Bab 17-Rasa Sakit

Sebuah mobil Ferrari merah berhenti tepat di depan pekarangan rumah bertingkat dua, dengan gaya minimalis modern. Zico keluar dari mobilnya dan membuka kunci pagar berwarna hitam yang menjulang tinggi, kemudian ia kembali menaiki mobilnya dan memasuki pekarangan rumah tersebut.

Zico memasukkan mobilnya pada garasi yang terletak tepat di samping rumahnya. Begitu mobilnya terparkir sempurna, ia pun mengajak Sally keluar dari mobilnya.

Sally bergeming menatap bangunan rumah Zico yang tampak modern, halamannya pun sangat luas. Ada pepohonan di sudut kanan dan sudut kirinya, ditambah pula tanaman hijau yang tertata rapih di seberang pintu masuk. Sangat menakjubkan baginya. Mungkin rumah Zico besarnya dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan rumahnya.

Zico menyusul Sally yang sudah berada di depan pintu sembari menarik koper miliknya. Ia membuka pintu rumahnya dan menyuruh Sally untuk masuk. "Sini koper lo, biar gue bawain. Gue mau nunjukin kamar lo," ucap Zico.

Sally yang masih membawa koper dan kardus berisi barangnya, tanpa mengucapkan apa-apa langsung memberikan kopernya pada Zico. Setelahnya ia mengikuti Zico menuju ke lantai dua. Lagi-lagi Sally dibuat takjub, tangga rumah Zico sangat indah dengan desain melengkung yang menggunakan kaca transparan sebagai pembatas pada pinggirnya. Ia tidak heran, Zico yang seorang artis besar pasti memiliki rumah yang besar. Namun ia tidak menyangka desainnya akan sebagus ini.

"Ini kamar lo, deket sama kamar gue. Kamar gue ada di ujung kanan dari kamar lo, jadi kalo butuh apa-apa bilang aja di sana." Zico menunjuk kamar yang terletak tidak jauh dari kamarnya.

Setelah Sally mengerti, Zico pun membuka kamar kosong tersebut. Ia menarik koper milik Sally dan menaruhnya tepat di depan lemari besar dengan tinggi sekitar dua meter.

Sally masih memperhatikan setiap sudut ruangan yang akan menjadi kamarnya, sangat besar bahkan lebih besar dibandingkan kamarnya.

"Lo bisa pake semua barang yang ada di sini atau di mana pun, asal jangan sentuh barang punya gue yang ada di kamar gue. Oh iya, dapur ada di bawah, lo bisa masak di sana nanti. Kulkas juga isinya udah gue penuhin, jadi bisa lo pake buat masak. Cuma buat hari ini lo gak perlu masak, gue tau lo masih kaget sama peristiwa tadi. Lo mending istirahat aja sekarang." Zico menjelaskan panjang lebar, agar Sally tidak kebingungan.

Sally hanya mengangguk pelan. Jika biasanya Sally banyak bicara dan banyak bertanya, kali ini ia lebih banyak diam. Selain karena ia lelah, ia juga masih belum sepenuhnya melupakan peristiwa tadi.

"Yaudah, gue tinggal dulu. Oh iya, soal bulan madu kayaknya bakal gue batalin. Takutnya bakal kejadian kayak tadi lagi, jadi kayaknya mending ngabisin sisa libur gue di sini aja." Setelah mengatakan itu Zico meninggalkan Sally dan melangkah menuju kamarnya.

Sally menutup pintu kamarnya, kemudian ia membuka koper miliknya. Dalam diam ia mulai merapikan pakaiannya ke dalam lemari, setelahnya ia pun membereskan barang-barangnya. Begitu semua selesai, Sally pun melangkah menuju kasurnya dan duduk di tepi kasur. Ia menggulung lengan bajunya hingga ke siku, di situlah ia baru sadar tangannya mengeluarkan darah. Walaupun ia dapat menghindar dari peluru pistol tadi, tetapi serpihan kaca yang pecah akibat peluru itu terlempar dan mengenainya.

