“Apakah aku sudah mati? Kenapa tubuh ku rasanya ringan sekali. Kalau benar aku sudah tiada, dimana jasad ku di kubur?”
Hana merasa berjalan di dua dunia. Dia berputar-putar di wilayah gunung keramat. Sosok pria tanpa bola mata menarik rambutnya. Hana menahan rambutnya, sosok yang itu semakin lama semakin tinggi. Hana di banting sampai perutnya robek.
Keanehan tidak merasakan sakit juga tidak ada setetes darah yang mengalir. Hana berlari sampai berhenti melihat tumpukan akar menjalar menutupi sesuatu. Akar hidup itu jika ada satu benda yang menyentuhnya maka akan langsung bergerak menyerang.
Hana dengan mudah bisa melewatinya, akar yang bergerak terbuka lebar memperlihatkan gua bebatuan besar. Nardi dan Didim yang sudah menjadi mayat, potongan tubuh berserakan dekat meja sesajian. Dua sosok arwah itu menghampirinya, mereka melongo melihat dirinya bisa berdiri tegak tanpa ada luka di kakinya.
“Hana, akhirnya kaki kamu sembuh juga aku senang banget lihatnya” ucap Didim tersenyum.
“Yuk kita keluar dari tempat ini..”
Nardi menarik keduanya berlari menjauh dari dinding gua. Hana belum sempat mengatakan mereka bukan lagi berwujud manusia. Tenda bekas perkemahan yang mereka tinggal terisi lagi dengan kegiatan sendiri-sendiri. Nardi mencari kayu, Didim mencari air sedangkan Hana membersihkan setiap tenda.
“Aku dan mereka masih hidup atau sudah mati? Barang-barang ini masih bisa kami sentuh” ucap Hana berbicara sendiri.
Ranting-ranting pohon sedikit basah, gerimis rapat seperti tidak mengenai tubuhnya. Dia mempercepat gerakan mengumpulkan semua kayu. Di depan tenda dia menutupi dengan potongan terpal berukuran kecil. Api unggun yang tidak bisa dia hidupkan, ranting basah menghalangi bersama gangguan yang mulai berdatangan. Sosok tangan puntung keluar dari dalam tanah, kaki Nardi tertarik ke dalam. Dia menjerit minta tolong, Hana dan Nardi yang menghilang memperlihatkan tenda-tenda kosong.
“Tolong! Teman-teman! Arghh!”
Tubuh Nardi terbenam sampai bagian pinggang. Kemuning yang melihatnya langsung membantu menariknya ke atas. Dia tau temannya telah lama meninggal di santap Capit, tapi tetap saja Kemuning masih menerka setiap kejadian yang seolah nyata dia alami.
“kemuning, kamu lihat Nardi dan Hana nggak? Mereka baru aja menghilang. Apa Capit yang mencuri mereka ya? Oh ya kamu bawa siapa?” tanya Nardi memperhatikan wanita pendaki di belakangnya.
“Sahabat aku, kenalin namanya Ayu..”
Nardi pingsan setelah berjabat yang dengannya. Wajah Ayu tergores jelas sosok hantu bersama sentuhan tangannya yang sangat dingin. Sosok hantu pendaki itu memindahkan Nardi ke dalam tenda. Kemuning menyalakan bakaran api unggun, dia melihat kehadiran Hana yang tidak melihatnya melambaikan tangan.
“Hana, aku disini. Kamu kok nggak lihat sih! Halo!”
Hana berjalan menghilang menembus tubuh Kemuning sampai dia terjatuh.
Nardi membuka mata melihat bakaran api di depan tenda. Dia tidak merasakan rasa hangat sama sekali, melirik di bawah pohon dekat tenda, Didim tertidur menunjukkan wajahnya yang sangat menyeramkan. Nardi ketakutan berlari melihat penampakan Didim yang ternyata berubah menjadi hantu.
“Hah! Hantu!”
Nardi berlari masuk ke lebih dalam ke bagian hutan berkabut, cahaya matahari menghilang saat itu gumpalan asap hitam di tengah hutan membentuk Gendoruwo mendekati Farsya. “Ternyata Erik juga sudah meninggal, pantas saja selama ini hanya Farsya yang bisa melihat suaminya. Jangan-jangan sosok di itu adalah jelmaan Erik yang lain! Nggak mungkin Erik meninggal jadi gendoruwo!” gumam Nardi sambil bersembunyi memperhatikan mereka.
......................
Di dalam ruangan ICU, Hana belum bisa menjalani operasi. Mereka menunggu keputusan wali pasien yang sampai saat ini masih meminta dokter menunda beberapa hari lagi. Operasi besar itu harus benar-benar mendapat persetujuan suaminya.
Ujung puncak keputusan bulat operasi pengangkatan luka yang membusuk melalui jalur operasi atau menyambung tulang memperlambat kesembuhan dalam jangka waktu yang sangat lama. Sebelumnya kedua orang tua Hana memutuskan tidak lagi menunda operasi anaknya. Dokter menyebutkan kalau operasi berhasil maka anaknya akan sembuh menggunakan kaki sambungnya akan tetapi jika operasi gagal karena luka busuk yang mengharuskan dia kehilangan kaki kanannya.
“Kita harus segera menandatangani surat operasi itu pak. Kasian anak kita” ucap Nia menyeka air matanya.
Meminta penyembuhan anaknya melalui jalur medis dan perdukunan. Mendatangi pria yang di kenal bisa membantu segala permasalahan hidup secara instan. Tepat di depan rumah, menunggu Capit yang di kabarkan akan kembali dari persemediannya. Mbok Mijan menyuguhkan dua gelas air minum lalu segera pergi masuk ke dalam. Hamdi yang sangat kehausan langsung meneguk habis air yang terasa getir dan dingin. Air itu bukan lah sirup atau pewarna buatan, darah kental yang di suap di sisa tetesan terakhir pada bibir berbau anyir dan lengket.
“Bu, ini minuman apa ya?”
“Sudah jangan memperdebatkan minuman yang sudah habis pak. Kan bapak sendiri yang mengajak ibu kesini.”
Selangkah masuk ke dalam gerbang, sekujur tubuh Nia merinding. Dia berkali-kali menoleh ke belakang memastikan lagi tidak ada yang mengikutinya. Menahan diri tidak menyentuh sedikitpun minuman atau makanan yang di bungkus daun pisang di atas meja. Di antara pepohonan besar, sosok anak kecil menangis masuk ke dalamnya.
“Bu, mau kemana bu?”
“Itu tadi anak anak kecil di dekat pohon pak..”
“Jangan kesana bu, ada banyak hal yang harus di jaga. Ibu jangan membuat diri ibu jadi menderita sendiri” ucapan wanita itu semakin membuatnya merinding.
Nia kembali duduk di kursinya, melihat suaminya yang banyak melakukan gerakan. Pak Hamdi bertanya dimana letak toilet. Dia sedari tadi menahan ingin buang air kecil. Karena sudah merasa sesak, pria itu berlari setelah mbok Mijan menunjukkan letaknya.
Di dalam kamar mandi, penampakan kaki yang berdiri di depan pintu mengagetkannya. Kaki berlumpur menggedor pintu di sambung suara yang memekik.
“Arghh!” teriak Hamza.
Pintu terkunci, kaca toilet yang tiba-tiba pecah mengenai tangannya. Pecahan kaca yang mengenai darah di jilatin sosok anak kecil berpakaian kebaya. Melihat pintu tiba-tiba terbuka, Hamza berlari kocar-kacir, dia keringatan menarik istrinya untuk pergi.
“Kalian siapa?”
Capit berdiri bertolak pinggang memelototinya. Mbok Mijan menyambutnya, dia membungkuk memberikan nampan yang sudah dia isi dengan berbagai benda ritual.
“Selamat datang kembali tuan, dua tamu ini sedari tadi menunggu..”
Tamu yang tidak di undang di antar ke kamar khusus pertemuan melakukan transaksi ghaib. Nia memandangi cat dinding berwarna hitam, tirai hitam menutup jendela. Di dalam ruangan membuatnya terbatuk karena asap kemenyan. Niatnya padam melihat sosok Capit mengucapkan mantra yang aneh, dia juga meneguk minuman berdarah sampai memakan bunga.
“Pak , sebelum terlambat. Kita pulang saja yuk.”
“Hati bapak sudah mantap bu, bapak yakin anak kita kena guna-guna. Bapak mau dia sembuh dari komanya..”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
opuna
hantu kebaya
2023-06-10
0