Bab 11-Rencana Licik

Hari berlalu dengan begitu cepat, hingga tidak terasa hari ini adalah hari terakhir Sally menyandang status sendiri, sebelum besok statusnya berubah menjadi istri orang lain. Sangat cepat rasanya, ia bahkan tidak pernah berpikir ia akan menikah di umurnya yang masih 24 tahun.

Terlebih Sally juga tidak pernah menyangka bahwa ia akan menikah dengan seseorang yang tidak mencintainya, dan hanya memperalatnya dengan pernikahan kontrak. Sungguh miris bukan? Pernikahan impiannya harus ia buang jauh-jauh dan terpaksa menerimanya, walaupun ia tidak mau.

Ingin rasanya Sally mengulang waktu agar kebodohannya waktu itu tidak ia lakukan. Seandainya ia tidak nekat membawa motor dan tetap menggunakan ojek online seperti biasanya, mungkin sampai hari ini ia masih menikmati kebebasannya. Ingin menyesal juga percuma, segalanya sudah terjadi dan tidak bisa ia ulang kembali.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum, Sally!"

Sally membuyarkan lamunannya tatkala mendengar pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Ia pun bangkit dari sofa yang didudukinya dan melangkah ke arah pintu. Ia menarik knop pintu dan membukanya. "Wa'alaikumussalam," jawab Sally sedikit keras agar orang di depannya dapat mendengar.

Setelah Sally membuka pintu, ia membelalakkan matanya saat melihat siapa yang ada di depannya. "Lho Amara? Kamu udah pulang?" tanya Sally dengan nada antusias.

"Amara doang nih yang disapa?" sindir Feli dengan wajah pura-pura kesal.

Sally tertawa, ia merangkul kedua sahabatnya itu untuk masuk ke dalam. Mereka bertiga berjalan bersisian dan duduk di sofa ruang tamu. "Mau minum apa?" tanya Sally.

"Apa aja," balas Amara dan Feli kompak.

"Oke, tunggu sebentar ya." Sally melangkah ke arah dapur dan membuatkan tiga gelas es sirop jeruk. Setelah selesai membuatkannya, ia mengambil beberapa cemilan dan membawanya bersama sirop yang dibuatnya tadi ke ruang tamu.

"Jadi, kapan kamu pulang dari Korea? Kenapa gak bilang-bilang kalo mau pulang?" tanya Sally setelah menaruh sirop dan cemilan yang dibawanya di atas meja.

Amara tersenyum manis. "Kalo bilang nanti gak jadi kejutan, dong. Padahal niatnya mau ngasih kejutan, tapi pas di sini malah aku yang dikasih kejutan kamu yang mau nikah." Amara melirik Feli sembari tertawa.

"Tau ya, mendadak banget kayak tahu bulat. Aku aja baru dikasih tau kemaren-kemaren sama Sally." Feli ikut menimpali.

Sally lagi-lagi tertawa, pasti Amara mendengar kabar ia akan menikah dari Feli. "Ya maaf, ini juga dadakan banget soalnya. Tapi aku seneng banget nanti pas nikah ada kalian yang dampingin," ucap Sally sembari tersenyum ke arah Amara dan Feli.

Amara dan Feli kompak memeluk Sally mendengarnya. Tidak terasa sahabatnya ini akan menjadi istri orang lain besok, padahal di antara mereka bertiga Sally lah yang selama ini sering kali menolak laki-laki dengan alasan belum siap.

"Kita juga seneng kok, akhirnya kamu nemuin pujaan hati juga. Setelah nolakin banyak cowok," canda Feli seraya tertawa.

Sally tersenyum tipis, ia sedikit lelah berpura-pura bahagia di saat ia sendiri tidak menyukai pernikahan ini. "Semoga abis ini kalian yang nyusul," balas Sally tulus.

"Aamiin," ucap Feli dan Amara kompak.

"Ceritain dong cerita kamu selama di Korea, Mar." Sally mencoba mengalihkan topik mengenai pernikahannya.

Feli mengangguk, ia memang belum mendengar banyak mengenai cerita Amara. "Iya, dong. Gimana ketemu oppa-oppa ganteng gak? Atau kamu udah punya jodoh di Korea nih jangan-jangan?" tanya Feli.

Amara tersenyum tipis, ingatan mengenai kehidupannya di negeri orang seolah kembali berputar dibenaknya. Tanpa sadar tangannya mengepal kencang, namun Amara tetap memaksakan senyumnya.

"Aku gak mikirin cowok di sana sih, fokus kerja aja. Buat kerjanya ya ada enak gak enaknya, wajar lah namanya juga kerja. Enaknya di sana banyak tempat bagus, jadi bisa healing kalo lagi pusing sama kerjaan. Sejauh ini sih aku nyaman di sana. Ngomong-ngomong makasih ya, Sal! Karena kamu udah bantuin aku buat bisa kerja di sana," ucapnya menahan gejolak yang ada di hatinya.

Sally tersenyum lega mendengar cerita Amara, ia sempat khawatir takut sahabatnya itu ada kendala atau masalah di sana. "Aku ikut seneng kalo kamu nyaman di sana," ujar Sally tulus.

Feli mengerutkan dahinya tatkala melihat wajah Amara. "Mar, aku baru sadar deh muka kamu kok kayak agak bengkak ya? Atau cuma perasaan aku aja?

Amara melihat ke sembarang arah, ia berusaha menutupi kepanikannya. " Cuma perasaan kamu aja mungkin, Fel. Kita kan udah lama gak ketemu," alibi Amara.