Sally membuka jilbabnya untuk melihat apakah kepalanya terluka, ia pun melangkah menuju cermin besar yang ada di lemari. Rambut panjang yang menjuntai hingga pinggangnya itu terlihat dari kaca lemari tersebut. Ia mulai melihat apa yang membuat wajahnya terasa perih. Sally terbelalak melihat dahinya yang tadi tertutupi dalaman kerudungnya tampak tergores cukup dalam, pantas saja ia merasakan nyeri.

Merasakan darah yang menetes dari dahinya, Sally pun bergegas untuk mencari obat-obatan di kopernya. Namun ia tidak menemukannya, padahal ia yakin tadi sudah memasukkan obat-obatan pada kopernya.

"Sal!"

Suara seseorang juga suara pintu yang terbuka membuat Sally berbalik, ia terkejut melihat Zico yang tiba-tiba membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Lantas Sally reflek berbalik, ia merasa malu karena saat ini tengah melepaskan jilbabnya. Ia mengambil kopernya untuk menutupi kepalanya, walaupun ia tahu itu sia-sia.

Zico ikut terkejut melihat Sally untuk pertama kalinya tanpa mengenakan jilbab, karena selama ini Sally tidak pernah melepaskan kerudungnya jika di depannya. "Sorry," ucap Zico tidak enak.

Zico baru saja ingin keluar lagi dari kamar Sally, tetapi urung saat matanya melihat tangan Sally mengeluarkan darah. Bukannya keluar, Zico justru melangkah mendekati Sally.

"Zicoo, keluar dulu gak!" pekik Sally kesal saat mendengar suara langkah kaki Zico yang justru semakin mendekat.

Zico tetap melangkah hingga ia berhenti tepat di hadapan Sally, ia berjongkok dan meraih tangan Sally. "Tangan lo kenapa? Tadi lo gak kena pelurunya, kan?" tanya Zico sembari menatap tangan Sally yang tergores cukup dalam, hingga terus mengeluarkan darah.

Sally masih saja menutupi wajahnya dengan menggunakan kopernya tadi. "Enggak kok, ini gak kenapa-napa. Aku bisa ngurus ini sendiri, udah kamu keluar aja."

Zico mengambil koper milik Sally yang digunakan perempuan itu untuk menutupinya, lalu menaruhnya di belakangnya. Ia semakin terkejut melihat dahi Sally yang juga mengeluarkan darah. "Dahi lo juga kenapa? Lo gak beneran kena, kan?!" tanya Zico pada Sally.

Sally mengembuskan napas pasrah, ia tidak lagi berusaha menutupi kepalanya. Percuma Zico sudah mengambil kopernya, dia juga sudah terlanjur melihatnya. "Aku gak kena pelurunya, ini kayaknya kena serpihan kaca mobil tadi yang kelempar gara-gara tembakan. Ini cuma luka kecil sih, aku bisa obatin sendiri."

"Luka kecil gimana, ini aja darahnya ngalir terus. Lo kenapa gak bilang sama gue, sih." Zico berucap kesal, ia menarik pelan tangan Sally dan membawanya ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.

Zico menyalakan keran yang ada di wastafel, ia meraih tangan Sally yang terluka lalu menaruhnya di bawah air yang mengalir. Membiarkan darah di tangan Sally tersapu oleh air tersebut, lalu membersihkannya dengan sabun.

Sally meringis merasakan perih yang ada di tangannya.

"Tahan dulu sebentar," ucap Zico yang melihat Sally menahan rasa perih di tangannya.

Begitu tangan Sally sudah lebih bersih dari darah yang tadi, Zico beralih pada dahi Sally. Ia membersihkan darah pada dahi Sally dengan menggunakan air dan sabun, lalu mematikan keran wastafelnya setelah selesai membersihkan luka Sally.

"Udah bersih, tinggal diobatin. Lo duduk aja, biar gue ambil dulu obatnya." Zico pergi setelah mengatakan itu pada Sally.

Sally duduk di sofa yang ada di seberang kasurnya. Ia menatap tangannya yang goresannya lebih terlihat, setelah darahnya dibersihkan. Lukanya meninggalkan jejak cukup dalam, mungkin akan meninggalkan rasa nyeri setelah ini.

