aja. Disaat seperti itu, sebenernya Zico cuma butuh support dari orang tuanya. Cuma sayangnya dia gak bisa dapetin itu, apa Om gak ada sedikit aja rasa simpati buat Zico? Apapun masalah yang pernah terjadi antara Om dan Zico, Zico tetep anak Om."

Sally sedikit tersentak dengan ucapannya sendiri, ia sepertinya terlalu gamblang dalam menjelaskan kepada Papa Zico. Bisa saja setelah ini Wira justru marah padanya, karena terlalu ikut campur urusan keluarganya. "Maaf Om kalau saya lancang, bukan maksud saya buat ikut campur." Sally menunduk menyadari kebodohannya yang tidak mengerem ucapanya.

Wira tidak menanggapi, namun keyakinannya mulai goyah. Hatinya seolah tertampar dengan perkataan Sally, belum pernah ada orang yang berani mengusik apa yang sudah diputuskan Wira. Bahkan Zico sekalipun.

Beberapa detik berlalu, tetapi baik Sally dan Wira masih sama-sama diam. Sally masih merasa tidak enak karena ucapannya yang menurutnya kurang sopan, jadi ia memilih diam menunggu jawaban Wira. Namun Wira pun juga diam tidak mengatakan apa-apa.

Akhirnya Sally memutuskan untuk kembali berbicara. "Om, tolong dipikirkan lagi keputusannya. Untuk kali ini aja," pinta Sally dengan tatapan memohon.

Wira masih diam, tidak menanggapi apa-apa. Membuat Sally kehilangan harapan, sepertinya memang ia tidak bisa membujuk Wira. Apa ia harus menyerah sekarang?

"Saya akan datang," ucap Wira tiba-tiba.

Sally membelalakkan matanya tidak percaya dengan apa yang didengarnya, ia mendongak masih dengan keterkejutannya. "Om serius?" tanya Sally memastikan.

Wira hanya mengangguk sebagai jawabannya. Walau begitu Sally tetap senang, usahanya tidak sia-sia. Dengan begini setidaknya ia bisa membantu Zico sedikit.

"Makasih banyak, Om. Zico pasti seneng tau kabar ini, sekali lagi makasih banyak, Om." Sally mengatakan dengan senyum lebar di wajahnya.

Wira lagi-lagi hanya mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu, saya masih ada urusan." Wira beranjak dari kursinya bersiap untuk pergi.

Sally ikut berdiri dari kursinya. "Hati-hati, Om. Sekali lagi makasih, Om." Sally tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, karena ia benar-benar senang dengan keputusan Wira yang akhirnya mau diubah.

"Iya, assalamu'alaikum," ucap Wira, lalu berlalu dari hadapan Sally.

"Wa'alaikumussalam," balas Sally, senyumnya masih belum juga luntur dari wajahnya. Seolah-olah kabar bahagia itu sangatlah besar dampaknya untuknya.

"Sal, dari mana aja sih? Lama banget, kliennya sampe udah pulang kamu belum juga dateng." Feli tiba-tiba saja sudah berada di belakang Sally.

Sally cengar-cengir sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf ya, Fel. Tadi aku masih ada urusan soalnya."

"Kita pulang yuk, aku mau siapin keperluan buat pernikahan klienku tadi. Oh iya, kamu masih utang cerita lho." Feli menatap tajam Sally.

Sally terkekeh, ia merangkul temannya itu sembari melangkah keluar. "Nanti aku ceritain di jalan, yuk pulang!"

Sally dan Feli melangkah bersisian menuju parkiran. Namun pikiran Sally masih dipenuhi dengan perkataan Wira tadi, ia tidak tahu mengapa ia sesenang ini dengan keputusan Wira. Padahal ini adalah urusan Zico, tetapi Sally seolah ingin membantu lelaki itu.

Walaupun tidak banyak yang bisa ia lakukan, tetapi ia harap hal ini dapat sedikit membantu meringankan beban Zico. Setidaknya Zico tidak akan murung lagi memikirkan kedua orang tuanya yang tidak datang di pernikahannya. Semoga saja perasaan laki-laki itu dapat membaik begitu mendengar keputusan ini.

***

Zico baru saja selesai mengurus berkas-berkasnya dan Sally, dan saat ini ia tengah berada di rumah Devian. Ia ingin memberitahukan berita pernikahannya karena memang Zico belum mengatakan apapun semenjak Devian sampai di Indonesia.

Baru saja Zico ingin memanggil Devian yang tidak datang-datang, tiba-tiba lelaki itu sudah muncul dengan membawakan kopi dan cemilan untuknya dan Zico.

"Widih yang abis pulang dari luar negeri, makin seger aja lo," canda Zico.