Feli menganggukkan kepalanya, benar juga mungkin ia saja yang salah.

Setelahnya mereka bertiga pun asik mengobrol dengan sesekali melemparkan candaan. Sudah lama mereka tidak berkumpul seperti ini, terakhir kali saat mereka masih duduk di bangku kuliah dulu. Lalu Amara merantau ke negeri orang, dibantu dengan Sally yang mencarikan info mengenai yayasan yang menyalurkan tenaga kerja ke Korea. Setelah itu mereka tidak pernah bertemu Amara lagi, dan inilah kali pertama ia bertemu kembali setelah sekian lama.

Di sela-sela cerita, Amara memanggil Sally. Lantas Sally dan Feli berhenti bercerita, lalu menoleh ke arah Amara dengan pandangan bertanya-tanya. "Kenapa, Mar?" tanya Sally.

"Aku ... boleh numpang tinggal di rumah kamu, gak? Aku tau kalo aku ngerepotin, tapi aku juga bingung mau tinggal di mana. Semenjak aku ke Korea, ternyata orang tuaku cerai. Papaku nikah sama orang lain yang lebih kaya, sementara Mamaku kelilit hutang di mana-mana. Mama terpaksa jual rumahnya untuk ngelunasin hutangnya dan biayain kebutuhan sehari-hari dia dan adek aku Alma." Amara menghentikan sejenak ceritanya, air matanya perlahan menetes.

"Mama gak pernah ngomong apa-apa soal itu. Mama cuma cerita kalo Mama sama Papa udah cerai, tapi gak pernah cerita soal keuangannya yang lagi hancur. Sampai aku ngedenger Mama dan Alma...." Amara tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, bahunya bergetar beriringan dengan tangisannya yang semakin tidak bisa ia tahan.

Sally dan Feli memeluk Amara, mencoba memberikan kekuatan. Mereka berdua benar-benar tidak tahu kalau kondisi Amara sehancur itu, Sally dan Feli merasa gagal menjadi sahabat Amara. Karena kesulitan Amara yang sebesar itu saja mereka tidak tahu.

"Mama dan Alma ... meninggal karena kecelakaan tabrak lari. Saat itu mereka nyoba kabur dari Satpol PP yang ngejar mereka karena mereka ... jadi pengemis di pinggir jalan." Tangis Amara lagi-lagi pecah tatkala menceritakan kisah pilu yang terjadi pada keluarganya.

Sally dan Feli terkejut mendengarnya, mereka benar-benar merasa bersalah karena tidak tahu mengenai masalah ini. "Ya Allah, maafin aku ya, Mar. Aku bener-bener gak tau soal ini," ucap Feli lirih.

Sally menggenggam salah satu tangan Amara. Air matanya ikut menetes menyaksikan sahabatnya yang terlihat rapuh di hadapannya. "Mar, aku minta maaf ya karena baru tau ini dari kamu. Aku ngerasa gak pantes jadi temen kamu, kalo masalah sebesar ini aja aku gak tau. Mar, aku janji aku sama Feli akan terus ada di samping kamu. Apapun kesulitan yang kamu rasain, kamu bisa berbagi sama kita berdua. Kamu punya aku dan Feli, jadi tolong jangan pernah ngerasa sendiri."

Feli mengangguk sembari mengusap bahu Amara lembut, ia mencoba untuk membuat sahabatnya lebih tenang.

Amara mendongak dan menghapus air matanya. Ia tersenyum ke arah Feli dan Sally, lalu memeluk keduanya. "Makasih, udah jadi sahabat terbaik buat aku. Kalo gak ada kalian, mungkin aku gak akan sekuat ini."

Sally dan Feli membalas pelukan Amara sembari tersenyum. Mereka senang Amara sudah terlihat lebih tenang sekarang. "Kamu bisa hubungin aku atau Sally kapan pun kamu butuh kita, jangan pernah sungkan buat minta tolong apa pun." Feli kembali mengusap bahu Amara.

"Kamu juga bisa tinggal di sini sampai kapan pun, Mar. Rumahku terbuka buat kamu," timpal Sally.

Amara melepaskan pelukannya dan menatap sahabatnya satu per satu. "Makasih, aku gak akan pernah lupain kebaikan kalian. Aku bener-bener beruntung punya temen-temen sebaik kalian," tutur Amara seraya tersenyum lebar.

Dalam hati Amara tersenyum miring, akhirnya ia bisa tinggal di rumah Sally tanpa harus membayar apa pun. Memang sudah sepantasnya Sally membolehkannya tinggal di sini, bahkan rumah ini juga seharusnya menjadi miliknya. Karena perempuan itu memang harus bertanggung jawab mengenai hidupnya yang hancur ini, yang disebabkan oleh Sally. Ia sudah muak berpura-pura baik di depan Sally, tetapi tidak apa ini semua demi rencananya. Pelan tapi pasti Amara akan membuat rumah ini menjadi miliknya.

Cepat atau lambat, ia akan mengambil harta yang paling berharga bagi Sally ini darinya. Biar Sally tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Amara tahu rumah ini adalah segalanya bagi Sally, karena itulah ia akan merebutnya dari Sally. Bahkan rumah ini pun belum cukup untuknya, ia akan membuat hidup Sally berantakan sama seperti hidupnya.

Lihat saja nanti baik cepat ataupun lambat, hal itu pasti akan terjadi.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!