Sang Maha Guru yang tengah bertapa di sebuah gua di pedalaman hutan mendapatkan sebuah petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Dia melihat ada sebuah cahaya kecil dari sebuah gua yang amat sangat gelap.
Cahaya itu perlahan besar dan semakin membesar sehingga membuat kedua mata Sang Maha Guru yang sedang bertapa itu pun terbuka. Sang Maha Guru dibuat kaget dengan cahaya yang datang ke dalam pandangan mata batinnya itu.
Sudah berbulan-bulan Sang Maha Guru bertapa di tempat ini. Dia melakukan itu untuk mencari petunjuk bagaimana caranya mendamaikan perang yang sangat berkecamuk ini.
Namun melihat petunjuk singkat yang datang dalam pandangan mata batinnya, Sang Maha Guru pun sudah mengerti dan memahami apa yang akan terjadi. Hanya saja dia masih bertanya-tanya, cahaya apa yang mendatanginya itu.
Sang Maha Guru kembali duduk di sebuah batu tempatnya bertapa. Dia mencoba kembali mengingat siapa saja murid-murid terbaiknya, yang tentunya terbaik dari yang terbaik. Tapi Sang Maha Guru sulit untuk mengingat siapa saja murid yang terbaik itu.
Karena sudah ratusan orang yang berguru kepadanya, dan ratusan orang sudah menjadi murid terbaiknya. Setelah pertapaan yang begitu panjang itu, Sang Maha Guru pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke padepokannya.
Dia ingin menemui muridnya yang sekarang bertanggung jawab atas padepokannya selama ia pergi. Dengan ilmu yang Sang Maha Guru miliki, dalam waktu singkat, tak sampai satu menit, Sang Maha Guru sudah sampai di padepokannya.
Semua muridnya yang melihat Sang Maha Guru sudah sampai di padepokan langsung datang mengerumuninya untuk mencium tangannya. Sang Maha Guru heran, karena diantara para murid itu tidak ada satu pun yang ia kenali.
Mereka semua seperti murid-murid baru yang belum lama di padepokan ini. Lalu tiba-tiba ada tiga orang yang sedang berkuda langsung turun dari kuda mereka dan langsung turun dari kuda mereka.
“Romo! Selamat datang kembali Romo.” Ucap salah satu dari tiga orang itu.
“Damala, Samarin, Santuni. Aku tidak mengenal mereka semua. Siapa mereka-mereka ini?” Tanya Sang Maha Guru kepada ketiga muridnya sembari menunjuk ke arah para murid-murid yang masih mengerumuninya.
“Mohon maaf Romo, mereka semua adalah murid-murid baru di padepokan ini. Kangmas Lare Damar yang membawa mereka semua satu persatu ke tempat ini Romo.”
“Hmmmm... Kemana dia sekarang?”
“Tadi dia sedang bersih-bersih di halaman rumah Romo Guru.” Jawab Damala.
“Ya sudah, kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian. Aku akan menemui Lare Damar.”
“Monggo Romo Guru.”
Sang Maha Guru pun berlalu dari tempat itu untuk menemui Lare Damar. Padepokannya begitu luas dan tempatnya pun sangat bersih. Di sepanjang jalan menuju rumah pribadinya, Sang Maha Guru disambut oleh para murid seniornya.
Mereka semua selalu mencium tangan Sang Maha Guru setiap kali Sang Maha Guru lewat. Tempat untuk menuju ke rumah pribadi Sang Maha Guru sendiri memang cukup jauh. Tempat ini sudah seperti desa. Karena tempat ini amat sangat luas.
Lare Damar yang belum tahu kalau Sang Maha Guru sudah pulang, masih sibuk bersih-bersih di halaman rumah pribadi gurunya itu. Dia membersihkan tempat yang luas itu sendirian tanpa ditemani siapa pun.
Lare Damar orang yang selama ini dipercaya untuk mengurus semua keperluan Sang Maha Guru. Dia juga diberi tanggung jawab untuk mengurus para murid yang ada di tempat ini setiap kali Sang Maha Guru pergi.
Selama Sang Maha Guru pergi, Lare Damar sudah merekrut banyak sekali orang untuk masuk ke padepokan ini. Banyak perkembangan yang terjadi di tempat ini. Sang Maha Guru yang melihat hal itu juga geleng-geleng kepala.
Berbulan-bulan ia pergi dari padepokannya untuk bertapa, Lare Damar sudah membuat tempat ini seperti istana seorang raja. Terutama rumah pribadi milik Sang Maha Guru yang sudah sangat-sangat indah.
“Lare Damar?” Panggil Sang Maha Guru kepada Lare Damar yang masih sibuk menyapu.
“Romo?!” Lare Damar pun terkejut karena Sang Maha Guru datang secara tiba-tiba.
Dia langsung mencium tangan dan kaki Sang Maha Guru. Kepergian Sang Maha Guru yang sudah berbulan-bulan itu membuatnya sangat rindu.
“Romo kapan datang? Aku minta maaf Romo, tidak menyambut Romo di depan.”
“Tidak apa-apa. Apa pekerjaanmu sudah selesai?”
“Belum Romo, tinggal sedikit lagi.”
“Tinggalkan saja. Aku harus membicarakan sesuatu yang sangat penting denganmu.”
“Baik Romo.”
Lare Damar meletakkan alat-alatnya. Setelah dia mencuci kedua tangannya, dia menyusul Sang Maha Guru yang sudah duduk di dalam rumahnya. Tidak lupa dia juga mengambil minuman dan makanan kecil untuk gurunya.
“Sepertinya kamu memang cerdas soal menata tempat Lare Damar. Seharunya kamu menjadi abdi negara. Banyak kerajaan-kerajaan besar yang pastinya membutuhkan orang sepertimu.” Puji Sang Maha Guru pada Lare Damar.
“Ah.. Romo bisa saja. Mana ada orang yang mau menerima orang pincang dan bongkok seperti saya Romo.” Jawab Lare Damar.
Lare Damar memang memiliki fisik yang bisa dikatakan tidak sempurna atau cacat sejak lahir. Orang tuanya bahkan membuangnya karena malu memiliki anak seperti itu. Waktu itu Sang Maha Guru mendapati ada seorang bayi yang dibuang di sebuah hutan.
Bayi itu baru lahir beberapa hari. Dan dibuang oleh orang tuanya karena memiliki fisik yang tidak biasa. Akhirnya Sang Maha Guru membawanya ke rumah salah seorang warga desa yang sekaligus muridnya sendiri.
Mereka adalah keluarga yang tidak memiliki anak. Bayi itu kemudian diberi nama Lare Damar oleh Sang Maha Guru sendiri. Selama bertahun-tahun Lare Damar berada disana dan diurus oleh keluarga itu sampai dia kira-kira berumur enam tahun.
Orang tua angkatnya itu tidak sanggup lagi mengurus Lare Damar karena mereka sudah sering sakit-sakitan akibat wabah kelaparan yang melanda. Karena waktu itu banyak sekali kerajaan yang berperang, hingga mengakibatkan kelaparan dan kerusakan dimana-mana.
Lare Damar terpaksa harus ikut dengan Sang Maha Guru. Tidak lama dari itu, orang tua angkat Lare Damar terbunuh karena penyerangan yang dilakukan oleh Gabah Lanang. Lare Damar begitu sedih dan sangat terpukul mendengar kabar itu. Karena hanya mereka yang benar-benar menyayangi Lare Damar.
Lare Damar sendiri juga tidak diizinkan keluar dari padepokan karena kerahasiaan padepokan ini bisa bocor keluar jika Lare Damar ketahuan keluar dari padepokan oleh Gabah Lanang dan pasukannya.
Padepokan ini terletak di tengah-tengah beberapa bukit, dikelilingi oleh hutan-hutan lebat, dan tidak semua orang sanggup sampai ke tempat ini.
“Damar anakku, jangan pernah menganggap rendah dirimu sendiri. Yang Maha Kuasa tidak menciptakan sesuatu untuk disia-siakan. Pasti ada alasan kuat kenapa kamu dilahirkan berbeda dengan yang lainnya.” Ucap Sang Maha Guru.
“Iya Romo. Terkadang saya malu Romo. Dan sulit percaya kepada orang lain selain Romo. Kalau orang tua saya saja dengan tega membuang saya, lalu bagaimana dengan orang lain?” Ucap Lare Damar yang sedih melihat keadaannya sendiri.
“Anakku, tidak semua orang sama seperti orang tuamu. Kita tidak tahu pasti apa alasan orang tua kandungmu meninggalkanmu di hutan belantara sendirian. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keadaanmu. Saudara-saudaramu di tempat ini sangat menyayangimu. Bahkan mereka memanggilmu Kangmas Lare Damar. Itu artinya masih banyak orang yang peduli padamu.”
“Iya Romo. Terimakasih. Tapi apa saya ini bisa menjadi orang yang berguna Romo?”
“Tentu saja bisa anakku. Suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Sekarang, aku mau tanya, apa Nanda Prabu Jabang Wiyagra datang ke tempat ini selama aku pergi?”
“Iya Romo. Dia sesekali menyempatkan untuk datang ke padepokan ini. Dia bilang, dia sangat merindukan Romo. Tapi dilihat dari raut wajahnya, sepertinya dia tertekan Romo.”
“Maksudmu?”
“Perang antara Kerajaan Batih Reksa dan Kerajaan Reksa Pati sudah menimbulkan kekacauan yang besar Romo. Dan Kerajaan Wiyagra Malela mulai terlibat di dalam perang besar itu.”
“Yah. Aku sudah menduganya. Dia pasti sangat membutuhkanku saat ini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments