“Farsya.. bangun! Ayo pulang!” suara Erik memanggilnya.
Pandangan memperlihatkan wujud Erik berpakaian kotor dan basah. Dahi mengeluarkan darah yang menetes dari kepala. Mulutnya tidak bisa berkata, pita suara terhenti menahan tindihan sosok hitam yang sangat berat. Sosok hitam berbulu berwajah Erik dan satunya lagi sosok mayat berwajah Erik pula.
“Kau terlalu lama berpikir. Putuskan saja aku suami yang selalu menjaga mu disini. Aku bahkan bisa menyentuh mu sayang..” suara sosok hitam menggema di dalam derasnya hujan.
Erik yang palsu memegang tangannya, dia memasukkan cairan kental berdarah ke dalam mulutnya. Tersadar dari dalam mimpi, Farsya tersedak sesuatu dari dalam mulutnya. Dia memuntahkan darah bercampur nanah. Di sekeliling kabut, tidak terlihat dimana jejak teman-temannya berada.
“Teman-teman, kalian dimana?”
Farsya sempoyongan berjalan berpegangan pada setiap pohon. Dia membungkuk melihat Capit berjalan menuju ke arahnya. Di pikirannya, jangan sampai pria itu melakukan hal aneh. Dia masuk ke dalam celah yang sempit, menutup tubuhnya dengan dahan pohon yang tumbang. Menahan beratnya kayu yang basah, beberapa menit berlalu terdengar teriakan suara Didim minta tolong.
“Sakit! Ampun pak! Arggh!”ucap Didim berkali-kali.
Farsya mengikuti kemana pria itu membawanya, dia tergelincir menahan kakinya yang terkilir. Berdiri mencari pegangan, langkah pincang mengingat letak Didim di bawa ke sebuah gua bebatuan raksasa yang bersembunyi di balik akar yang tertutup.
Dia berjalan mundur ketika melihat Capit berjalan keluar. Takut tertangkap, Farsya malah terjebak di dalam kurungan lubang yang dalam. Tubuhnya yang bermandikan lumpur menangis berusaha naik ke permukaan.
“Ahahah! Kau pikir aku tidak tau dari tau kau mengikuti ku! aku sengaja membiarkan mu masuk sendiri. Dasar tikus kecil!” cercah Capit.
Ada pembatas jalan keluar masuk pada setiap cela bebatuan maupun tanah yang menghimpit. Capit menyeret tubuhnya, jambakan kuat di dalam tangisan Farsya yang merasakan urat dan rambutnya seperti mau lepas.
“Hiks! Tolong!”
“Percuma saja kau teriak. Tidak ada yang mendengar mu!”
Di hadapannya Didim tidak sadarkan diri di ikat dekat meja panjang. Farsya melihat benda-benda aneh yang tersusun di atasnya. Salah satu benda yang menakutkan adalah kerangka tengkorak yang terpisah di taburi bunga-bunga berwarna. Kelopak mata yang bolong mengeluarkan hewan-hewan kecil. Capit menyiraminya dengan darah.
Dia bersuara aneh, ucapan perkataan yang tidak jelas. Matanya tiba-tiba melengos melihat dirinya, Capit mengeluarkan kecil. Dia mendekati Farsya, pandangannya melihat ke belakang sambil menganggukkan kepala. Menekan ujung jari telunjuk, darah menetes di tampung pada wadah kecil.
“Ahahah!” tawa Capit menggelegar.
......................
Akar merambat membentuk pintu rahasia.
Kekuatan ilmu hitam menggerakkan makhluk arwah gentayangan masuk ke dalam akar pohon kehidupan. Di dalam gua rahasia khusus menjalankan sesajian dan ritual tumbal, sosok Capit geger di takuti para warga yang berdomisili di luar kaki bukit.
Saat bulan tertutup awan hitam, suara serigala yang mengaum menandakan sihir-sihir di udara berterbangan di sekitar gunung keramat. Suara yang terlalu kuat membuat perkampungan tetangga memukul kentungan sebagai pengusir bala dan gangguan makhluk halus sampai pagi menjelang.
“Ini salah ku, terlalu nekad mengikuti mu masuk ke hutan. Kau yakin katanya gunung ini bisa mengabulkan segala hajat?”
“Stth! Jangan banyak tanya. Kamu udah mantap ikut jadi nggak bisa mundur lagi.”
Dua pria mencari sosok pria yang disebut-sebut bisa membantu mengatasi masalah hidup. Manusia yang terlilit hutang, kesempitan kebutuhan ekonomi dan kesulitan hidup membuat mereka nekad mencari cara siap saji tanpa memikirkan akibatnya.
Selama berjam-jam mencari rumah pria yang berama Capit, kedua menyerah menuruni kaki gunung. Suara lengkingan kuntilanak mengangetkan, keduanya menjerit ketakutan berlari tanpa terasa sampai di sebuah bekas bangunan lama. Dahulu tempat itu di jadikan sebagai peristirahatan para pendaki. Mulyo dan Nasib di kejutkan kembali dengan penampakan pria tua yang dari dalam membuka pintu.
“Dia hantu atau manusia ya?” gumam Nasib memperhatikan kakinya berpijak di atas tanah.
“Permisi pak, kami mau cari pak Capit” ucap Mulyo tersenyum nyengir melihat lingkar matanya sangat hitam.
Raut wajah pria itu berubah marah, dia membanting keras pintu dan mengusir mereka agar segera pergi. Karena tidak di terima masuk, keduanya menunggu di luar sekalian berteduh menunggu hujan reda. Kedua pria yang tertidur pulas, sama-sama bermimpi di cekik makhluk besar berbulu hingga mereka hampir meninggal kehilangan nafas. Pria menyiram keduanya, terbangun mengatur nafas sambil melihat kaos mereka sedikit robek.
“Mimpi ku nyata!” batin Mulyo.
Dia melihat bekas cekikan membiru di leher Nasib. Dia pun bertanya mengenai mimpinya yang ternyata sama persis dengan yang dia alami. Mulyo yang sudah sangat ketakutan berlari meninggalkan Nasib, keduanya terpisah di dalam hutan. Pria tua itu melihat mereka di ikuti sosok penunggu yang mulai memangsa.
Sesuai namanya si Nasib, hari ini dia mendapatkan nasib keberuntungan masih bisa selamat setelah terhempas jatuh ke jurang. Sikunya yang terluka di tahan dengan ujung bajunya. Dia meringis kesakitan meraih bebatuan, akar pohon, menapak tanah berusaha naik ke atas. Pria tua berdiri melipat kedua tangan memelototinya.
“Pak, bapak hantu atau manusia? Saya mau mencari pak Capit” ucapnya terbata.
“Perlu apa kau mencarinya? Apa kau tidak takut sebelum bertemu dengannya nyawa mu sudah di jemput makhluk lain?”
“Hihh, jangan pak! Saya belum mau mati. Saya mau mencari uang pesugihan. Tapi sebelumnya bantu saya mencari teman saya pak..”
Dia tidak jadi di bunuh karena mau menjadi pengikut setan. Pria yang teriakan di luar gua dia lepaskan karena mau menyembah iblis yang dia puja. Mereka berdua di giring ke sisi gua bebatuan, Capit mulai menggali lubang. Tanah yang sedikit dalam, masing-masing lubang terpisah keduanya di suruh masuk dengan niat setulus jiwa menyerahkan diri untuk jin iblis pesugihan.
“Sib, kamu yakin?” bisik Mulyo setengah hati masuk ke dalam lubang.
Belum apa-apa cacing menggeliat di dalamnya. Nasib mengangguk setuju, tubuhnya lebih dahulu di kubur hingga tanah menutupi bagian batas leher. Di atas kepala mereka mulai di siram air bunga, Capit membaca mantra. Dia menyemburkan air kumuran membuat Mulyo tersedak ke bauan.
“Uhuk! Huek!
“Diam!” bentak Capit.
Tubuh mereka mulai menjalar hewan melata. Seekor Lipan menggigit leher Mulyo, pria itu mulai merasa demam, lidar getar hingga sulit bernafas. Nasib melihat Mulyo yang Nampak sekarat, panggilannya tidak terdengar sampai kepala pria itu tergeletak dan kehilangan kesadaran.
“Pak Capit! Tolong teman saya pak! Pak Capit!”
"Kenapa kau berteriak? Kau saja belum tentu tertolong! Hanya keberuntungan yang akan menyelamatkan kalian!” ucapnya sangat keras mengabaikan Mulyo yang mulai membiru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments