Di tengah-tengah perjalanannya menuju Kerajaan Besar Batih Reksa, Prabu Ditya Kalana dihadang oleh ribuan pasukan dibawah pimpinan para pimpinan pasukan terbaik.
Mereka semua adalah para pimpinan pasukan yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil yang berada dibawah kepemimpinan Kerajaan Batih Reksa.
Mereka semua bersatu menyatukan kekuatan untuk menggempur para pasukan dari Kerajaan Reksa Pati. Jumlah mereka juga jauh lebih banyak dari pasukan yang dibawa oleh Prabu Ditya Kalana. Dan mereka semua adalah pasukan berani mati.
Mereka semua adalah orang-orang yang setia sepenuhnya kepada Prabu Sura Kalana. Karena Prabu Sura Kalana bukan hanya memberikan mereka kekuasaan, tapi juga memberikan mereka kehormatan. Mereka sangat-sangat dihargai oleh Prabu Sura Kalana, sekecil apa pun kontribusi yang mereka berikan.
Walau pun Prabu Sura Kalana terkenal kejam dan tidak berperasaan, tapi dia tahu bagaimana caranya memperlakukan musuh dan memperlakukan orang-orangnya sendiri. Sangat jauh berbeda dengan Prabu Ditya Kalana yang suka semena-mena kepada para abdinya.
“Prabu Ditya Kalana! Kau tidak akan bisa sampai ke istana Batih Reksa! Semuanya selesai di tempat ini!” Teriak salah satu pimpinan yang memiliki pangkat paling tinggi diantara yang lainnya.
Orang itu memiliki perawakan yang hampir sama dengan Maha Patih Kinjiri. Badannya tinggi besar dan kekar. Senjata yang ia gunakan adalah sebuah tombak berwarna hitam pekat. Bilah tombak itu sangat runcing. Bahkan bisa memantulkan sinar matahari yang berada tepat di atas kepalanya.
Maha Patih Kinjiri baru kali ini melihat orang itu, karena pada pertempuran yang lain, Maha Patih Kinjiri tidak pernah melihatnya.
“Siapa dia Maha Patih?” Tanya Prabu Ditya Kalana.
“Entahlah Gusti Prabu. Baru kali ini hamba melihatnya. Tapi dari pakaian yang ia kenakan, dia adalah seorang pimpinan pasukan.” Jawab Maha Patih Kinjiri.
“Ini bukan bagianku Maha Patih. Aku serahkan sepenuhnya kepadamu. Kamu yang memutuskan semuanya.”
“Baik Gusti Prabu.”
Maha Patih Kinjiri pun memerintahkan pasukan pemanahnya untuk bersiap.
“Bidik!”
“....Tembak!”
Ribuan anak panah langsung terbang ke atas menuju ke arah ribuan pasukan musuh. Namun dengan sigap, mereka semua langsung menghalau panah-panah itu dengan sebuah tameng yang berukuran sangat besar. Setiap tameng dipegang oleh empat orang prajurit yang berpawakan besar. Tandanya tameng yang mereka gunakan bukanlah tameng biasa.
Semua anak panah yang melesat bahkan tidak mampu menancap di tameng-tameng itu. Sekarang, gantilah musuh yang menyerang pasukan Prabu Ditya Kalana dengan panah. Pasukan Prabu Ditya Kalana juga melakukan hal yang sama. Namun mereka hanya menggunakan tameng-tameng berukuran kecil.
Sehingga beberapa prajurit terkena serbuan panah itu. Anak panah yang dilesatkan oleh musuh jelas lebih banyak jumlahnya karena pasukan Prabu Ditya Kalana sudah kalah jumlah sejak awal. Hal itu dikarenakan sebagian besar pasukan Prabu Ditya Kalana harus tetap berjaga di istana untuk menghindari penyusupan dari pihak musuh.
Itulah salah satu kesalahan yang tidak disadari oleh Prabu Ditya Kalana. Dia sudah sangat bernafsu ingin menyerang Kerajaan Batih Reksa, sehingga dia tidak memperhitungkan semuanya dengan baik. Sama seperti pamannya, Gabah Lanang.
Hingga saat ini, Prabu Ditya Kalana masih belum mendapatkan kabar apa pun dari Gabah Lanang dan pasukannya. Melihat hal itu, Prabu Ditya Kalana menjadi marah kepada Maha Patih Kinjiri yang hanya memperhatikan saja tanpa melakukan tindakan apa-apa.
“Maha Patih! Apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu diam saja?! Serang mereka semua sebelum pasukan kita habis!” Perintah Prabu Ditya Kalana.
Namun Maha Patih Kinjiri hanya tertunduk, karena sejak awal dia sudah memperingati Prabu Ditya Kalana, kalau semua rencana yang ia susun bersama dengan pamannya tidak efektif untuk diterapkan dalam pertempuran ini.
“Maha Patih! Hei!” Prabu Ditya Kalana meneriaki Maha Patih Kinjiri karena dia masih terdiam di atas kudanya.
“Mohon maaf Gusti Prabu, ini adalah jebakan untuk kita semua. Kekuatan pasukan kita sama sekali tidak imbang dengan pasukan musuh. Cara terbaik hanyalah mundur dan menyusun kembali rencana kita dari awal.”
“Apa kamu bilang?! Aku tidak akan mundur sedikit pun dari tempat ini! Semua pasukan! Serang!”
“Gusti Prabu jangan!” Teriak Maha Patih Kinjiri mencoba menghalau Prabu Ditya Kalana.
Namun semua pasukan sudah maju ke depan. Bahkan pasukan pemanah sudah meninggalkan posisi mereka. Para pasukan pemanah melakukan serangan tanpa perintah yang jelas, karena pimpinan pasukan bergerak semau mereka mengikuti Prabu Ditya Kalana yang sudah berada di barisan tengah bersama pasukan pembawa tombak.
Dia melaju dengan sangat cepat dengan kuda kesayangannya. Ini menjadi kesempatan yang bagus untuk musuh untuk melakukan serangan. Mereka mulai menggunakan ketapel mereka untuk menyerang Prabu Ditya Kalana dan pasukannya.
Sekarang yang masih tetap berada di tempat hanyalah hanyalah Maha Patih Kinjiri dan pasukan ketapel yang masih setia menunggu komando dari Maha Patih Kinjiri.
“Maha Patih Kinjiri? Bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?” Tanya pimpinan pasukan ketapel.
“Serang balik ketapel musuh. Hancurkan semuanya. Setelah itu, baru kalian serang pasukan berkuda dan juga pasukan yang lainnya. Jangan berhenti sebelum peperangan ini berakhir. Aku harus maju ke depan untuk melindungi Prabu Ditya Kalana.”
“Baik Maha Patih.”
Para pasukan ketapel pun mulai mempersiapkan batu-batu besar yang sudah mereka bawa. Tak lama dari itu, batu-batu itu dilontarkan ke arah pasukan ketapel musuh. Mereka terus menerus melakukannya untuk menghalangi musuh yang berusaha menyerang ke arah Prabu Ditya Kalana.
Sedangkan Maha Patih Kinjiri sedang berusaha menyusul Prabu Ditya Kalana yang sudah mulai membunuh musuh-musuhnya. Namun dengan jumlah pasukan yang jumlahnya ribuan, campuran pasukan musuh dan pasukannnya sendiri, Maha Patih Kinjiri sangat kesulitan untuk berada dekat dengan Prabu Ditya Kalana.
Pertempuran itu berlangsung dengan sangat-sangat mengerikan. Banyak pasukan yang mati, baik dari pihak Prabu Ditya Kalana atau pun pasukan dari pihak musuh. Keduanya sama-sama saling beradu kekuatan.
Jelas mereka tidak mau kalah. Api berkobar di segala tempat, akibat ketapel raksasa yang diluncurkan. Banyak korban berjatuhan. Namun kedua belah pihak sama-sama tidak peduli kepada yang terluka atau pun yang mati. Karena kedua pihak sama-sama memiliki hasrat yang membunuh yang tinggi. Mereka sama-sama ingin memenangkan pertempuran ini.
Suara teriakan dan suara gesekan pedang terdengar di segala tempat. Tempat yang luas dan hanya memiliki beberapa pohon itu sekarang sudah hampir dipenuhi dengan mayat manusia. Tidak akan lama lagi, tempat itu benar-benar akan menjadi lautan darah dan lautan mayat. Karena yang mati dibiarkan tergeletak begitu saja.
Maha Patih Kinjiri juga kesal dan marah karena keputusan bodoh yang diambil oleh Prabu Ditya Kalana. Seharusnya Prabu Ditya Kalana mendengarkan Maha Patih Ditya Kalana yang lebih sering bersamanya dalam pertempuran. Bukannya malah mendengarkan pamannya yang sok jagoan itu.
Sekarang Maha Patih Kinjiri juga sudah fokus dengan dirinya sendiri. Dia ingin membunuh musuh sebanyak yang ia bisa. Bahkan terlintas di hati dan pikirannya, dia berharap kalau Prabu Ditya Kalana mati dalam pertempuran ini agar semua kekacauan yang ia buat bisa berakhir.
Dia benar-benar menyesal karena sudah menjadi abdi setia Prabu Ditya Kalana yang selalu meremehkan musuh-musuhnya, dan selalu menyelesaikan masalah dengan otot dari pada otak.
Kemarahannya semakin menjadi setelah ia sadar kalau banyak pasukan dari pihaknya yang mati. Sedangkan jumlah pasukan musuh mereka masih sangat banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments