Laut terbangun dari tidurnya dengan napas memburu, badannya mengeluarkan keringat tak wajar, pandangannya kabur, kepalanya berputar-putar bagai dilahap angin beliung, sementara pendengarannya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ini adalah kondisi yang selalu ia alami setiap hari, yang membuatnya akan terbangun jam empat pagi. Dan seperti yang dilakukannya pada hari-hari sebelumnya, ia akan dengan susah payah mencari flunarizine, walau harus menubruk berbagai macam benda.
Sesudah menelan pil itu mentah-mentah, tanpa bantuan setetes air pun, Laut akan membaringkan tubuhnya di sembarang tempat, lalu menunggu reaksi akan obat tersebut. Dengan kondisi yang mulai terkendali, Laut biasanya mulai memikirkan kenangan indah bersama ibunya. Wanita hebat yang menyimpan banyak rahasia seperti ayahnya. Meski keduanya penuh kedekatan dengan anak, tapi ada batas-batas tertentu yang sama sekali tak boleh dilewati oleh Laut.
Seperti ponsel yang belum lama ini ia perbaiki. Laut ingat, waktu itu banyak mobil yang menghantam mereka dan suara tembakan terdengar saling saut, ibunya berkata, “Jangan panik. Dengarkan Ibu ... ambil ini,”
“Kenapa Bu?”
“Simpan itu baik-baik! Jangan sampai seorangpun mendapatkannya … siapa pun mereka!”
Laut mengatur napas, membuka matanya dan meraih satu-satunya warisan Bulan. Sampai ia tidak menyadari kalau wajahnya telah dibasahi oleh air mata.
Pria lima belas tahun itu meletakkan ponsel ibunya setelah menyeka wajah. Ia kemudian duduk di depan laptopnya dan membuka file yang ia dapatkan dengan meng-cut seluruh isi ponsel itu tepat setelah tragedi mengerikan sepuluh tahun lalu, yang telah membuat ponsel itu tidak ada bedanya dengan ponsel pada umumnya.
Laut melihat semua foto juga video di sana. Dari semua video yang ia lihat, baru kali ini Laut merasa ada sesuatu yang aneh. Ia menyadari kalau di setiap akhir video, ibunya selalu menekuk jemarinya sambil menyebut sembarang angka.
“Apa ini? Apa yang ingin kau coba katakan, Bu?”
Laut mengulang-ulang semua video yang ada, lalu ia membuat folder baru dan menamainya sesuai dengan urutan yang ditunjukkan melalui jari Bulan. Kemudian, setelah menghabiskan banyak waktu untuk memutar otak, ia akhirnya yakin kalau sembarang angka yang diteriakkan Bulan menunjukkan durasi pada video tersebut. Waktu saat wanita itu mengucapkan satu kata.
Selepas mengulang berulang kali, Laut akhirnya mendapat satu kalimat, “Angkasa's library, north, three down, seven right, press.”
Mendapat itu, Laut bergegas menerobos kamar ayahnya dengan mendobrak pintu lalu masuk ke perpustakaan khusus ayahnya. Kemudian melakukan kode yang ia dapat dari video-video Bulan. Setelah menekan buku bersampul tebal, suara gemeruduk terdengar menyeruak. Lalu sebuah lubang muncul pada lantai.
Didekatinya lubang itu. Tampak ada sebuah peti kecil di sana. Setelah mengambil dan membukanya, Laut mendapat dua buah buku dengan ukuran yang berbeda. Laut menyingkirkan buku paling besar yang pada halaman pertama bertulis “How to fight”, yang langsung ia kira itu hanya tulisan ayahnya yang sangat tidak penting. Sementara satunya bertulis “Don’t read, you will die”.
“Apa ini buku diary-mu, Bu?” bisik hati Laut.
Ia mulai membaca.
***
Di sekolah, di pojok belakang kelas X-10, Bambang dan gengnya berkumpul. Tampak wajah mereka penuh kebahagiaan. Seringai Bambang tak kunjung padam sejak ia meninggalkan sekolah waktu itu.
“Lihat! Si brengsek itu tidak berangkat,” ucap Reza sambil terkekeh.
“Bocah itu pantas mendapatkannya,” Bambang menanggapi.
“Mungkin saja, si brengsek itu sedang meringkuk di rumah sakit,” Reza menambahi yang disusul dengan geladak suara tawa. “Atau sudah ketemu sama malaikat maut. Hahaha....”
“Apa kita tidak keterlaluan?” tanya Mardhi yang sama sekali tidak menghentikan tawa Bambang dan Reza.
“Siapa peduli!” sentak Reza sambil menggeplak kepala Mardhi. “Bocah songong sepertinya, pantas diberi pelajaran. Ya ga, Bos?”
