Berhenti di pos tiga, mereka bahkan belum memulai pendakian atau mendirikan tenda. Teriakan mencari teman-temannya yang hilang. Malam hari di sambut suara melengking mengagetkan Farsya dan lainnya.
“Duer!” kejutan makhluk halus dari belakang membuat dia jatuh pingsan.
Bola mata Farsya naik ke atas, pupil mata memutih. Dia kejang-kejang bergetar tertawa terbahak-bahak. Hana mengingat perkataan si juru kuncen agar tetap membawa benang berwarna merah bercampur hitam dan putih yang di lilitkan masing-masing di tangan mereka.
“Gelang milik Farsya masih ada di tangannya, tapi kenapa dia bisa kesurupan?” gumam Hana.
Seorang pria tua yang memakai topi capit berkomat-kamit menyemburkan asap rokok ke wajahnya. Farsya terkulai lemas, tatapan kosong merasakan tubuhnya seakan tertindih. Kalau menurut rute menunjukkan arah, mereka akan segera sampai di pos tiga. Tapi tidak ada yang mengetahui pria yang berpura-pura menolong Farsya telah mengubah belokan awal dari tempat mereka akan berjalan ke puncak.
Didim dan Nardi kembali ke rombongan tanpa menemukan Jaja ataupun Legi. Si pria tua berlagak menyamar seperti pemandu pendakian. Dia menyarankan akan mendirikan tenda di bagian wilayah dekat pohon raksasa.
“Loh bapak tadi kemana? Cepat banget hilangnya?” tanya Nardi.
“Sayang, temenin aku buang air kecil Yuk” ucap Farsya menarik jaket Erik.
“Hei kalian berdua jangan lupa pesan si juru kuncen sebelum kita mendaki kesini. Kita tidak boleh melakukan hal-hal di gunung.”
“Berisik kamu kemuning! Manusia jomblo tuh bawaannya sensi lihat pasangan yang lagi bermesraan” sindir Farsya menggandeng Erik pergi.
“Kamu kok jadi kasar gitu sih Far? Maaf Kemuning, Perasaan aku merasakan Jaja dalam bahaya. Aku harus segera menyusulnya!” Hana berlari mencari Jaja.
“Han.. Far…”
Mereka akan menikah bulan depan, cincin tunangan telah tersemat di jari manis. Hana yang tidak memperdulikan penampakan di sepanjang hutan memberanikan diri mencari Jaja di dalam kegelapan. Brughh__ krakk_
Tubuh Jaja terguling masuk jurang, kaki terasa lumpuh sebelah. Dia menjerit minta tolong di samping kesakitannya. Hana mendengar suaranya, dia mencari sumber suara yang mirip Jaja berasal. Menyorot senter ke jurang. Dia terkejut melihat Jaja ada di bawah, tangannya meraih akar pohon yang kuat untuk mencapai dasar.
Di pertengahan akar gantung, turun selangkah demi selangkah namun menarik akar mulai lapuk dan keropos. Tubuhnya kembali terbanting, samar-samar melihat kerumunan orang-orang yang berjualan. Dia ingat sebuah lokasi yang sering di bicarakan pengalaman para pendaki. Melihat sebuah pasar ghaib sama persis suasana manusia.
Berjalan mendekati orang-orang yang berjualan, wajahnya dan gerak-gerik mereka tidak menunjukkan mereka adalah makhluk halus. Kaki Jaja terhenti di depan penjual sate, tusukan harum daging yang mengepul di atas bakaran membuat perutnya keroncongan. Dia merogoh kantung, terselip selembar uang seratus ribu dan dua lembar lima ribuan.
“Pesan satenya satu ya pak..” ucapnya.
Penjual itu tidak menyahut, dia hanya sibuk mengipasi daging. Berpikir pendengaran si pria tua yang hanya memakai celana panjang tidak mendengar karena suasana pasar yang ramai. Gerakan cara membeli Jaja lalu menyodorkan uang ke arahnya. Dia meraih selembar uang lima ribuan, Jaja bingung harga sate yang terbilang cukup murah di dalam hutan.
Karena tidak sabar menunggu, dia mengambil beberapa tusuk dari pengasapan. Mendekati meja lalu menikmati sate setengah matang merasakan rasa daging yang sedikit aneh. “Ini daging apa ya? Kok beda!” gumamnya.
Jaja melongo melihat rombongan kuda hitam berhenti di depan pintu masuk. Semua penjual termasuk para pembeli berbondong-bondong mendekatinya. Wanita berbaju kebaya turun tersenyum mengangkat tangan lalu menganggukkan kepala. Wajahnya sangat pucat, Lipstik hitam, hiasan emas berbentuk bunga. Dia melihat Jaja yang memperhatikan, tiba-tiba Jaja merasa ada hewan yang menggeliat di mulutnya.
“Uhuk, Huekk. Cih! Apaan nih?” dia menarik cacing yang panjang dari dalam mulut.
Sisa sepotong daging di tusuk sate menggeliat hewan berlumur darah. Jaja memuntahkan seluruh isi perutnya, dia memukul dadanya yang terasa saki. Semua orang memperhatikannya dengan tatapan mengerikan. Ketika dia menyorot senter ke wanita yang jaraknya agak dekat. Dia melihat sosok hantu tanpa mata tersenyum menjulurkan lidah.
“Ahhh! Hantu!” Jaja di kejar-kejar para penghuni pasar, dia berlari menerobos semak belukar hingga pingsan terbentur pohon besar.
Kemuning yang tidak mau kehilangan Hana mengejar meski kakinya terluka tersandung batu. Dia menarik sahabatnya yang hampir celaka masuk ke dalam jurang. Memeluk Hana dan berjanji akan bersama-sama membantu mencari Jaja kekasihnya.
“Jangan bertindak gegabah sendirian Ini hutan Han, bukan jalan umum. Kamu nggak tau apa yang ada di dalamnya. Aku nggak mau kamu kenapa-napa”
“Kemuning.. hiks.”
Pria tua bertopi capit mengomando perjalanan mereka, Kemuning melihat gerak-geriknya yang aneh. Dia berbisik pada Hana, keyakinannya lelaki itu ada maksud yang terselubung. Akan tetapi, tidak satupun teman-teman yang mempercayai perkataannya. Mereka percaya lelaki itu adalah si pemandu yang sengaja menyusul setiap para pendaki di dekat pos tiga.
“Tapi Han, jelas-jelas di peta kalau kita harusnya belok kanan!” bisik Kemuning.
“Jangan berpikir negatif, aku yakin ini rute yang benar karena kita mau mencari Jaja dan Legi” jawab Hana mendahuluinya di depan.
Lelaki tua itu tiba-tiba berhenti, memutuskan agar mereka mendirikan tenda. Tempat yang terbilang cukup angker, terlalu banyak semak belukar dan jauh dari letak awal lokasi pos. Tenda siap terpasang, api unggun dan yang terakhir Nardi mengambil sekantung plastik besar garam untuk di tabur di sekitar tenda. Pria tua merampasnya, dia mengatakan garam tidak lah penting kalau keselamatan tidak di jaga sendiri.
“Tapi kata si juru kuncen sebelum kami naik, dia berpesan untuk membawa ini dan menggunakannya ketika tenda sudah terpasang pak” ucap Nardi mulai memperhatikan keanehannya.
“Tidak, dia terlalu tua mengingat apa saja yang di larang dan tidak. Aku akan kembali lagi besok!”
Nardi membuntutinya, langkahnya sangat cepat. Di sepanjang jalan dia sambil mengingat-ingat arah kembali ke tenda. Tapi, ketika dia berhenti di dekat bebatuan. Laki-laki itu menghilang di bawa kabut putih tebal.
“Gawat! Udah mulai kabut! Aku harus kembali!” gumam Nardi.
Di dalam hutan belantara, suara-suara aneh terdengar jelas. Rintik hujan, angin kencang seolah mau menerbangkan tenda. Semalaman mereka terjaga, Kemuning bertayamum menggelar ibadah dua rakaat berharap perlindungan pada Allah Yang Maha Esa.
“Kamu nggak sholat Han?”
“Nggak, kamu aja deh. Pikiran aku lagi banyak banget. Do’ain aku ya kemuning. Eheh!” jawabnya menolak.
Jaket, matras dan selimut membungkus tubuh mereka yang menggigil kedinginan. Bahkan sampai pagi hari, hujan masih bersambung dengan kabut putih tebal. Mereka tidak bisa meneruskan mendaki agar naik ke puncak. Didim dan Legi terkejut melihat Erik ada di samping mereka.
“Erik, kamu bukannya semalam sama Farsya?” tanya Nardi melihat wajahnya yang pucat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
tintakering
enak banget di atas gunung ada kang sate😄
2023-06-13
0
💝Spoiled
yang baca jam sekarang angkat tangannya
2023-06-07
0
Berry
👍👍👍👍
2023-06-07
0