Arum sedikit mengencangkan genggamannya pada tangan Galih. Rasa sakitnya seperti sesuatu yang hilang timbul. Seperti dicengkeram. Benar-benar sakit sekali.
"Aku panggilkan dokter saja, ya." Galih tidak tega. Dia ikut meringis seperti menahan pedih melihat ekspresi Arum yang seperti terbuai dalam perihnya.
Arum tidak merespon, tapi entah apa yang sedang terjadi, atau memang ini tepat waktu, tiba-tiba seorang dokter bersama seorang perawat datang. Katanya mereka hendak melakukan kunjungan pasien. Dengan segera Galih mencoba melepas genggaman Arum untuk memberikan dokter tersebut akses agar bisa lebih leluasa dalam melakukan pemeriksaan.
Dokter tersebut bertindak dengan cekatan. Sebelum bertanya dan mengatakan apa-apa, dia dibantu seorang perawat yang datang bersamanya tadi untuk menyuntikkan semacam cairan pada kantong infus Arum.
"Ditunggu ya, mungkin sepuluh menit lagi sakitnya akan reda. Untuk sementara ini kondisi pasien baik." dokter tersebut mengantongi stetoskop yang baru saja digunakan untuk memeriksa Arum, kemudian keduanya langsung meninggalkan ruangan tersebut.
Arum sudah mulai tenang, napasnya juga sudah mulai beraturan. Galih mendekat lagi.
"Bagaimana, Rum?" tanyanya penuh perhatian.
"Mendingan, Kak." jawab Arum yang tampak gerah dan berulang kali mencoba menyeka keringat di dahinya menggunakan lengan baju. Galih yang sedari tadi menyaksikan momen itu refleks mencari-cari tisu yang baru saja dibelinya tadi ketika Arum sedang dioperasi. Padahal ruangan tersebut sudah memakai AC. Galih yang sedang menggunakan jaket yang cukup tebal pun juga sama sekali tidak merasa gerah. Mungkin saja ini efek obat atau karena rasa sakitnya yang tidak karuan.
"Biar aku saja, Rum. Biar selang infusnya tidak bermasalah." Arum berusaha meraih dua lembar tisu yang ada di tangan Galih, tapi gerakan lelaki itu sudah pasti lebih cepat darinya. Arum membeku ketika deru napas Galih seakan jatuh di wajahnya. Begitu dekat, sangat dekat.
"Kak Galih kenapa baik sekali sama Arum?" tanyanya polos. Galih belum duduk, baru selesai menyeka keringat Arum.
"Karena aku tahu kamu anak baik." jawab Galih, menutupi kebohongannya.
Arum tersenyum, obat yang baru saja disuntikkan oleh dokter tadi benar-benar bekerja pada tubuhnya. Sakitnya sudah reda. Galih masih menatapnya dengan hangat tapi dia lebih memilih untuk melemparkan pandangannya pada langit-langit kamar inapnya.
"Demi Tuhan, Arum ikhlas dengan semua ini." ucapnya tiba-tiba. Nyaris membuat Galih terperanjat.
"Ikhlas terhadap semuanya, Rum?"
Arum mengangguk, hidupnya memang sangat pahit. Tapi apa mau dikata. Dia adalah yang terpilih untuk menjalani semua ini. Semua sudah terjadi dan pastilah tanpa alasan. Tapi kekecewaan adalah kekecewaan yang tidak semuanya bisa diterima dan dilupakan begitu saja.
"Rum, aku punya satu pertanyaan dan mungkin ini akan menjadi pertanyaan yang cukup sensitif untukmu." Setelah beberapa kali mengambil jeda untuk menimbang-nimbang pertanyaan ini, Galih pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Tanyakan saja, Kak." Arum seperti sedang memaksakan senyumnya agar Galih tidak canggung untuk mengajukan pertanyaan itu kepadanya.
"Aku sudah mendapatkan seluruh cerita tentang kamu. Tentang seluruh hal yang menimpa kamu. Dari sanalah pertanyaanku berasal. Kalau suatu hari nanti kamu dipertemukan dengan seseorang yang telah merenggut kebahagiaanmu saat itu, apa yang akan kamu lakukan?"
Arum tidak seketika memberikan jawaban. Pertanyaan itu membawanya jauh. Membuat gadis itu teringat bagaimana caranya memohon untuk dilepaskan. Bagaimana cara dia untuk menyelematkan diri, sedangkan pria itu tetap mengendusnya dengan brutal bagai mangsa yang empuk untuk disantap. Pria itu, wajahnya mulai buram di ingatan Arum. Apa karena pandangannya saat itu terhalang air mata. Atau dia begitu takut untuk seratus persen membuka matanya.
"Dia tidak terkendali saat itu, Kak. Kemungkinan sedang mabuk." jawaban Arum membuat Galih terperangah. Arum menyadari kondisi dirinya saat itu yang berada dalam pengaruh alkohol. Tapi lelaki itu tak segera memberikan tanggapan karena melihat Arum yang sepertinya belum selesai dengan jawabannya.
"Mungkin dia tidak ingin melakukan itu kepada Arum, Kak. Lagipula ini takdir. Arum sudah memaafkan."
Mendengar kepolosan dan kebaikan hati gadis itu membuat perasaan Galih seakan teriris menjadi bagian-bagian kecil. Jika ini disebut takdir, ini adalah takdir paling tidak adil untuk Arum. Kecuali Galih lah yang menanggung penderitaannya.
"Tapi bagaimana jika orang tersebut ingin bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan?" Galih memberikan pertanyaan yang lain karena memperhatikan Arum yang nampak tak terganggu dengan topik itu. Dia benar-benar sudah berhasil berdamai dengan keadaan.
Arum justru terkekeh. Atau mungkin itu tipu muslihat untuk menutupi rasa sakitnya.
"Tanggung jawab untuk apa, Kak? Tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan. Bayi itu sudah tidak ada di perut Arum."
"Untuk menikah denganmu, Rum." ini merupakan jawaban refleks yang diberikan oleh Galih. Bisa jadi ini adalah kemauannya.
Arum membenarkan posisinya, Galih membantunya untuk bergeser.
"Arum tidak punya apa-apa lagi, Kak. Dia punya masa depan dan kemungkinan lupa dengan apa yang diperbuatnya. Jadi Arum sama sekali tidak berharap." Lagi-lagi Arum memberikan senyuman terpaksa, setengah menahan sakit itu kepada Galih.
Lelaki itu tidak ingin melanjutkan pembicaraan tersebut. Cukup tahu baginya jika seorang Arum Widuri sebaik ini. Menanggapi rasa sakitnya dengan cara yang lebih dewasa dari usianya. Barangkali kepahitan hidup telah mengajarkannya banyak hal.
Terdapat beberapa menit momen saling diam diantara mereka. Hanya terdengar begitu lirih denting jarum jam dinding di ruangan itu.
"Kak, sebelumya Arum minta maaf. Tapi apa Kak Galih bersedia untuk membantu Arum berganti pakaian?"
Galih yang sebelumnya hanyut dalam pikirannya sendiri sontak menjadi kikuk atas permintaan Arum yang tiba-tiba. Gadis itu sedang memakai pakaian pasien operasi yang memiliki beberapa tali di bagian punggung untuk diikatkan.
"Memangnya kenapa, Rum?" Maksud dari Galih adalah kenapa Arum ingin mengganti pakaiannya.
"Bagian punggung Arum sangat berkeringat, jadi basah dan tidak nyaman."
Galih mengangguk, berdiri dan kemudian memberikan tatapan minta ijin kepada Arum untuk membuka pakaian itu. Sebenarnya momen seperti ini juga menyayat hati Galih. Mengingatkan dirinya ketika tangannya membuka rok dan seragam Arum dengan kasar saat itu. Tapi Galih tidak ingin serta merta menunjukkan perasaan itu kepada Arum atau dia akan dicurigai. Maka, setelah Arum mengijinkan, Galih mulai membuka simpul itu satu persatu. Tetapi ketika baru tali teratas yang berhasil terbuka, Galih merasa kaget setengah mati. Betapa banyak bekas luka seperti cambukan pada punggung gadis itu.
"Arum ...." suara Galih bergetar.
"Iya, Kak .." balasnya seperti tanpa beban apapun.
"Apa yang telah terjadi? Siapa yang melakukan ini?" Galih menyingkap pakaian itu, dan melihat luka Arum yang lebih banyak.
-
-
-
I'm here, again!!
Muwehehe😅😆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments