"Lih, maafkan aku karena harus menyampaikan kabar ini. Tapi Arum saat ini sedang tertimpa musibah, dia pendarahan dan bayinya tidak bisa diselamatkan .."
Galih yang selalu memberikan fast respons untuk informasi-informasi mengenai Arum yang disampaikan oleh Amir, seketika tersedak ketika mendapatkan kabar tersebut. Dirinya sedang istirahat, pergantian kelas. Tapi karena hal itu, dia memutuskan untuk melewatkan kelas dan kembali ke apartemennya.
Sesampainya di apartemen, dia segera menelpon Amir untuk tahu bagaimana kelanjutan informasinya. Galih sangat ketar-ketir. Jantungnya sudah terasa terjatuh ketika baru saja membaca pesan yang dikirimkan Amir.
"Lalu bagaimana, Mir? Apa fasilitas kesehatan di sana bisa menjamin semuanya?" Cerca Galih ketika Amir baru saja mengatakan "halo" dari seberang sana.
"Semua tindakan akan dilakukan malam ini, Galih."
"Tolong kamu berusaha buat stay di sana ya, apapun alasannya. Tolong bantu aku, Mir."
Amir memang sudah berusaha untuk tetap tinggal di tempat Bu Bidan dengan dalih jika ada yang perlu di antar ke sana sini. Dan Eyang menerima alasan itu dengan baik.
"Apakah biayanya ada, Mir? Apa tidak bisa dibawa ke rumah sakit yang lebih besar? Ini sangat beresiko buat Arum, mengingat usianya masih begitu muda." rasa bersalah Galih yang sedang berbicara.
"Aku tidak punya kuasa tentang hal itu, Galih. Selain itu Eyang juga tidak mudah menerima bantuan dari orang lain."
"Aku mengerti, Mir. Ini semua kesalahanku. Tolong informasikan semuanya kepadaku ya, Mir."
"Baik, Lih .."
...•••...
Jam tujuh malam, Bu bidan bersama seorang rekannya yang merupakan seorang perawat, melakukan tindakan untuk Arum. Sedangkan Eyang, Bude Mirah, dan Amir menunggu di luar ruangan. Amir baru saja tiba setelah membelikan makan malam untuk Eyang dan Bude. Tapi sepertinya Eyang tidak selera makan. Beliau hanya memakan dua suapan dan kemudian meletakkan makanan itu pada bangku di sebelahnya.
"Eyang, bagaimana untuk biayanya nanti?" pertanyaan Bude Mirah memecah suasana hening yang melingkupi ruangan itu sebelumnya.
"Sudahlah, aku sudah tidak memikirkan ini. Hanya keselamatan, Arum." Eyang berdecak, rasanya malas sekali menjawab pertanyaan semacam itu di situasi semacam ini.
"Ini sungguh merepotkan, Eyang. Benar-benar sebuah malapetaka untuk kita." Bude Mirah baru saja menuntaskan makanannya.
"Aku sudah memperingatkan kamu sebelumnya. Tolong jangan membahas hal ini lagi, biar aku yang menanggung semuanya."
Bude Mirah mendadak bungkam. Baginya, Arum adalah orang asing yang tidak seharusnya merepotkan Eyang sejauh ini. Apalagi kondisi keuangan di panti asuhan tidak sedang baik-baik saja.
"Semuanya sudah selesai, Arum akan sadar secepatnya .." Setelah sekiranya satu jam, Bu bidan membuka pintu dan langsung mengabarkan hal ini kepada mereka.
"Setelah biusnya habis, Arum akan kesakitan karena memang sakitnya luar biasa." imbuh wanita yang sekiranya berusia empat puluh tahunan itu.
"Iya terimakasih, Bu bidan."
Setelah itu, Bu bidan segera berlalu. Katanya, ada pasien lain yang hendak bersalin di rumah. Jadi beliau harus datang ke sana saat ini juga.
...•••...
Arum menginap di tempat Bu bidan selama satu hari dua malam. Ditunggu oleh Eyang dan istri Amir juga sempat datang ke sana. Bude diberi tugas untuk merawat anak-anak di panti.
Benar kata bu bidan, Arum berteriak-teriak ketika biusnya sudah habis sekaligus ketika benar-benar menyadari jika bayinya sudah tidak ada.
Amir sangat tidak tega melihat Arum kecil yang sudah harus merasakan rasa sakit yang sedemikian rupa itu. Ketika mengunjungi Arum, istri Amir sempat mengambil beberapa foto untuk dikirimkan kepada Galih.
"Aku sungguh tidak sampai hati melihat semua ini, Mir." ini merupakan balasan pesan dari Galih ketika Amir meminta istrinya untuk mengirimkan foto Arum kepada lelaki itu.
Amir tidak sempat membalas, karena bertepatan dengan momen Arum pulang ke panti asuhan. Iya, Amir sengaja meminjam mobil milik tetangga lain untuk menjemput Arum dan juga Eyang.
Sejujurnya, kekhawatiran Galih tentang Arum yang terlihat begitu dalam di mata Amir sempat membuat pria itu curiga dan bertanya-tanya. Apa hubungan diantara keduanya sampai Galih rela melakukan semua ini. Bahkan pertanyaan tentang apakah Galih adalah pelakunya, sempat terbesit di pikiran Amir. Tapi atas dasar perjanjian yang telah mereka sepakati, Amir berusaha untuk tak terlalu ingin tahu dengan urusan ini. Lagipula itu bukan ranahnya.
Sesampainya di panti asuhan, Amir membantu Arum turun dari mobil. Gadis itu sempat mengaduh sambil memegangi perutnya. Bibirnya masih sangat pucat. Matanya bengkak karena tidak berhenti menangis. Bahkan sampai saat ini masih berkaca-kaca.
"Terimakasih ya, Nak Amir." ucap Eyang, sambil berusaha menyelipkan uang ke tangan Amir. Tapi lelaki itu menolak dengan keras kepala.
"Sungguh saya tidak perlu ini, Eyang." kalimat itu membuat Eyang mengerti dan berhenti memaksa Amir untuk menerima uang pemberiannya itu.
Arum berjalan terseok-seok menuju pintu panti asuhan, sesekali berhenti untuk menahan nyeri yang menjalar kian dalam. Rasa sakitnya sangat luar biasa. Bude Mirah membuka pintu, semua anak-anak masih di sekolah. Arum melangkah masuk, dan entah episode kepedihan apalagi yang harus dia terima setelah ini.
-
-
-
Semoga kalian tidak bosan, ya. Terimakasih untuk yang sudah mampir dan memberikan support 💖💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments