Menebus Keliru
"Rum, bagaimana mungkin kamu tidak bisa menjaga diri kamu dengan baik ..." ibu menggoyangkan beberapa kali dengan kasar, bahu Arum yang sedang terpuruk dalam tangisnya.
"Bagaimana jika kamu hamil? Apa yang akan orang-orang katakan tentang keluarga ini? Reputasiku pasti juga akan terkena imbas buruknya." Diana, kakak pertama sekaligus anak kesayangan ibu karena sudah berhasil bekerja di sebuah bank turut menghakimi. Omongannya selalu pedas dan kasar kepada adik-adiknya.
Arum hanya terdiam dan larut dalam tangis. Dia tidak menginginkan ini. Jika seandainya dia bisa membenarkan rantai sepedanya yang terlepas ketika pulang sekolah tadi, mungkin saja gadis lima belas tahun itu tidak akan bertemu dengan seorang pemuda mabuk di jalanan sepi yang menyeretnya ke sebuah gubuk untuk melampiaskan hasrat binatangnya. Setelah berhasil mendapatkan itu, pemuda tersebut terburu-buru meninggalkan Arum dengan baju seragam biru putihnya yang berantakan beserta tangis kesakitan dan ketakutan.
"Rum, siapa lelaki itu?" bapak berdiri dari tempat duduknya dan melayangkan tamparan pada wajah penuh air mata putrinya itu.
Mulanya, Arum menggeleng. Kemudian Diana turun tangan. Dicengkeramnya kerah baju adiknya itu.
"Siapa yang melakukan ini?"
"Arum tidak tahu, Arum tidak ingat .. Arum tidak berani melihat wajah itu" jawab Arum lirih dan terbata.
"Ya Gusti, kamu itu bodoh, Arum! Kalau seperti ini bagaimana cara kita untuk bisa menyelediki semuanya. Ini tamat, Rum. Ini buntu." Ibu berteriak frustasi, meskipun jika tahu siapa yang melakukan ini kepada Arum belum tentu bisa dimintai pertanggungjawaban, tapi setidaknya ada peluang. Setidaknya ada petunjuk untuk permasalahan yang runyam ini.
Di ruangan itu, sebenarnya tidak hanya ada Arum, ibu, bapak, dan Diana. Tetapi juga ada lima orang lainnya. Keluarga ini punya tujuh orang anak. Lima perempuan dan dua laki-laki. Arum adalah anak ketiga. Kakak kedua adalah Paramitha, kemudian yang keempat adalah Marissa, lalu Kirana, dan si bungsu yang kembar dan sekarang masih balita Ammar dan Ammir yang ikut serta melihat penghakiman terhadap kakaknya saat ini.
"Pak, kita punya empat orang anak perempuan yang lain, mereka belum menikah. Jika rumor tentang ini menyebar maka tamatlah kita, Pak." Asrini tidak menangis untuk penderitaan putrinya. Tidak ada air mata di wajahnya, melainkan hanya kekalutan karena khawatir terhadap masa depan anak-anaknya yang lain. Dan tentu saja tentang harga dirinya dan suaminya.
Wanita empat puluh tahun itu mencengkram lengan Jamil, suaminya. Dia menunggu keputusan dari si kepala keluarga tersebut. Sedangkan lelaki itu mulai menimbang perkataan istrinya.
"Ibu, Bapak, tolong jangan lepaskan Arum." dengan menyeret tubuhnya mendekat, Arum memeluk kaki ibu dan bapaknya. Memohon belas kasihan. Tapi yang gadis itu saksikan hanyalah amarah. Amarah yang menyala-nyala.
"Pak, aku bersumpah tidak masalah jika aku harus kehilangan satu anak yang sudah aku kandung dan besarkan dengan penuh cinta ini, daripada seluruh bagian dari kami harus menanggung aib yang dia perbuat." Ibu menunduk ke arah Arum dengan tatapan penuh kebencian.
Bapak sebenarnya masih terlihat kebingungan, tapi dia kemudian berdiri dan menyibak gorden. Malam mulai larut. Tidak ada siapapun di luar sana.
"Mitha, tolong masukkan baju secukupnya di tas." titah Bapak yang segera dituruti oleh gadis delapan belas tahun itu. Marissa dan Kirana mengekor, turut membantu sang kakak.
"Pak, tolong jangan buang Arum." gadis itu menangis histeris. Kini dia bergelayut di kaki bapaknya yang sedang berdiri sambil mengisap sebatang rokok yang baru saja dinyalakan. Di belakangnya, ibu dan Diana duduk bersebelahan, bersedekap tangan. Melihat Arum sebagai seonggok sampah yang memohon untuk dipungut.
Setelah Paramitha menyerahkan satu tas berisi baju, dengan sigap bapak dan ibu menyeret Arum yang tetap menggunakan seragam sekolahnya ke luar rumah yang kemudian dimasukkan ke dalam mobil pick up yang biasanya digunakan bapak untuk mengangkut pasir setiap harinya. Bapak mengemudi. Arum berada di tengah. Ibu juga turut serta.
Arum menangis dan tak berhenti memohon di sepanjang perjalanan. Tapi kedua orangtuanya tidak menggubris. Bapak melajukan mobilnya dengan cepat. Melewati hutan-hutan yang begitu menyeramkan di malam hari. Perjalanan hampir memakan waktu tiga jam, hingga mobil Bapak berhenti di sebuah pemukiman sepi karena memang tengah malam.
"Malam ini, kamu tidur di depan emperan toko itu. Untuk hari-hari selanjutnya, itu adalah tanggung jawab kamu." Bapak menunjuk sebuah toko tutup yang tidak jauh dari mobilnya berhenti.
"Pak, tolong Pak .." suara Arum nyaris habis karena terus-menerus memohon.
Ibu kemudian menyeret Arum ke luar dari mobil sambil melemparkan tas berisi pakaian. Walau terjatuh, Arum tetap berusaha bangkit untuk kembali kepada Bapak dan ibunya. Tapi terlambat, Ibu sudah menutup pintu mobil itu.
"Rum, jangan pernah sekalipun mencoba kembali. Ibu akan mengatakan kepada semua orang di desa bahwa kamu pindah ikut keluarga lain dan hilang kabar." ucap Ibu setelah membuka sedikit kaca mobilnya. Kemudian mobil yang bisa dikatakan butut itu melaju kencang, membiarkan tangis Arum semakin kencang juga.
"Arum tidak ingin di sini ..." teriaknya penuh luka dan air mata.
Halo, para pembaca
Ini karya terbaru aku, semoga kalian suka
Aku butuh support dari kalian, dan terimakasih sudah mampir💖💖
-
-
Salam, paling hangat 😚😚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Eemlaspanohan Ohan
nyimak nih
2024-10-04
0
?
astaghfirulloh,,
Anak kok dibuang,, Arum gk salahlah..
sungguh rumah yg jauh dr kata nyaman, bukan tmpat berlindung bgi anak2
2024-08-01
0
Nana Nana
bkan salah arum pon,org tua iblis😤
2024-04-02
1