Sekiranya dua minggu sudah Arum menetap sebagai penghuni panti ini. Di belahan kehidupan yang lain, Galih juga telah melewatkan beberapa hari tinggal di Jerman untuk melanjutkan pendidikannya. Pria itu baru bisa pulang setelah dua tahun, dan itu akan menjadi waktu yang terasa sangat lama karena Galih masih selalu dihantui perasaan bersalah terhadap nasib gadis itu.
"Setelah semua hal di sini selesai, aku berjanji akan menemukan dia dan menebus seluruh hal yang sudah terjadi. Semoga tidak terlambat." janji Galih dalam hati sembari menutup buku bacaan tebal yang berada di hadapannya.
...•••...
Subuh sudah terdengar, tapi pagi ini Arum masih meringkuk didalam selimutnya yang tidak seberapa tebal. Badannya menggigil, mual, dan sudah dua kali dia pergi ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
Sedangkan bude Mirah sudah terdengar sedang meletakkan dan mengambil peralatan dapur dengan keras, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk membangunkan Arum dan anak-anak panti yang lain.
"Rum, apa telingamu tidak bisa untuk mendengar lagi? ini sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal seharusnya." Eyang datang dan membuka pintu tanpa permisi. Setelah membetulkan letak kacamata dan merapatkan jaketnya, wanita tua itu berjalan menghampiri tempat tidur Arum.
"Eyang, mohon maaf tapi badan Arum tidak enak sekali. Sepertinya Arum sakit .." gadis itu memunculkan wajah pucatnya dari balik selimut. Eyang reflek menyentuh kening Arum dengan punggung tangannya yang sudah keriput itu.
"Mual juga? muntah?" cerca Eyang tanpa menunjukkan raut khawatir.
Arum hanya mengangguk.
"Hari ini istirahat dulu. Siang nanti biar diantarkan Bude Mirah ke tempat Bu bidan untuk diperiksa." kata eyang yang saat ini tengah berjalan mengelilingi satu persatu anak yang masih tertidur pulas, wanita itu membuka selimut mereka satu persatu sambil memberikan satu tepukan pada wajah mereka.
"Tidak perlu ke rumah bidan, nanti malah ruwet." suara Bude Mirah yang tiba-tiba datang dan masuk ke dalam ruangan itu berhasil membuat Eyang dan Arum tersentak.
"Lalu bagaimana?" seusai menyibak selimut dari tubuh salah satu bocah, eyang berjalan menghampiri Bude Mirah.
"Tak belikan alat nanti, testpack. Karena menurutku anak ini hamil." Bude Mirah mengatakan itu tanpa tedeng aling-aling. Memang benar, Eyang dan dirinya sudah tahu mengenai problematika yang menimpa Arum, tapi seharusnya Bude Mirah sedikit berhati-hati mengatakan hal tersebut karena ini bisa jadi merupakan sebuah tekanan yang berat untuk psikis Arum.
...•••...
Siang harinya, bukan Bude Mirah yang datang menghampiri Arum melainkan Eyang dengan sebuah testpack yang masih dalam kemasan. Arum sudah memakan roti dan teh hangat sebagai sarapan dan kemudian Bude Mirah mengijinkannya untuk beristirahat kembali walaupun dari raut wajahnya terlihat sangat tidak ikhlas.
"Rum, kamu cari gelas bekas minuman kemasan di dapur pas nanti mau ke kamar mandi. Air kencingmu masukkan ke gelas itu, lalu rendamlah alat ini di sana selama beberapa menit. Baca dulu bagaimana aturannya. Eyang sudah tidak bisa membacanya dengan jelas." Ketika Eyang datang, Arum tengah melamun sembari menatap langit-langit ruangan tersebut yang sebagian sudah terlihat berjamur.
Arum menerima apa yang diberikan oleh Eyang, kemudian bangkit berdiri untuk segera melakukan tes itu.
"Tidak apa-apa, Rum. Jangan terlalu berlarut." ucap Eyang sebelum Arum benar-benar meninggalkan ruangan itu.
Sekiranya dua puluh menit kemudian, Arum kembali ke ruang tidurnya. Ternyata Eyang dan Bude Mirah sedang menunggu di sana. Keduanya duduk di pembaringan Arum yang sempit.
"Bagaimana, Rum?" tanya Bude Mirah.
"Garisnya muncul dua, Bude .." walaupun belum tahu apa artinya karena Arum benar-benar anak yang polos, gadis itu sudah menangis karena dilanda ketakutannya sendiri. Kedua matanya sudah sembab, tangannya bergetar memandangi alat itu.
Bude dan Eyang mengintip, dan benar saja. Begitu jelas dua garis merah yang muncul di sana.
"Ini berarti kamu hamil, Rum .." kata Bude Mirah.
"Tapi Arum harus bagaimana sekarang?" air mata gadis itu seperti sedang bocor tak terkendali secara tiba-tiba. Meluncur, membasahi wajah manisnya.
"Sudah kejadian, Rum .. Mau bagaimana lagi. Sekarang jalani saja." jawab Bude Mirah dengan entengnya.
"Semoga kamu baik-baik saja setelah ini." Eyang menyahut, sembari menepuk singkat lengan Arum.
Arum Widuri sungguh tidak dapat mendeskripsikan perasaannya saat ini. Dia marah kepada semesta, merasa bahwa mengapa dinodai saja belum cukup sebagai kepahitan dalam hidupnya, mengapa dia harus menanggung dari seluruh akibat dari kejadian itu. Dibuang orang tuanya sendiri, dan kemudian saat ini mau tak mau harus menerima bayi itu untuk tumbuh di rahimnya. Kemana cinta kasih yang seharusnya dia dapatkan di usianya yang masih sangat belia ini. Dalam segelintir pertanyaan demi pertanyaan itu, terselip satu pertanyaan di benak Arum, "di mana keberadaan lelaki itu?"
-
-
-
Sedikit demi sedikit, semoga makin semangat nulisnya💖💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments
Rasya Fay
Nangis ak nih, apalagi Arum
2024-08-01
0
Wini Hilal
ni bude Mirah cm pegawai tp ngalahin pimpinan panti ngatur ngaturnya
2024-04-24
1