Bude Mirah kelabakan, lokasi kebun kopi eyang juga cukup jauh dari pemukiman warga, apalagi fasilitas kesehatan. Dengan panik, dia berusaha mengeluarkan ponsel bututnya dari kantong celana dan berusaha menghubungi Eyang.
"Eyang, Arum pingsan .. Keluar darah juga .. Bagaimana ini?" tangan Bude Mirah bergetar ketika menempelkan ponselnya ke telinga. Dia berjongkok, masih berusaha membangunkan Arum.
Kepanikan Bude Mirah nyatanya juga menular ke Eyang. Beliau kalang kabut mencari bantuan.
"Aku akan menghubungi bidan di dekat sana." setelah menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri, Eyang akhirnya menemukan jalan ke luar ini.
"Secepatnya ya, Eyang. Tolong, ini keliatannya sangat darurat."
"Iya .." dengan segera, wanita tua itu menutup telponnya.
"Rum, bangun .." Bude Mirah mengguncang tubuh Arum beberapa kali. Dirinya semakin panik tatkala melihat darah segar yang mengalir ke kaki Arum.
...•••...
Setelah menunggu kurang lebih selama setengah jam, dengan sebuah mobil kijang, bidan yang dimaksud Eyang datang bersama seorang lelaki yang sepertinya adalah suami. Tanpa banyak berkata-kata, lelaki itu langsung menggendong Arum dan membawanya ke dalam mobil. Kemudiannya, disusul oleh Bu Bidan dan Bude Mirah.
Sedangkan di panti asuhan, Eyang turut kebingungan. Dia terlalu tua untuk berjalan sendirian ke ujung gang untuk mendapatkan angkutan umum atau ojek. Dia tidak pernah menghadapi situasi semacam ini sebelumya. Karena merasa buntu, sore itu menjelang magrib, Eyang terpaksa mengetuk pintu rumah Amir untuk meminta bantuan. Kebetulan Amir sendirilah yang membukakan pintu.
"Oh Eyang, ada apa?" karena memang ini baru pertama kali eyang pemilik panti asuhan itu berkunjung ke rumahnya, maka wajar saja jika Amir merasa terkejut.
"Saya bingung, tolonglah bantu saya." Napas Eyang tersengal-sengal.
Amir kemudian menggiring wanita sepuh itu untuk duduk pada bangku yang berada di teras rumahnya.
"Bingung kenapa, eyang?" kemudian, Amir melemparkan pertanyaan tersebut.
"Arum tidak baik-baik saja. Dia pendarahan. Tapi posisinya tadi ada di kebun kopi buat panen. Sekarang sudah ada di tempat Bu bidan tapi saya tidak tahu kondisinya seperti apa."
"Astaga, apakah bude juga tidak bisa dihubungi?"
"Tidak, sudah saya coba beberapa kali. Kemungkinan tidak ada sinyal. Apa boleh saya diantar ke sana?" Eyang to the point saja, sudah tidak ada waktu untuk menunda-nunda lagi.
Amir melirik motor matic tuanya, kemudian dengan sigap mengangguk.
"Tunggu sebentar Eyang, saya ganti baju dulu." pamitnya yang kemudian bergegas masuk ke dalam rumah setelah mendapatkan anggukan dari Eyang.
Di dalam rumah, Amir segera menghampiri istrinya yang sedang menyiapkan makan malam di dapur.
"Wulan, ada berita genting ini. Tentang Arum .." Amir menyampaikan berita itu dengan tergopoh-gopoh. Juga sembari mengganti kausnya dengan kemeja lengan pendek.
Istri Amir tertegun sejenak. Dia sudah berprasangka jika Arum pasti saja kelelahan. Bude Mirah benar-benar tidak berperikemanusiaan. Hanya itu yang berkecamuk di batinnya.
"Lalu bagaimana? Apa bayinya baik-baik saja?" Perempuan yang juga tengah hamil itu reflek mematikan kompor, dia sedang menghangatkan sayur.
"Tidak tahu, ini mau aku antar Eyang ke tempat itu." Amir selesai mengancingkan kemejanya.
"Anak-anak panti bagaimana? Apa aman kalau ditinggal sendirian, mas?" Wulandari membuntuti sang suami yang berjalan ke luar rumah. Di teras, dia bertemu dengan Eyang dan langsung menanyakan tentang hal tersebut.
"Anak-anak aman. Pintu sudah dikunci, makanan sudah siap tersedia. Mereka tinggal tidur." jawab Eyang dengan mantab.
Amir sudah nangkring di atas motor, dan setelah Eyang naik, dia segera melajukan motor tersebut.
Karena berkendara dengan kecepatan sedang Amir bisa tiba di rumah bidan tersebut sekitar dua puluh lima menit. Eyang berjalan cepat, setelah turun dari motor.
"Bagaimana ini? Bagaimana ini?" tanya Eyang seketika ketika bertatap muka dengan Bude Mirah.
"Terlambat, sudah terlambat ..." jawabnya datar.
"Bagaimana maksudmu??" Eyang menuntut kejelasan, hingga akhirnya bidan tersebut ke luar dan memberikan penjelasan kepada Eyang. Saat itu, Amir juga berdiri di sana.
"Kehamilan anak ini sungguh sangat beresiko. Tidak mengonsumsi vitamin penguat kandungan juga. Dan terlalu lelah dengan aktivitas yang dia lakukan sehari-hari. Selain itu pertolongannya terlambat, janin yang ada di kandungannya sudah tidak ada detak jantungnya ketika dibawa ke sini."
Eyang menghela napas panjang, berusaha stabil dalam menghadapi situasi semacam ini.
"Lalu bagaimana, Bu Bidan?".
"Malam ini juga akan saya bersihkan janinnya bersama rekan saya yang akan datang ke sini juga. Anak tersebut juga baru sadarkan diri setelah saya memasang infus. Tapi saya belum mengatakan apa-apa kepadanya."
Sekali lagi Eyang menarik nafasnya dalam-dalam.
"Setelah ini harus istirahat total, setidaknya satu bulan. Untuk memulihkan kondisi fisik sekaligus rahimnya." pesan bu bidan kepada Eyang.
Wanita tua itu turut masuk ke dalam ruangan Arum bersama Bu Bidan, Bude Mirah juga turut serta.
"Eyang .. Arum kenapa?" panggil dan tanya Arum dengan suaranya yang lemah ketika pandangannya menangkap keberadaan Eyang.
"Nduk .. Kamu harus legowo menerima semua ini. Ikhlas ya .." Eyang mendekat, tangannya mengusap kepala Arum. Bu Bidan yang merasa jika mereka membutuhkan privasi, memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut.
"Tapi apa yang terjadi, kenapa rasanya perut Arum sakit sekali." Mata Arum berkaca-kaca. Menahan sakit sekaligus kesedihan yang tiba-tiba saja melingkupi perasaanya.
"Bayimu sudah tidak ada, Nduk .. mau dibersihkan malam ini. Kamu yang kuat ya.."
"Ini tidak mungkin, Eyang. Bagaimana bisa?" Arum menangis histeris sembari meraba-raba perutnya yang masih buncit.
Eyang tak kuasa mengatakan dan memberi tanggapan apa-apa, tapi kemudian Bude Mirah datang mendekat.
"Sudahlah, Rum. Lagipula kasian kalau anak itu lahir tanpa bapak. Ini sudah yang terbaik, ini sudah takdirnya."
Arum tetap menangis, sesenggukan. Tangis yang menunjukkan rasa sakitnya. Luar dan dalam.
Eyang yang mendengar perkataan Bude Mirah yang terlalu kasar segera menasehati wanita itu.
"Aku tahu betul jika itu karaktermu, tapi aku berharap di situasi seperti ini kamu punya sedikit hati untuk bersimpati kepada Arum dan menjaga ucapanmu."
Bude Mirah mengangguk singkat. Bagaimana pun dia begitu menghormati Eyang.
Sedangkan Amir yang masih duduk di ruang tunggu segera mengeluarkan ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada Galih mengenai berita buruk yang sedang dialami oleh Arum.
"Lih, maafkan aku karena harus menyampaikan kabar ini. Tapi Arum saat ini sedang tertimpa musibah, dia pendarahan dan bayinya tidak bisa diselamatkan .."
-
-
-
Semoga semangatku tidak kendor, biar bisa terus-terusan setor 😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments
Rasya Fay
sesek banget
2024-08-01
0