Bab 12-Pernikahan

Hari yang tidak pernah ia tunggu-tunggu, akhirnya datang. Hari di mana ia akan mengikat janji suci pernikahan untuk pertama kalinya. Sebuah awal yang tidak pernah ia inginkan, tetapi tidak bisa pula ia tolak.

Menikah dengan seorang artis terkenal mungkin adalah impian sebagian perempuan, tetapi tidak untuknya. Menikah dengan Zico bagaikan masalah baru untuknya.

Sally memperhatikan penampilannya dari cermin di hadapannya. Gaun putih yang ia pilih di butik Aletta waktu itu terlihat pas di tubuhnya. Jilbab putih polos yang menjulur hingga ke dadanya ditutupi oleh veil transparan yang panjangnya hingga ke lututnya, ditambah mahkota berwarna silver yang berada di atas kepalanya. Tampak sempurna untuk Sally, membuatnya terlihat lebih bersinar. Terlebih dengan riasan yang tidak terlalu tebal, namun tetap terlihat cantik di wajahnya.

Sally tersenyum tipis melihat penampilannya. Mungkin jika ia menikah atas kemauannya sendiri, ia akan sangat bahagia hari ini. Gedung mewah, gaun yang indah, riasan yang cantik, akan sangat istimewa jika saja ini adalah pernikahan yang ia harapkan.

Walau begitu Sally mencoba menjalaninya dengan hati yang tulus, ia mencoba untuk menjalaninya sebagai pernikahan yang sesungguhnya bukan layaknya pernikahan kontrak.

"Masya Allah cantik banget," ucap seseorang membuat Sally lagi-lagi membuyarkan lamunannya.

Sally tersenyum melihat kedua sahabatnya yang sudah rapih dengan kebaya yang ia siapkan untuk mereka. Kebaya berwarna peach yang tampak cocok untuk Feli dan Amara. Rambut Amara yang tersanggul rapih dengan hiasan berwarna silver yang ada di pinggir rambutnya, membuat Amara terlihat lebih cantik. Jilbab yang warnanya senada dengan kebaya Feli juga tampak cantik dipakai Feli. "Kalian juga cantik banget," puji Sally.

Feli dan Amara memeluk Sally bersamaan. "Gak sabar deh liat kamu jadi istri Zico, mimpi apa aku ngeliat temenku nikah sama artis terkenal. Beruntung banget deh kamu, semoga Zico bisa bahagiain kamu ya." Feli berucap tulus, ia benar-benar senang karena sahabatnya sudah menemukan kebahagiannya.

Sally tersenyum, bingung harus menanggapi apa mengenai doa Feli yang ia sendiri tidak yakin. "Semoga kalian juga bisa nyusul secepatnya, aamiin."

"Aamiin," balas Amara dan Feli kompak.

"Yaudah kita ke depan, yuk! Yang lain udah pada gak sabar nungguin kamu," ucap Amara sembari menggandeng tangan kanan Sally. Feli pun melakukan hal yang sama, ia menggandeng tangan kiri Sally.

Keduanya mengantarkan Sally menuju ballroom hotel, jaraknya tidak terlalu jauh. Karena ruangan yang dipakai Sally tadi berada di lantai yang sama dengan ruangan di mana pernikahannya dilaksanakan.

Sesampainya di sana, banyak pasang mata yang memperhatikan Sally, kilatan kameranya bersaut-sautan mengambil gambarnya. Hal itu lantas membuatnya sedikit gugup, tangannya mulai terasa dingin. Ia berharap jika ia tidak melakukan hal yang akan membuatnya malu, karena pernikahan ini bisa saja bocor ke media.

Amara dan Feli membawa Sally untuk duduk di sebelah Zico yang sudah ada lebih dulu. Setelahnya keduanya mundur agar tidak terlalu mengganggu acara.

Zico memperhatikan Sally yang sudah duduk di sampingnya. Ia sempat terkesima melihat penampilan Sally, perempuan itu terlihat sangat cantik. Saat sadar apa yang dipikirkannya, Zico mengerjapkan matanya dan memalingkan pandangannya.