Devian duduk di samping Zico, setelah menaruh kopi dan cemilan yang dibawa ke atas meja. "Itu mah elo kali, makin terkenal makin seger muka lo. Gak keliatan kusut lagi, kayak jaman kuliah." Devian tertawa di ujung kalimatnya.

"Yee kusut-kusut gitu gue mah tetep banyak yang suka dari jaman kuliah," balas Zico dengan percaya diri.

Devian tertawa mendengar balasan Zico, ia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan percaya diri temannya itu. Memang dari dulu tidak pernah berubah, namun karena itu ia senang memiliki teman yang seru seperti Zico.

"Jadi gimana, nih. Lo tadi serius banget keliatannya, mau ngomong apa? Biasanya juga lo langsung ngomong, tanpa gue tanya." Devian menanyakan apa yang sedari tadi ingin Zico katakan.

Zico bergeming sejenak, ia tahu mungkin saja ucapannya ini akan mengejutkan Devian. Ia mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tas kecil miliknya, lalu menyerahkan undangan itu pada Devian.

Devian mengerutkan keningnya tatkala menerima undangan tersebut. "Ini undangan dari siapa, ada yang nitupin ke lo?" tanya Devian sembari membuka undangan tersebut.

"Baca aja dulu," jawab Zico singkat.

Devian melihat nama yang tertera di undangan tersebut, lalu menatap Zico dengan ekspresi terkejut. "Ini lo yang mau nikah? Kok mendadak gini sih. Selama ini kayaknya lo lagi gak deket sama siapa-siapa, perasaan."

"Lagi gak deket sama siapa-siapa kan bukan berarti gue lagi sendiri, gue sengaja sih dadakan gini biar surprise. Lagian kan ini bagus biar gue gak dijodohin terus sama lawan main gue, capek banget dijodoh-jodohin terus sama fans. Mana kadang sampe bar-bar, gue kagak boleh deket sama yang lain harus sama lawan main yang yang mereka mau." Zico justru curhat pada Devian, mengenai permasalahannya sebagai artis.

Devian tersenyum mendengarnya, ia tahu jika menjadi artis tidaklah seenak yang dilihat orang lain. Apalagi kalau sudah berurusan dengan fans yang posesif dan toxic. "Yaudah, sabar. Tapi bener juga sih, dengan lo nikah lo gak bakal lagi dijodohin sama artis yang dimau sama fans lo. Jadi hidup lo bakal lebih damai, gak diusik fans lagi."

"Bener banget, akhirnya bisa lebih bebas gue." Zico mengatakan dengan tersenyum puas.

Devian kembali melihat undangan tersebut, lalu melihat nama perempuan yang akan menjadi pendamping Zico. Saat melihatnya, Devian sedikit mengerutkan keningnya. Nama depannya sama seperti perempuan yang ia temui di taman kota, tetapi mungkin saja hanya namanya saja yang kebetulan sama.

"Sally ini artis juga?" tanya Devian penasaran.

Zico seketika tertawa, ia jadi membayangkan Sally menjadi seorang artis. "Bukan, dia salah satu fans gue. Gue kenal dia secara gak sengaja sih, pertama kali gue ketemu dia di jalan waktu lampu merah. Pokoknya adalah trouble, terus gue jadi kenal sama dia dan ya ... deket sampe sekarang." Dalam hati Zico ingin muntah mengatakannya, apanya yang dekat? Justru dia dan Sally sudah seperti musuh yang selalu saja bertengkar.

"Fans? Udah kayak cerita di film-film lo, tapi gue dukung sih. Gue seneng akhirnya lo menemukan cinta sejati lolo juga," ucap Devian sembari tertawa.

"Jangan lupa dateng, ajak Aletta. Gue tunggu lho nanti," tukas Zico santai, padahal hatinya belum tentu siap melihat Aletta kembali. Namun di sisi lain ia penasaran dengan reaksi Aletta.

"Pasti dateng kok, kalo perlu gue cancel semua acara gue." Devian lagi-lagi tertawa.

Zico ikut tertawa, lalu tangannya bergerak mengambil kopi yang ada di atas meja dan menyesap kopi tersebut seraya memikirkan pernikahannya yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Tidak terasa pernikahan itu akan terjadi juga, walaupun ini bukanlah pernikahan yang ia inginkan. Sama seperti Sally, ia pun memiliki pernikahan impian dengan seseorang yang ia cintai. Namun sayangnya orang yang ia cintai justru mencintai orang lain.

Zico merasa gelisah, apakah yang akan terjadi setelah ia menikah? Apakah hidupnya akan baik-baik saja dan sesuai dengan apa yang sudah dipikirkannya atau justru akan kembali membuatnya kecewa dengan realitanya? Entahlah, untuk saat ini ia hanya tidak ingin berpikir terlalu jauh. Biarlah semua mengalir dengan sendirinya, tanpa perlu dipikirkan lebih jauh. Setidaknya dengan itu akan membuatnya lebih tenang.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!