Rasanya sungguh lega bagi Galih setelah mengutarakan seluruh kejujurannya kepada Arum. Beruntunglah juga dirinya yang seakan direstui semesta karena Arum menerimanya tanpa sedikitpun lika-liku. Setelah pendidikannya di Jerman nanti selesai, Galih akan benar-benar menikahi gadis itu. Persetan dengan pertentangan orangtuanya yang mungkin akan muncul, terlebih mengenai usia Arum dan kondisinya yang tidak akan pernah bisa memberikan keturunan untuk keluarga Galih.
Galih tengah merebahkan diri di kamar lain yang bersebelahan dengan kamar yang sedang ditempati Arum. Tatapannya menerawang langit-langit kamar. Meskipun sudah sedemikian lega, tapi ada satu hal dilematis yang masih saja menggelayuti pikiran lelaki itu. Dia begitu ingin menyampaikan hal ini kepada nenek. Selama ini nenek tidak pernah sekalipun menghakiminya dan selalu mendukungnya dalam hal-hal baik. Meninggalkan Arum sendirian di rumah ini setelah kejujuran yang disampaikan kepada nenek maupun bibi sepertinya akan membuat posisi Arum menjadi lebih aman. Nenek akan benar-benar menjaga Arum, karena bagaimanapun juga dia akan menjadi cucu menantunya.
Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Galih memutuskan untuk pergi ke kamar nenek. Di sana, dia melihat wanita itu sedang duduk bersandar diatas ranjang ditemani oleh bibi yang juga sedang duduk di kaki ranjang. Ada dua ranjang di kamar nenek. Sejak beberapa tahun yang lalu, beliau ingin bibi berada di dalam satu kamar yang sama lantaran usianya yang kian senja dan sudah tidak punya tenaga lagi untuk berteriak memanggil bibi.
"Galih, ada apa?" tanya nenek ketika Galih membuka pintu yang saat itu tidak tertutup dengan sempurna. Dibarengi dengan bibi yang berdiri seakan sedang memberi sambutan.
"Galih mau bicara hal penting sama nenek." senyumnya berpendar sembari menutup pintu.
"Nak Galih, biar bibi tinggal dulu ya." wanita paruhbaya itu terlihat rikuh. Khawatir jika kehadirannya akan mengusik privasi Galih dan nenek.
"Tidak usah. Bibi itu sudah Galih anggap sebagai keluarga dekat. Jadi bibi juga perlu tahu tentang ini."
Sejak kecil, hati Galih memang selembut ini kepada orang di sekitarnya. Dia akan lebih menghargai jika posisinya juga dihargai. Nenek telah mengajarkannya banyak hal, terlebih mengenai bagaimana cara memanusiakan manusia. Bibi betah bekerja puluhan tahun dengan nenek, karena kebaikan hati wanita itu.
Galih meminta bibi untuk duduk kembali ke tempatnya semula. Sedangkan lelaki itu menyeret kursi di depan meja rias agar dia bisa duduk di dekat nenek.
Galih menjelaskan dengan hati-hati. Bagian demi bagian supaya tidak akan ada kesalahpahaman diantara mereka. Begitupula dengan nenek dan bibi, mereka mendengarkan dengan seksama dan sesekali memberikan pertanyaan dengan hati-hati. Sama sekali tidak ada penghakiman pada ekspresi yang ditunjukkan nenek dan bibi. Justru sebuah perasaan bangga tersirat karena keberanian dan usaha Galih dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Arum masih sangat muda. Menurut nenek, sambil menunggu, biarlah dia juga mendapatkan pendidikan yang layak di sini. Home schooling. Ambil program percepatan." saran nenek setelah Galih menyelesaikan ceritanya.
Galih mengangguk, mengisyaratkan persetujuan kepada saran yang baru dikatakan nenek.
"Tapi, Nek. Ada satu permintaan Galih. Tolong jangan biarkan mama dan papa tahu tentang ini." sorot mata Galuh sarat akan permohonan.
Sebagai seorang anak, Galih tahu betul bagaimana karakter kedua orangtuanya. Sebenarnya keduanya bukan tipe orangtua yang mewajibkan anaknya untuk mendapatkan pendamping hidup dengan derajat yang sama atau sebanding. Tetapi melihat bagaimana kondisi Arum, berkaitan juga dengan dia sebagai anak tunggal sepertinya sudah terlihat jelas jika Galih akan kesulitan mendapatkan restu.
Dari cerita yang disampaikan Galih, nenek pun juga tahu bagaimana kondisi Arum secara utuh. Tetapi hebatnya, wanita itu tidak butuh waktu dua kali untuk merestui ataupun tersirat dibenaknya bagaimana jika keturunannya hanya berhenti di Galih. Nenek Amini tidak membebankan persoalan anak kepada setiap keluarganya yang telah menikah. Pemikirannya begitu luas, walaupun usianya tidak lagi muda.
"Nenek tahu bagaimana mama dan papamu." nenek menepuk pundak Galih perlahan. Senyumnya begitu rekah.
Bibi juga menularkan senyum. Ada rasa bangga di dalam lubuk hatinya melihat bagaimana seorang bocah lelaki kecil yang dahulu dirawatnya tumbuh menjadi lelaki berpendirian teguh dan bijaksana seperti ini.
"Mas Galih, bibi sangat bangga. Bibi akan menjaga Arum dengan baik di sini."
"Tapi Bi, untuk masa penyembuhan Arum, sepertinya Galih mau mencarikan perawat. Bibi akan kerepotan nanti karena Arum belum bisa melakukan beberapa hal sendirian. Maksud Galih, dia pasti akan sangat membutuhkan banyak bantuan." Galih bukannya menolak, atau bahkan tidak bersyukur, tetapi dia juga memahami kondisi bibi yang tidak muda lagi. Bahkan sejak satu tahun terakhir, Bibi sudah tidak diijinkan untuk memasak. Nenek memutuskan untuk memesan menu pesan antar, langganan. Sehari tiga kali, dan menunya terserah dengan pesanan nenek.
"Bibi mah, bagaimana baiknya saja. Tapi bibi akan selalu siap sedia." wanita itu sedikit terkekeh, tapi sungguh dirinya tidak merasa keberatan jika harus selalu membantu Arum.
Lika-liku kehidupan Arum sungguh sangat menyentuh hati nenek. Ditengah-tengah mendengarkan cerita Galih, kedua matanya berkaca-kaca. Beruntungnya takdir masih mempertemukan Galih dengan Arum. Memang benar jika lelaki itu tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi dan hilang dalam hidup seorang Arum Widuri. Tetapi dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik untuk gadis yang kemungkinan sedang menumbuhkan benih-benih cinta di relung hatinya.
-
-
-
Aku bakalan rajin-rajin update kok😻✌️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments