Galih mengajukan cuti, dua minggu untuk pulang ke Indonesia. Perasaannya semakin runyam. Lagipula dia tidak akan bisa fokus jika memaksakan diri untuk stay di Jerman setelah mengetahui tentang apa yang terjadi terhadap Arum. Setelah mendapat persetujuan, esok harinya dia segera berangkat ke bandara untuk terbang ke Indonesia.
Galih tidak berencana untuk pulang ke rumah. Dia ingin menginap di hotel saja dan berkunjung ke rumah Amir untuk diantar ke panti. Mengenai tawaran pekerjaan untuk menjaga nenek di kota, Galih akan membicarakannya sendiri dengan eyang. Semoga saja perempuan sepuh itu bisa luluh.
Kepulangan Galih bertepatan dengan satu pekan setelah Arum dinyatakan keguguran. Perut gadis itu masih sakit, tapi perkataan Bude Mirah yang sudah kepalang pedas membuat gadis itu tidak bisa diam saja. Dia harus membantu. Pekerjaan demi pekerjaan di panti asuhan yang kian hari kian berat, kian menumpuk. Bahkan di hari ketujuh Arum sudah diminta untuk mencuci pakaian penghuni panti.
"Minum obat saja kan cukup. Aku dulu setelah melahirkan juga langsung ngerjain pekerjaan rumah yang seabrek. Namanya juga kodrat." ucap Bude Mirah tiba-tiba ketika melihat Arum yang ngos-ngosan saat menarik ember besar berisi pakaian yang hendak dijemur. Eyang saban hari hanya berada di ruang tamu dan kamar, jadi tidak terlalu memperhatikan tentang hal ini. Apalagi Arum tidak punya keberanian untuk mengadu atau sekadar mengeluh kepada Eyang.
Arum melakukan ini semua sebagai bentuk baktinya, apalagi biaya yang dikeluarkan Eyang saat itu tidak sedikit. Jadi gadis itu berpikir jika dia hanya tidak ingin menyusahkan Eyang lagi.
•••
Di bandara, Galih hanya membeli dua roti dan satu cup capuccino hangat. Dia sedang terburu-buru, takut ketinggalan kereta. Setelah sampai di stasiun kabupaten tempat tinggalnya pun dia segera memesan ojek, dan tempat tujuannya adalah rumah Amir. Galih tidak membawa banyak barang bawaan, hanya sebuah ransel.
Galih sampai di rumah Amir tepat setelah ashar. Tidak duduk atau mendengar perjamuan Amir beserta istrinya, lelaki itu hanya meletakkan tasnya dan segera memakai masker.
"Antarkan aku ke panti asuhan, Mir. Mumpung belum terlalu sore."
Tanpa ba-bi-bu, Amir menurut saja. Mereka berjalan ke arah panti asuhan. Galih terlihat sangat terburu-buru.
"Eyang, saya tidak ingin berbasa-basi. Saya mendengar dari Amir jika ada seorang gadis di panti asuhan ini. Oleh karena itu saya menawarkan sebuah pekerjaan beserta jaminan pendidikan untuknya. Di kota, bersama dengan nenek saya." Galih nyaris membuat eyang tersedak. Perkataannya seperti sambaran api yang menyambar permukaan penuh bensin.
"Apa Nak Amir lupa memberitahu jika gadis itu datang bersama musibahnya, maksud saya, saya meragukan tentang jaminan pendidikan." Eyang mencoba berbicara serealistis mungkin. Diam-diam Galih celingukan, mencari keberadaan Arum. Dia sama sekali tidak melepaskan maskernya, khawatir jika Arum masih menangkap wajahnya.
"Home schooling. Dia masih berhak untuk masa depannya."
"Tapi dia sedang dalam masa pemulihan."
"Saya juga akan bertanggung jawab untuk itu. Fasilitas kesehatan di kota juga akan lebih mendukung." Galih berusaha menyakinkan wanita tua itu.
Momen saling diam menghinggapi mereka. Eyang sedang menimbang-nimbang. Ketika melirik dan memeriksa ke berbagai sisi, jantung Galih seakan berhenti tatkala pandangannya menangkap kehadiran seorang gadis lugu yang berjalan dari arah pintu ruang tengah sembari membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. Itu adalah Arum, Galih masih mengingat sorot mata penuh permohonannya saat itu. Saat masa depannya direnggut.
"Silakan ..." ucap Arum, begitu lembut. Menerobos relung hati Galih. Mata lelaki itu terpaku, berkaca-kaca. Entah perasaan apa yang sebenarnya sedang bernaung di hatinya.
"Ini dia, Arum Widuri .." Eyang berusaha memperkenalkan. Arum sedikit membungkukkan badan kecilnya, kemudian tersenyum simpul. Begitu manis, meluluhkan lantahkan hati Galih. Arum begitu sopan, terlalu berharga untuk dia lukai. Tapi tanpa menunggu balasan dari Galih yang seketika membeku, Arum berbalik arah dan beranjak pergi. Menjauh, dan kemudian menghilang dari arah pintu dimana dirinya tadi datang.
"Tapi mana mungkin saya bisa mempercayakan Arum kepada orang yang baru pertama kali saya temui." Eyang memecah kebekuan diantara mereka. Amir juga diam saja, merasa tidak punya hak untuk berbicara.
"Saya bisa menjamin semuanya, Eyang." Galih meyakinkan lagi.
"Lagipula, kamu, Nak Amir. Walaupun kamu sudah sangat membantu Arum dan Eyang waktu itu, bukan berarti saya bisa mempercayakan Arum seratus persen kepadamu." Amir hanya memberikan anggukan singkat, perkataan Eyang juga tidak bisa disalahkan.
"Oh ya, dan kenapa harus Arum? Maksud saya ada banyak anak seperti Arum, nasibnya di sekitar kita. Tapi kenapa kamu memilih Arum?" pertanyaan Eyang menjadi kian rumit saja. Galih hampir kewalahan menjawabnya. Akan tetapi dia benar-benar tidak ingin membuat Eyang curiga yang kemudian akan meragukannya.
"Amir banyak bercerita tentang Arum dan itu begitu menyentuh perasaan saya. Saya mungkin tidak sanggup untuk menyelematkan seluruh gadis yang bernasib sama seperti Arum, tapi setidaknya dalam hidup saya, saya mampu menyelematkan satu diantara mereka, yaitu Arum."
Eyang manggut-manggut. Cukup masuk akal juga perkataan yang baru saja lolos dari mulut Galih.
"Saya pertimbangkan dulu. Saya juga butuh pendapat dari Arum tentang ini." balas Eyang kemudian.
-
-
-
Wohohooo, pengen update tiap hari juga👻✌️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments