Baru saja Laut keluar dari toko baju, mendadak ia menghentikan langkah, memeriksa arlojinya lalu menengok ke sisi kanan di mana Mentari baru saja berhenti berlari. “Mau makan?”
Mendengar itu Mentari terkejut. “Apa kau ... mengajakku kencan?”
Tanpa menunggu persetujuannya, pria itu kembali berjalan. Ia menuju tempat makan yang tak jauh dari sana.
“Bungeoppang satu,” katanya saat sampai di depan kasir.
“Saya juga Mba! Sama Pajeon,” serobot Mentari dengan napas ngos-ngosan. “Kenapa ninggalin, sih?!” gerutunya.
Namun Laut sama sekali tak meresponsnya.
Sementara si kasir senyum lalu melempar pertanyaan, “Minumnya, Kak?”
“Teh Yuja!” Mentari berseru.
“Sama, apalagi?” tanya si kasir.
“Omija Tea,” jawab Laut.
“Baik, pembayarannya sekalian ya Kak,”
Setelah melakukan pembayaran menggunakan metode yang sama seperti sebelumnya, si kasir menyerahkan nomor meja. Keduanya berjalan beriringan dan mencari kursi untuk duduk.
Mentari langsung membanting dirinya di atas kursi sambil melenguh panjang, “Akhirnya bisa istirahat juga,”
Sedangkan Laut menaruh perlengkapannya di sisi kursi yang kosong dan pergi setelah berkata, “Tunggu di sini,”
“Kau mau ke mana?” pertanyaan Mentari tidak dijawab membuatnya jengkel. “Kenapa sih, anak itu? Sok cool amat. Apa jangan-jangan ... mau ngasih surprice. Wah, gila! Apa aku secantik itu sampai langsung ditembak?!” hatinya bergumam sendiri.
***
Sekitar sepuluh menit kemudian Laut kembali dan duduk di hadapan Mentari. “Pinjam hp-mu,” katanya.
Dengan cengengesan wanita itu menyerahkan ponselnya.
Laut menerimanya dan mengetik sesuatu di sana lalu mengembalikan ke Mentari. “Itu nomorku. Aku akan menghubungimu nanti,”
Dengan senyum sumringah Mentari menatap tajam Laut. Hatinya berbisik, “Apa ini masanya aku ga bakal jomblo lagi?”
“Kenapa senyum-senyum?” ujar Laut mengejutkan Mentari. “Menjijikan,”
Mentari mengangkat kedua alisnya lalu kembali berusaha menampilkan wajah cantiknya. “Gapapa. Bilang saja kalau suka....”
Laut tidak langsung merespons sebab seorang waiter mengantarkan pesanan mereka. Seperginya si waiter tersebut Laut berkata, “Kau perlu mengganti biaya kerusakan ponselku,”
Mentari yang baru saja menyeruput minumannya tersedak mendengar itu. “Ka-kau....”
“Itu belum termasuk yang ada di meja ini,”
Mentari menanggapi itu dengan bangkit dan menggebrak meja. “Sialan! Aku kan, sudah membantumu,”
Laut masih pada posisi terakhirnya. Duduk dengan tatapan tajam ke arah Mentari. “Dan kau merusak ponselku,” pria itu menambahkan. “Baju dan makanan ini, cukup untuk membalas perbuatanmu sebelumnya,”
Mentari masih menggeram. Ingin rasanya ia berteriak dan memaki pria di depannya. Namun ia urungkan sebab banyak pasang mata yang mengarah kepadanya. Jadi wanita itu memilih untuk kembali duduk dan menyantap makanannya. Lagi pula, ia bisa makan gratis kali ini. Sebut saja itu sebuah keberuntungan.
“Apa kau tadi dipalak?” tanya Mentari di sela-sela makan mereka.
Laut tidak menanggapi, masih melanjutkan makan.
“Kenapa diam saja? Padahal kau bisa melawan mereka,“ ucap wanita itu sambil menyantap pesanannya. “Aku tahu kalau kau bisa berkelahi,”
“Mana mungkin,” Laut mengelak.
Mentari mendengus lalu berkata, “Dengar ini dan ingat baik-baik, ...jangan diam saja ketika di-bully, jangan biarkan dirimu jadi korban,”
Laut membalas tatapan tajam Mentari dengan pandangan yang sama, sampai membuat wanita itu mengalihkan matanya dan mengambil minumnya dengan gelagapan.
“Jika seseorang melemparimu dengan batu, ambil itu dan bangun sesuatu,”
“Sok bijak kau!” gerutu Mentari.
“Kau dirundung?” tanya Laut, mengindahkan kalimat wanita itu.
“Dari mana kau tahu?” Mentari balik bertanya.
Laut tidak berkata, hanya menanggapi dengan menunjuk pipi kirinya.
Mentari mengembus napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. “Awalnya aku diam saja. Tapi lama-lama mereka berlebihan. Jadi aku mencoba melawan. Dan ... ya, aku tidak bisa berbuat banyak. Lebih lagi mereka punya koneksi ke para preman. Untung saja ada paman itu,”
“Siapa?” tanya Laut.
“Entahlah. Pria tua berotot. Aku tidak tahu siapa dia,” jawab Mentari sambil memakan makanannya lahap. “Intinya ... paman itu membuat preman-preman itu takkan lagi mau menggangguku,”
Seakan mengerti kalau pria di hadapannya tidak memercayai apa yang diucapkannya, Mentari menunjukkan video saat pria tua itu melawan para perundung juga preman yang menjadi backingan mereka seorang diri. “Lihat ini!”
Laut terkejut melihat apa yang ada di layar ponsel Mentari, tapi ia tidak berkata-kata sampai membuat wanita di hadapannya kembali bertanya. “Kau masih tidak percaya?”
“Aku bersyukur untukmu,” jawabnya sambil menyeruput teh omija.
“Dia pria yang hebat. Itu kenapa aku mau membantumu,” Mentari menanggapi. “Kau tahu apa yang paman itu bilang?” sambungnya sambil menatap tajam ke arah Laut. “‘Para pembuli adalah orang-orang pengecut, itu mengapa mereka mencoba menjatuhkan orang yang lebih baik dari mereka,’”
Laut mengangguk, melanjutkan makan dan membiarkan wanita di hadapannya meluapkan segala ekspresinya yang mungkin telah lama ia pendam selama ini.
“Ah ... dia benar-benar pria yang hebat. Kalau saja dia tiga puluh tahun lebih muda, aku pasti mau jadi istrinya,”
Laut tidak merespons, bahkan tak melemparkan tatapan tajamnya.
“Kau pasti bisa jadi seperti paman itu!”
Laut mendengus. “Kita berpisah di sini,” ucap Laut seraya meletakkan sumpit. Menyudahi makan sorenya membuat Mentari terkejut.
“Kau mau meninggalkanku?” tanya Mentari sedikit berteriak.
“Apa rencanamu?” Laut balik bertanya sambil membereskan barang-barangnya.
“Tentu saja, aku akan mulai hidup yang baru!” Mentari berteriak penuh keyakinan.
“Kita akan bertemu lagi nanti,” ungkap Luat seraya bangkit dan menggendong tasnya.
“Hanya untuk menagih utang?” tanya Mentari bernada kesal.
Laut tidak langsung menjawab. Tatapannya yang tajam membuat jantung berdegup kencang. “Hubungi aku kalau sesuatu terjadi.” katanya lalu meninggalkan wanita itu begitu saja.
Sementara Mentari menengadah kepala dan menghela napas. “Aku harus berubah seperti bocah itu,” ucapnya dengan menatap makanan di hadapannya. “Sudahlah, makan dulu.”
***
“Sudah jadi?” tanya Laut ke petugas konter.
Si petugas mengangguk lalu menyerahkan ponsel yang baru saja ia perbaiki.
Setelah mengecek ponsel miliknya, Laut melakukan pembayaran dan meninggalkan konter itu dengan perasaan lega.
Seperginya Laut, pria yang bertugas mengambil handphone miliknya dan menelepon seseorang. “Aku dapat salinannya,”
“Sesuai kesepakatan, aku tunggu Sabtu malam di Kebun Mangu,” tanggap pria di sana lalu langsung menutup telepon.
Si petugas konter menyeringai. Menyimpan ponselnya dan menuju ruang belakang di mana telah terikat seorang pria dengan hanya memakai pakaian dalam.
“Kau tahu ... apa pun bentuknya, besi tetap bisa hancur karena karat,” ucap si petugas konter seraya mengarahkan ujung obeng ke tengkuk leher pria di hadapannya. “Itu juga berlaku untuk Kuroken,” tambahnya dengan menghunuskan obengnya.
Tubuh pria itu menegang berbarengan dengan darah segar yang mengalir deras.
Si pria tadi bangkit lalu membersihkan darah yang tersisa dengan sapu tangan. Ia kemudian keluar dari konter tersebut setelah memakai kembali pakaian miliknya.
Tepat setelah pria itu keluar dari mall, seorang berpakaian serba hitam dengan topi berwarna serupa menyamakan langkah dengannya sembari berkata, “Kerja bagus Matthew,” lalu menyerahkan jaket hitam yang langsung dipakai pria itu.
“Apa lagi selanjutnya?” sambung si pria blackcloth.
“Siapkan jibakutai sebanyak mungkin,” tanggap Matthew. “Mulai sekarang, aku mau hanya akan mengamati,”
“Apa pun, demi No Mercy.”
--------------------
Pasukan berani mati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kustri
di part sblm'a Fara yg 6th ditinggal sendir, dr mana dia dpt uang u/ bertahan hidup & sekolah, trus pas Ghazi kluar penjara lgsg ke dokter praktek🤔janggal
tp qu penasaran alur'a bagus, beda ama yg lain
2023-07-21
0
Penulis Noname
wow
2023-07-13
0