Bambang menyungging bibir lalu mengangguk kepala. “Sudahlah, aku mau merokok,”
“Yuk,” Reza mengajak Mardhi.
“Aku kan ga ngerokok,”
Mendengar itu Reza lagi-lagi memukul kepala Mardhi. “Kau minum susu saja. Biar otakmu bisa dipakai!”
Namun kalimat itu sama sekali tetap membuat Mardhi bergeming.
“Mardhi!” Bambang berseru membuat pria berotot itu terpaksa beranjak dari duduknya.
***
Mardhi dan Bambang adalah teman sejak kecil. Bahkan saat sebelum mereka sekolah. Keduanya dilahirkan di rumah sakit yang sama dengan selisih waktu beberapa bulan. Awalnya keluarga Mardhi tidak dapat membawa anak mereka karena tak bisa membayar biaya rumah sakit. Keluarga Bambang yang mendengar itu langsung melunasi semua biaya yang ada dengan syarat kedua orangtua Mardhi bekerja untuk mereka, karena saat itu kebetulan Bhaskoro sedang kekurangan tenaga.
Keluarga Mardhi menyetujuinya. Dan mulai saat itu, mereka selalu dihantui perasaan utang budi. Sampai-sampai kedua orang tua Mardhi selalu mengingatkan agar dirinya terus menjaga Bambang apa pun yang terjadi. Dan itulah yang Mardhi lakukan selama ini. Sejak masuk sekolah, Mardhi bersusah payah menjaga Bambang dari para perundung. Meski dalam hati kecilnya menolak melakukan itu semua.
Menurut Mardhi, Bambang pantas dipukuli sebab ia anak yang gemuk dan berkacamata. Lebih buruknya adalah sifatnya yang manja, pamer, tidak mau berusaha, dan selalu menganggap remeh orang lain. Sampai saat masuk kelas 4 SD. Waktu itu, Bambang tengah di-bully. Melihat itu Mardhi langsung memukuli para perundung, tapi ia ikutan bonyok sebab jumlah mereka jauh lebih banyak.
“Hentikan! Tolong hentikan! Ini sakit!” rengek Mardhi yang sedang dihujani injakan kaki.
Bambang dengan badan gemetar memaksa berdiri lalu terpogoh-pogoh ia berlari dan memukul salah seorang dari mereka menggunakan batu, sampai berdarah. “Rasakan! Siapa selanjutnya!”
Rekannya yang melihat itu ketakutan dan langsung pergi terbirit-birit.
“Lari kalian dasar pengecut!” teriak Bambang sambil melempar batu yang ia genggam. Bambang lalu menjulurkan tangannya dan membantu Mardhi berdiri. “Bangun. Kita balas mereka besok,”
Mardhi baru pertama kali melihat sosok Bambang yang begitu—penuh dengan tekad. Padahal selama ini anak itu selalu berlindung di belakangnya sambil menangis. Mulai detik itu juga, perasaan terpaksa untuk membalas budi berubah menjadi kekaguman.
“Bagaimana caranya menghajar mereka? Mereka kan ada banyak,” kata Mardhi sambil bangun.
“Aku akan belajar karate!” Bambang berseru.
“Aku juga!” Mardhi mengikuti.
“Tidak usah!”
“Kenapa?”
“Kenapa kau tanya?!” bentak Bambang sambil menggeplak kepala Mardhi. “Kau harus belajar yang lain. Karena aku yang bakal jadi ahli karate!” ucapnya sambil memapah Mardhi.
“Kalau begitu, aku harus latihan apa?”
“Kau ini benar-benar bodoh! ... Badanmu besar, latihan judo saja!”
“Baik!”
Sejak saat itu Bambang dan Mardhi berlatih dengan giat. Sampai tidak ada lagi yang berani mengganggu mereka. Semuanya berubah, termasuk penampilan Bambang yang menjadi ideal dan berotot. Ia juga tidak lagi memakai kacamata bukan hanya karena berhenti bermain gaget, tapi memakai lensa kotak.
Namun lama-kelamaan sifat Bambang juga ikutan berubah. Pria ramah dan seenaknya sendiri itu menjadi sosok yang apatis dan ingin menang sendiri. Bahkan Bambang berubah menjadi sosok yang paling ia benci, perundung.
Mardhi tidak bisa menghentikannya, bahkan dirinya mau tidak mau harus tetap mengikuti semua yang Bambang katakan. Alasannya bukan sekadar membalas budi atau kagum, melainkan Mardhi tidak ingin kehilangan Bambang lagi, untuk kesekian kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kustri
setiap mau komen sll iklan lwt, jd lupa apa yg mau ditulis hahaaa
2023-07-21
0
Penulis Noname
dibaca
2023-07-13
0