Zico kembali dengan membawa perban dan antibiotik di tangannya. Ia duduk di samping Sally, lalu menaruh perban dan antibiotik yang dibawanya tadi di atas meja. Ia mulai sibuk mengoleskan krim antibiotik pada tangan Sally dengan telaten.

Sally menggigit bibir bawahnya menahan rasa perih yang lagi-lagi menjalar. Ia mengalihkan pandangannya dari tangannya ke wajah Zico. Ia bergeming memperhatikan Zico yang tampak serius mengobati lukanya. Kadang ia tidak mengerti dengan Zico, karena sifat laki-laki itu yang berubah-ubah. Kadang dia baik, tetapi kadang juga menyebalkan dan keras kepala.

Sally kembali mengalihkan pandangannya, ia tidak mau tertangkap basah sedang memperhatikan wajah Zico. Mau ditaruh di mana wajahnya nanti, bisa-bisa lelaki itu semakin besar kepala.

Zico menutup krim antibiotik yang dipakainya tadi, lalu beralih memperban tangan Sally. Begitu selesai ia kembali membuka krim antibiotik yang akan ia gunakan untuk dahi Sally. Ia mendongak untuk melihat luka pada dahi Sally, tetapi ia justru terdiam melihat wajah Sally yang terlihat berbeda tanpa mengenakan jilbab seperti biasanya. Rambut Sally yang berwarna kecoklatan tampak indah dan cocok di wajah perempuan itu.

Sally yang merasa sedang diperhatikan, kembali menoleh. Ia menatap Zico yang kini juga sedang menatapnya. Namun tidak lama, ia kembali mengalihkan pandangannya dan berdeham pelan untuk mengusir kecanggungan. Sementara Zico, ia reflek memalingkan wajahnya begitu mendengar Sally berdeham.

Zico mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya kembali fokus mengobati dahi Sally. Ia mengoleskan krim antibiotik itu dengan cepat, setelahnya ia menempelkan plester pada luka tersebut.

"Udah selesai," ujar Zico setelah selesai mengobati luka Sally.

"Makasih, maaf ngerepotin." Sally membalas tidak enak, pasalnya ia bisa saja mengobati lukanya sendiri tanpa harus dibantu Zico jika saja lelaki itu tidak memaksanya.

Zico mengangguk pelan. "Maaf ya, gara-gara gue lo jadi kayak gini."

Sally lantas menggeleng mendengar ucapan Zico. "Enggak, ini bukan salah siapa-siapa. Emang udah takdirnya aja kayak gini, alhamdulillahnya kita masih selamat dari peristiwa itu."

Zico tersenyum tipis dan mengangguk. "Makasih juga lo udah nolongin gue waktu itu, kalo bukan karena lo ... kayaknya gue bisa aja pingsan dan digebukin sampe gue mati," tutur Zico.

"Apaan sih, jangan mikir jelek gitulah." Sally membalas kesal.

Zico justru terkekeh mendengarnya. "Lo khawatir ya sama gue? Takut kalo gue kenapa-napa," goda Zico.

Sally memalingkan wajahnya, ia menggeleng dengan tegas. "Siapa juga yang khawatir, cuma takut aja. Kalo kamu pingsan kan aku yang bakal jadi target selanjutnya," dalih Sally.

Zico kembali tertawa, pasalnya jawaban Sally dengan ekspresinya tidak selaras. "Terserah lo deh, gue udah tau ini kalo lo khawatir sama gue."

Sally menatap tajam Zico, ia baru saja hendak membalas ucapan Zico. Namun urung saat mendengar dering telepon Zico berbunyi.

Zico mengambil ponselnya dari sakunya, begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya ia pun menjauh dari Sally. Ia langsung mengangkat panggilan itu tanpa menunggu lama.

"Halo," ucap Zico pada orang di seberangnya.

"Zico, kamu bisa gak ke rumahku sekarang? Aku-"

Belum selesai ucapan seseorang di teleponnya, Zico memotongnya begitu mendengar tangisan orang itu. "Kamu kenapa, Al? Ada masalah?" tanya Zico panik.

Seseorang itu lagi-lagi menangis, seolah tidak kuasa untuk menjawabnya. Zico semakin merasa panik, takut terjadi apa-apa. "Aku ke sana sekarang, kamu tunggu ya. Jangan ke mana-mana," ucap Zico, lalu mematikan sambungannya dengan cepat.