"Karena mempelai wanitanya sudah datang, acaranya bisa kita mulai sekarang?" tanya pria paruh baya yang merupakan penghulu pada pernikahan Zico dan Sally.

Zico bergeming, matanya menatap ke penjuru ruangan berharap ia dapat melihat orang tuanya. Walaupun kemungkinannya kecil. Ia memang sudah mengundang saudaranya untuk menjadi saksi, menggantikan orang tuanya.

Sally menoleh sekilas pada Zico yang tengah melihat-lihat, seolah mencari sesuatu. Ia paham apa yang dicari laki-laki itu, dalam hati ia juga ikut cemas takut Wira berubah pikiran dan tidak jadi datang.

"Tunggu!"

Sally dan Zico lantas mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Senyum Sally terbit saat melihat di depannya terdapat Wira dan Maya yang baru saja datang. Ia senang karena orang tua Zico jadi datang. Sally kembali menoleh ke arah Zico, Laki-laki itu tampak terkejut dengan kedatangan orang tuanya.

"Acaranya bisa dimulai sekarang," sambung Wira setelah duduk bersama istrinya.

Sang penghulu pun melanjutkan acaranya. Ia meminta Zico menjabat wali Sally yang merupakan saudara jauhnya yang merupakan anak dari pamannya. Sally sendiri pun tidak menyangka jika ada saudaranya yang mengetahuinya dari televisi, karena berita pernikahan Zico dan Sally yang tersebar. Sejak itulah saudaranya memutuskan untuk menjadi wali di pernikahannya, saudara yang umurnya hanya terpaut dua tahun di atasnya.

Sally sangat bersyukur karena setidaknya ada saudara yang mau menjadi walinya. Untungnya pula saudaranya mau ke rumahnya, karena baik Sally maupun Arsen--saudaranya sama-sama tidak memiliki kontak satu sama lain.

"Saya nikahkan engkau ananda Zico Wiratama bin Taufiq Wiratama dengan Sally Zevanya binti Ismail Fernaldi dengan mas kawin perhiasan emas 50 gram dibayar tunai," ucap Arsen membacakan ijab.

Zico menarik napas sejenak, lalu menghembuskannya. "Saya terima nikahnya Sally Zevanya binti Ismail Fernaldi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Zico mengucapkan kabul dengan sekali tarikan napas.

"Bagaimana para saksi?"

"Sah," seru Wira dan Maya kompak diikuti dengan yang lainnya.

Sally mencium punggung tangan Zico untuk yang pertama kalinya, lalu Zico pun mencium kening Sally. Hatinya terasa bergetar begitu Zico menciumnya, karena ini pertama kalinya Sally bersentuhan dengan lawan jenisnya. Karena hal itulah ia masih merasa gugup dan terkejut.

Setelahnya mereka pun membaca doa yang dipimpin oleh penghulu, barulah keduanya lanjut memasang cincin di jari pasangannya masing-masing. Kemudian mereka pun menandatangani dokumen-dokumen pernikahan.

Acara dilanjut dengan penyerahan mahar secara simbolis kepada mempelai wanita. Sang penghulu memberikan beberapa nasihat pernikahan, sebelum kembali dilanjutkan dengan doa untuk menutup seluruh prosesi akad.

***

Acara akad nikah berlangsung dengan cukup lancar, Sally bersyukur tidak ada kendala pada pernikahannya. Saat ini keduanya tengah duduk menikmati acara resepsi yang digelar setelah acara akad.

Sally memperhatikan tamu-tamu yang datang, ia mencari-cari keberadaan orang tua Zico. Pasalnya setelah akad tadi, ia tidak menemukan orang tua Zico lagi. Entah pergi ke mana orang tua Zico, tetapi ia berharap jika orang tua Zico belum pergi.

Zico yang juga sedang memperhatikan tamu-tamu, mengalihkan pandangannya pada Sally. "Woi aneh, lagi nyari apaan lo?" bisik Zico saat melihat Sally yang seperti tengah mencari seseorang.

Sally mendengus kesal mendengarnya. Jelas-jelas ia memiliki nama, tetapi selalu saja Zico memanggilnya dengan sebutan aneh. "Namaku Sally, bukan aneh! Tadi nyebutin ijab kabul aja pake nama Sally, bukan nama aneh," sela Sally kesal.

"Yang bilang nama lo aneh juga siapa? Gue cuma lebih seneng manggil lo aneh, lebih sesuai sama karakter lo," ejek Zico.

Baru beberapa menit ia menjadi istri Zico, ia sudah dibuat naik darah saja dengan kelakuan Zico. "Oke, terserah! Susah emang ngomong sama orang kepala baru mah," cibir Sally.

Zico baru saja hendak membalas ucapan Sally, namun urung saat ia teringat sesuatu. "Tadi orang tua gue tiba-tiba dateng kerjaan lo, ya?" tanya Zico.

Sally bergeming, ia menatap ke sembarang arah. Ia tidak mungkin mengatakan jika ialah yang sudah membujuk Wira, kalau Zico tahu bisa-bisa ia dikira peduli dengan Zico. "Bukan, emang kamu sepenting itu sampe aku harus ngelakuin itu?" alibi Sally sembari menghempaskan tangannya.

"Masa? Gue tau banget bokap gue paling susah kalo udah buat keputusan, dia gak bakal gampang berubah. Pasti lo, kan? Ngaku aja deh." Zico masih tidak percaya dengan ucapan Sally.

Sally mengembuskan napas panjang mencoba lebih tenang. "Enggak-" Belum selesai kalimatnya, tiba-tiba seseorang memotongnya.

"Zico," potong pria paruh baya yang kini sudah ada di hadapan Sally dan Zico.

Saat melihat ke arah sumber suara, Sally dan Zico reflek berdiri. Sally pun menyalami kedua orang tua Zico, begitu pula dengan Zico.

"Papa akan maafin kamu, tapi dengan satu syarat." Wira mengalihkan pandangannya pada Sally.

"Syarat? Syarat apa, Pah?" tanya Zico yang bingung saat melihat Papanya tiba-tiba saja datang dan berbicara jika akan memaafkannya.

"Syaratnya kamu harus jaga Sally sebaik mungkin, kamu harus bisa jadi suami yang baik buat Sally. Sekarang kamu sudah menikah, bukan lagi anak muda yang bebas berkeliaran sana-sini. Papa akan kasih kamu kebebasan dengan pekerjaan kamu yang sekarang, tapi kamu juga harus bisa bagi waktu buat Sally." Wira menatap tajam Zico, seolah-olah jika Zico tidak mendengarkannya, maka Wira akan sangat marah padanya.

Zico mengangguk pelan, walaupun masih bingung dengan perubahan Wira yang secara tiba-tiba. "Iya, Pah!" balas Zico.

Maya tersenyum menyaksikan keluarganya kembali bersatu, ia menggenggam tangan Sally dengan lembut. "Sally, selamat ya. Semoga pernikahan kalian sakinah mawaddah warahmah. Kalo Zico nyakitin kamu, bilang sama Mama. Nanti biar Mama getok kepalanya itu," ucap Maya sembari tertawa.

Sally ikut tertawa mendengarnya. "Pasti, Ma. Makasih ya, Mamah sama Papah udah mau dateng ke sini. Aku seneng banget ngeliatnya, " ujar Sally tersenyum lembut.

Maya mengusap menepuk bahu menantunya pelan. "Justru Mama yang makasih, karena kamu ... Papah jadi mau maafin Zico. Selama ini Mama udah nyoba buat bujuk, tapi Papa Zico ini selalu aja nolak. Sedangkan kamu, cuma sekali aja bisa langsung buat suami saya berubah pikiran. Makasih ya, berkat kamu keluarga Mama jadi utuh kembali." Maya tersenyum tulus pada Sally.

Zico mengerutkan keningnya mendengar ucapan Mamanya. "Jadi yang bujuk Papah, Sally?" tanya Zico memastikan.

Sally mencengkram ujung jilbabnya erat, kenapa orang tua Zico harus membawa namanya tentang ini. Selesai sudah, ia tidak bisa mengelak lagi.

"Sally ini emang tulus mau bantuin kamu, Papa waktu itu ngira kalo dia disuruh kamu. tapi ternyata emang atas kemauannya sendiri. Karena ketulusannya itulah Papa mau maafin kamu, jadi Papa minta sama kamu jangan kecewain Sally. Dia itu anak yang baik, Papa bisa liat itu." Wira ikut angkat bicara.

Zico menatap wajah Sally yang ada di sebelahnya. Ia tidak menyangka jika perempuan itu mau membantunya sampai seperti ini, padahal ia sudah memanfaatkan Sally.

Sally yang ditatap serius oleh Zico, justru memalingkan wajahnya. Ia tidak mau dianggap mempedulikan lelaki itu.

"Oh, iya. Zico, Mama sama Papa pulang duluan ya. Soalnya mendadak Papa dapet panggilan darurat buat nanganin pasien, gapapa kan?" Maya sebetulnya tidak enak karena harus pulang cepat di pernikahan anaknya.

Zico mengangguk tidak keberatan, ia tahu betul pekerjaan Papanya yang mengharuskannya siap kapan pun setiap kali ada panggilan mendadak. "Iya gapapa, kok! Aku ngerti," balas Zico tersenyum tipis.

Maya dan Wira pun pamit pada Zico dan Sally untuk kembali lebih awal. "Nanti kapan-kapan main ke rumah ya, Mama bakal siapin makanan yang enak buat kalian."

Sally dan Zico mengangguk bersamaan. "Pasti, Ma. Nanti kapan-kapan aku sama Sally bakal ke sana, kok." Zico menyauti sembari merangkul Sally.

Sally hanya membatin kesal melihat Zico yang merangkulnya.

"Bener ya, Mama tunggu." Setelahnya Maya dan Wira pun kembali berpamitan sebelum akhirnya pergi dari hadapan Sally dan Zico.

Zico yang masih merangkul Sally, menoleh ke samping tanpa melepaskan rangkulannya. "Makasih, ya." Zico tersenyum tulus pada Sally.

Sally yang baru pertama kali melihat Zico tersenyum tulus padanya, sedikit merasa gugup. "Makasih soal Papa kamu? Aku ngelakuin itu bukan buat kamu. Ya karena aku kasian aja sama orang tua kamu, apalagi Mama kamu yang pengen banget ngeliat keluarganya akur. Jadi gak usah geer," balas Sally ketus.

Bukannya kesal, Zico justru terkekeh mendengarnya. "Yang bilang lo ngelakuin itu buat gue siapa? Gue gak bilang gitu, itu mah elo sendiri yang bilang."

Sally melepaskan rangkulan Zico dengan kesal, ia duduk dengan sedikit menahan rasa malu di hadapan Zico.

Zico ikut duduk di sebelah Sally, ia masih memandang Sally. "Apa pun alasannya gue tetep berterima kasih sama lo, gue masih gak nyangka aja bisa baikan sama orang tua gue. Bahkan bisa pulang ke rumah dan ditawarin nyokap gue sendiri. Kalo bukan karena lo, mungkin sampai sekarang keadaannya gak akan berubah."

Sally terenyuh mendengar ucapan Zico yang tulus itu. Ternyata di samping sifat menyebalkan Zico, lelaki itu bisa lembut juga dalam berbicara. Ia yang tadinya menghadap ke arah lain, mengalihkan pandangannya pada Zico yang sudah sibuk dengan ponselnya sekarang.

Sally tersenyum tipis melihatnya, dalam hati ia pun merasa senang. Karena Zico bisa kembali bersatu dengan orang tuanya, ia tahu jika selama ini Zico pun membutuhkan figur orang tuanya sebagai penyemangatnya. Akhirnya hal itu akan kembali Zico dapatkan, melihat itu saja sudah cukup membuatnya senang.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!