Zico berbalik dan melangkah ke arah Sally. "Gue mau keluar dulu, lo istirahat aja di sini." Zico hendak pergi, tetapi Sally menghentikannya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Sally.

Zico berbalik dan menatap wajah Sally tanpa ekspresi. "Gue mau ke mana itu bukan urusan lo, kita udah sepakat buat gak saling ikut campur." Setelah mengatakan itu Zico kembali melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa.

Sally memandang Zico dalam diam, memperhatikan lelaki itu yang tampak panik. Ia tadi mendengar sekilas pembicaraan Zico. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Zico berbicara dengan perempuan dan akan pergi mendatangi perempuan itu.

Sally tersenyum sendu, ia sadar dirinya bukanlah siapa-siapa. Ia tidak memiliki kuasa untuk menghalangi Zico menemui perempuan itu, bahkan sepertinya perempuan itu pun sangat berharga bagi Zico.

Sally sudah tahu sejak awal jika menikah dengan Zico, bukan berarti dapat memiliki hati Zico. Mereka hanya menikah atas dasar kepentingan masing-masing, tetapi ia tidak tahu kenapa hatinya seolah sakit melihat Zico mempedulikan perempuan lain.

Entah apakah rasa kagumnya pada Zico, sebelum ia mengenal laki-laki itu masih singgah di hatinya atau tidak. Yang ia sadari sepertinya perhatian-perhatian kecil Zico sedikit banyak mempengaruhi hatinya.

Sally menggelengkan kepalanya, mencoba menampik rasa sakit di hatinya. "Aku gak boleh suka lagi sama Zico, dia itu gak akan pernah bisa aku gapai. Bahkan setelah menikah sekalipun, hatinya gak akan pernah jadi milikku."

Suara deru mobil membuat Sally beranjak dari sofa dan melangkah ke arah balkon kamarnya. Ia memegang sanggahan pada balkon dan memperhatikan Zico yang tengah membuka pagar rumahnya. Lelaki itu tampak panik dan ingin cepat-cepat pergi, seolah-olah tidak ingin membuat perempuan yang menelepon Zico tadi menunggu lama.

Begitu mobil Zico keluar dari pekarangan rumahnya, ia kembali menutup pagarnya dan cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya. Tidak lama mobil itu pun berlalu dengan cepat menjauh dari pandangan Sally, hingga akhirnya tidak lagi terlihat.

Setetes air bening jatuh menyentuh pipi Sally, tetapi dengan cepat ia menepisnya. Ia melangkah masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu balkon dan duduk di belakang pintu balkon tersebut sembari membekap mulutnya untuk menahan tangisnya, tetapi gagal. Tangisnya justru semakin pecah, Sally tahu harusnya ia tidak perlu menangisi Zico. Seharusnya ia sadar jika Sally hanyalah orang asing dalam kehidupan Zico, mereka menikah bukan atas dasar cinta.

Tidak mungkin baginya untuk memiliki Zico, karena sampai kapan pun lelaki itu tidak akan pernah mencintainya. Hanya lima bulan waktunya dengan Zico, setelah itu lelaki itu pasti akan melanjutkan hidupnya kembali seperti biasa tanpa memikirkannya. Sally tidak boleh menaruh perasaannya lebih, karena tidak lama lagi hubungan ini juga akan berakhir.

Sally menghapus kasar air matanya, ia berdiri sembari menenangkan perasaannya. Mulai saat ini, ia akan melanjutkan hari-harinya dengan Zico tanpa melibatkan perasaan. Apa pun tingkah Zico yang membuatnya luluh akan ia alihkan, agar hatinya tidak kembali jatuh. Perasaannya belum terlalu dalam, seharusnya masih bisa ia alihkan agar tidak lebih dalam lagi pada Zico.

Sally mengangguk dengan penuh keyakinan, ia percaya bahwa ia mampu menghadapi pernikahannya ini hingga berakhir nanti. Ia akan berusaha melupakan perasaannya dan menjalani pernikahannya tanpa melibatkan hatinya. Sally yakin ia bisa menghadapinya.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!